Senin, 18 November 2013

Wanita Kuat Itu...

Ceritanya bermula dari sebuah kampus di Jatinangor tepatnya sebuah komplek Unit Kegiatan Mahasiswa. Tersebutlah 3 wanita yang dulunya masuk ke dalam organisasi pecinta alam kampus dan menyebut diri mereka bersaudara.

Wanita pertama seorang gadis cerdas dan pintar berasal dari Kota Cimahi, kuliah di Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara. Dia sosok pekerja keras dan hampir tidak pernah membuang waktunya untuk melakukan hal yang menurut dia tidak berguna. Selain pekerja keras, wataknya juga keras. Sangat langka untuk anak perempuan dan bungsu. Kuliah di Jurnalistik mengharuskan dia untuk bekerja dan belajar lebih keras dari sebelumnya karena tugasnya yang segunung dan deadline yang benar-benar bisa membunuh perlahan. Waktunya yang terbatas ini mengharuskan dia memilih apakah meneruskan petualangan sebagai pecinta alam atau menyelesaikan kuliah tepat waktu. Pada akhirnya, dia memilih kuliah dan meninggalkan keaktifannya di organisasi pecinta alam. Saya ingat dia pernah berkata,"Gw pengen maen tapi gw gak bisa mengabaikan kuliah. Tugas gw banyak banget dan bisa bikin gila. Tapi ini jurusan yang gw pilih jadi gw harus selesaikan apa yang udah gw mulai". Watak kerasnya membuat dia tidak berpaling lagi ke belakang dan terus menjalani kehidupan kuliah. Kehidupan kuliah yang menjadi mintanya dan ingin ia dalami. Banyak prestasi yang diraih si jarang mandi ini dan saya yakin dia masih akan meraih lebih banyak prestasi lainnya. Setelah dia sibuk dengan kuliahnya, kami jadi jarang bertemu dan hanya kontak lewat sms atau telpon. Dia lulus dengan nilai yang sangat bagus dan diterima menjadi pengajar muda di Aceh Utara. Sebuah hal yang sangat membanggakan dan luar biasa bagi anak manja untuk mengabdikan diri mengajar anak-anak di pedalaman. Kami terus berhubungan melalui media sosial. Dia sudah menjadi ibu guru, berjilbab dan dicintai murid-muridnya. Well done, ibu guru..

Wanita kedua seorang gadis pendiam dan mempunyai tatapan tajam. Dia berasal dari Sukabumi dan kuliah di Jurusan Hukum. Dia termasuk salah satu teman wanita yang sangat akrab dengan saya. Cuek, tidak suka basa basi, jarang mengeluh dan mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan membuat dia disenangi. Dia anak pertama dari dua bersaudara. Karakternya sangat bertolak belakang dengan adik perempuannya. Hampir tidak ada rahasia di antara kami. Dia menjadi pendengar yang sangat baik bagi saya yang sangat senang bercerita. Kadang-kadang dia melontarkan kata-kata singkat namun dalam. Tidak jarang juga dia melontarkan guyonan yang tidak garing sama sekali. Tangguh. Salah satu kata yang bisa menggambarkan sosoknya. Dia bisa menyimpan sebuah rahasia atau rasa sakit dalam waktu yang lama. Dia tidak akan berkata apa-apa sebelum saya memaksanya atau beban padanya sudah tidak bisa ditanggungnya sendiri. Wanita kuat dan pemberani. Beruntunglah lelaki yang menjadikannya istri dan anak yang memanggilnya ibu.

Wanita ketiga seorang gadis periang dan ekspresif. Dia berasal dari Toraja dan kuliah di Jurusan Ilmu Pemerintahan. Saya sudah sering bercerita tentang gadis ini jadi tidak usah lagi dibahas.

Kami menjalani setiap kegiatan organisasi bersama-sama dan berbagi cerita apapun yang kami mau. Sampai kewajiban dalam kehidupan masing-masing membuat kami saling berjauhan dalam perhitungan jarak. Tetapi sejauh apapun, saya selalu merindukan mereka. Mereka berdua inspirasi saya dalam menjalani hidup. Belajar arti kerja keras dari wanita pertama dan belajar arti ketangguhan dari wanita kedua. Semoga mereka selalu diberi kebahagiaan dan mencapai cita-cita yang mereka impikan. Semoga ada saatnya kami bertemu lagi dan saling membagikan pengalaman bagaimana hidup menempa kami menjadi pribadi yang sekarang. Keep fighting Cahaya and Ghufrani. I love you both. 




Continue Reading...

Jumat, 15 November 2013

Media Sosial Adalah Ratjun Dunia

"We have more knowledge but less judgement. We built more computers to hold more information, to produce more copies than ever, but have less communication" - Dalai Lama

Sekitar 2000an teman di facebook, 1200an follower di twitter dan 150 teman di path. Begitulah kira-kira gambaran kehidupan media sosial saya. Ini sama sekali bukan tentang pamer keeksisan di dunia maya. Bukan. Lebih kepada perspektif yang lain. Perspektif nilai guna dari media-media sosial kampret ini. Kenapa saya bilang kampret? Karena media sosial begitu besar pengaruhnya dan bisa merubah kepribadian orang secara temporer bahkan permanen. Saya yakin bahwa awal orang bermain media sosial untuk mencari kesenangan, melampiaskan emosi, mencurahkan perasaan, dan mempererat hubungan dengan teman baik yang dekat maupun jauh. 

Jaman facebook masih merajai dunia per-media sosial-an, online bisa dilakukan tiap hari hanya untuk sekedar meng-update status, meng-upload foto dan mengomentari postingan-postingan teman. Awalnya hanya menerima pertemanan dengan mereka yang dikenal tetapi lama-lama menjadi bosan dengan permintaan pertemanan dan dengan cuek menekan tombol accept. Sekarang facebook isinya kebanyakan orang-orang yang setengah kenal dan yang hampir tidak kenal sama sekali.

Update status di facebook juga bukan sesuatu "keharusan" lagi setelah munculnya twitter. Di twitter, kita bisa bercceloteh apa saja yang kita inginkan. Tak ada yang membatasi. Sampai ketika semakin banyak pengguna twitter yang mendadak menjadi "hakim" yang memberi penilaian dan judgement terhadap kicauan seseorang. Muncullah slogan-slogan "I tweet what I want", "Don't judge me by my tweets", dll. Memang, hak setiap orang untuk menuliskan apa saja dan hak setiap orang juga untuk memberi penilaian atau komentar atas apa yang dituliskan. Orang-orang yang takut atau tidak mau menerima kritikan atau komentar buruk, menjadi pasif dan tidak lagi menuliskan ide-ide bebas dalam pikirannya. Penilaian orang di media sosial bisa mempengaruhi psikis dan pergaulan sehari-hari. This is the world, nowdays.

Bermain di media sosial harus bijak, katanya. Harus bisa memilih-milih dengan baik apa yang ingin kita ungkapkan. Dengan pandangan ini, orang akan memberikan pencitraan yang baik-baik saja misalnya memposting kata-kata bijak padahal dia sedang ingin mengumpat, menulis hal-hal yang lucu padahal dia sedang meneteskan air mata, mengomentari kebahagiaan teman dengan hal-hal yang menunjukkan dia sedang bahagia padahal dalam hati iri dengan hal tersebut. Namun, saat mengatakan hal sesuai dengan kondisi sebenarnya, orang-orang akan mulai membicarakan dan mengatakan bahwa kita terlalu ekspresif, lebay dan bisa jadi ilfeel. Media sosial dapat mempengaruhi mood dan perasaan. Bisa senang kemudian berganti menjadi sedih atau marah. Kadang-kadang juga iri atas pencapaian seseorang. Ada banyak juga pertengkaran bahkan perkelahian karena saling bertukar komentar pedas di media sosial. Media sosial menjadi baik atau buruk tergantung dari perasaan dan kondisi psikologis orang pada saat itu. Bercanda bisa jadi serius, sebaliknya hal serius bisa menjadi candaan. Sayangnya, kita tidak bisa mengetahui dan memastikan kondisi orang lain yang sebenarnya karena kita hanya melihat dari apa yang ditulisnya.

Saya termasuk orang yang aktif di media sosial dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam menatap gadget untuk melakukan itu. Hal itu akan sangat mungkin bagi orang-orang yang berada di tempat jauh dari "peradaban" dan teman-teman dekat. Media sosial menjadi salah satu sarana untuk menghilangkan kebosanan. Sekarang tidak perlu menatap tv atau membaca koran karena semua berita terbaru ada di media sosial. Saya bisa menjadi orang yang bercitra baik juga bisa menjadi orang yang lebay dan berlebihan jika bermain media sosial. Semuanya tergantung perasaan saat itu.

Dunia nyata kadang tidak menyenangkan. Dunia maya pun juga begitu. Kita mulai harus mulai bertanya lagi pada diri kita sendiri, hidup mana yang sebenarnya kita hidupi? Saya selalu setuju tentang pernyataan bahwa pergaulan di kehidupan nyata jauh lebih berharga daripada pergaulan di dunia maya. Keeksisan di media sosial tidak selalu menjamin keeksisan di dunia nyata. Walaupun harus diakui juga tidak sedikit orang yang "karir"nya sukses di dua kehidupan yang berbeda ini. Kalau saya tetap akan hidup di  dua dunia itu tetapi akan memilih mana yang harus lebih sering saya "singgahi". Dunia nyata sudah pasti selalu menjadi prioritas karena media sosial itu ratjun dunia!

NB :
Tulisan ini membutuhkan waktu lama dalam penulisan karena penulisnya keasikan menatap gadget (baca : main di media sosial)
Continue Reading...

Senin, 11 November 2013

Fragment #16

Kupandangi sosok dalam cermin penuh debu. Kutanya dia "Siapa kamu?". Dia diam tak menjawab. Hanya mengikuti apa yang bibirku lakukan. Sekali lagi kutanya,"Hey, kamu siapa?". Masih sama. Dia tak bergeming. Kuamati lagi. Lama dalam diam. Siapa gerangan dia? Tampak baik-baik saja tetapi entah mengapa aku bisa merasakan kehampaan dalam hatinya. Aku melihat kekosongan dalam pandangan matanya. Tak ada semangat menggebu-gebu dan mata berbinar seakan dunia sedang menunggu seperti yang sering aku rasakan. Aku prihatin. Aku ingin memeluknya dan menenangkannya. Ingin mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Tetapi lagi-lagi cermin peot berdebu menghalangi usahaku. Sialan.
Continue Reading...

Selasa, 08 Oktober 2013

Mahabharata : Bagi Mereka Yang Mencari Ketenangan Jiwa

"Sebuah roman epik pencerah hati manusia". Begitu sampul buku Mahabharata yang baru selesai saya baca. Buku ini saya beli Bulan Maret lalu di sebuah pameran buku yang mengadakan diskon besar - besaran. Sebenarnya, saya dulu pernah membacanya sampai habis tapi ada keinginan untuk membaca ulang.


Mahabharata menceritakan tentang perang Bharatayudha, perang saudara terbesar yang pernah ada dan menewaskan jutaan orang. Perang tersebut terjadi antara Pandawa dan Kurawa yang disebabkan oleh rasa iri, dengki dan rasa tidak pernah puas atas apa yang sudah dimiliki. Paling tidak, itulah kepercayaan orang India yang sebagian besar beragama Hindu. Saya tidak akan membahas dari segi agama. Cerita ini seperti dongeng atau drama kolosal yang membuat saya seperti berada pada zaman itu dan dapat membuat saya tenggelam dengan imajinasi saya sendiri. Dalam buku ini banyak kata - kata yang menohok hati dan membuat kita berpikir bahwa ternyata dari zaman ke zaman permasalahan manusia itu sama namun hanya dalam bentuk yang berbeda. Selain itu, saya semakin yakin bahwa semua agama mengajarkan kebaikan.

Berikut beberapa penggalan kata - kata yang menohok tetapi juga dapat menyejukkan hati..

"Semenjak awal mula dunia, nasihat orang yang paling bijak sekalipun tidak akan pernah bisa menghilangkan duka hati seorang perempuan yang kehilangan kekasih". Penggalan ini saat Dewayani, putri dari Resi Sukra merasakan kesedihan mendalam karena kekasihnya, Kacha mati dibunuh oleh para raksasa.

"Perbuatan kita sendirilah yang membuat kita bahagia atau menderita, bukan kebajikan atau kejahatan orang lain".

"Orang yang dapat menaklukkan dunia adalah orang yang sabar menghadapi caci maki orang lain. Orang yang dapat mengendalikan emosi ibarat seorang kusir yang dapat menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Hanya mereka yang tidak gentar menghadapi siksaan akan berhasil mencapai apa yang dicitakan. Mereka yang tidak pernah marah lebih mulia daripada orang yang taat menjalankan ibadah selama seratus tahun". Sabar dan menahan amarah sangat sulit dilakukan tetapi selalu berbuah manis.

"Semangat adalah cikal bakal keberhasilan. Nasib baik akan menghampiri kita jika kita melakukan tugas dan kewajiban dengan sungguh - sungguh. Bahkan orang yang kuat pun bisa gagal jika ragu - ragu menggunakan kemampuan yang ia miliki". Pendapat Arjuna tentang sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang ksatria.

"Jika kau pikir tidak ada orang yang pernah mengalami kemalangan seperti yang kau alami saat ini, kau keliru. Setiap orang dengan cara dan perasaannya sendiri merasa bahwa ia adalah orang yang paling malang. Itu wajar karena apa yang dirasakan jauh lebih terasa daripada apa yang dilihat atau dengar". Kata - kata penghiburan Resi Brihadaswa kepada Pandawa saat mereka harus menjalani masa pengasingan di hutan selama dua belas tahun.

"Pengetahuan harus meresap ke dalam setiap pikiran dan tindakan dalam hidup. Pengetahuan yang tidak diresapi hanya akan menjadi tumpukan keterangan yang membebani pikiran dan tidak menghasilkan  keluhuran budi". Mungkin hal ini yang menjadikan banyak orang pintar tetapi tidak bermoral. Pengetahuan yang didapatkan tidak diresapi.

"Apakah ada yang lebih mengagumkan daripada kesabaran dan kesucian seorang perempuan? Ia melahirkan anak, setelah menantikan dan menjaga seperti nyawanya sendiri selama sembilan bulan. Ia melahirkan ke dunia dengan rasa sakit dan kecemasan yang luar biasa. Setelah itu, satu - satunya hal yang ia pikirkan hanyalah kesehatan dan kebahagiaan si anak, Dengan hati seluas samudra dan penuh pengampunan, seorang perempuan terus mencintai suami, meskipun jahat, menyia - nyiakan, membenci, dan membuatnya menderita. Betapa anehnya dunia ini!'. Saya teringat ibu..

"Manusia bisa mencapai kesempurnaan jika selalu tekun dan ikhlas menjalani setiap tugas yang dieprcayakan kepadanya"

"Apakah yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini? Ibu yang melahirkan dan membesarkan anak - anaknya.
Apakah yang lebih tinggi daripada langit? Bapak.
Apakah yang lebih cepat daripada angin? Pikiran.
Apakah yang lebih berbahaya daripada jerami kering pada musim panas? Hati yang dilanda duka nestapa.
Apakah yang menemani seorang pengembara? Kemauan belajar.
Apakah kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah buah dari perbuatan baik.
Apakah yang jika ditinggalkan manusia akan membuatnya dicintai sesama? Keangkuhan.
Kehilangan apakah yang membuat orang bisa bahagia dan tidak sedih? Amarah.
Apakah yang harus ditinggalkan manusia supaya menjadi kaya? Hawa nafsu"
Pertanyaan - pertanyaan yang diajukan oleh Batara Yama kepada Yudhistira yang terkenal dengan kebijaksanaan dan keluhuran budinya.

"Kematian merupakan hukum kehidupan yang tidak bisa dielakkan dan memang dimaksudkan untuk kebaikan dunia. Tidaklah bijaksana menyesali kematian atau terlalu bersedih karena kematian seseorang. Tidak ada alasan untuk menyayangkan kepergian mereka yang telah pergi menghadap Yang Kuasa, Ada lebih banyak alasan untuk bersedih bagi mereka yang masih hidup". Kata - kata penghiburan untuk Yudhistira yang berduka amat dalam setelah memenangkan Perang Bharatayudha di Kurusetra yang menewaskan sepupu - sepupunya, para Kurawa.

Masih banyak lagi kata - kata bijak lainnya yang ada di dalam buku ini. Walaupun sulit untuk menjadi sebijak Pandawa dalam menjalani kehidupan, tetapi banyak yang bisa dipetik. Buku ini sangat pas dibaca untuk mereka yang mencari ketenangan jiwa. So, take your time and feel the silence in your soul.
Continue Reading...

Minggu, 06 Oktober 2013

Gunung Marapi : Mass Kill dan 2 Mangkok Bakso

The journey is like marriage. The certain way to be wrong is to think you control it”  - John Steinbeck

Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi besar di Indonesia. Propinsi yang beribukota di Padang ini, terkenal akan keindahan alam dan budayanya. Untuk para petualang khususnya yang suka mendaki gunung, Gunung Singgalang (2877 mdpl), Gunung Marapi (2891 mdpl) , atau Gunung Talamau (2913 mdpl) bisa menjadi pilihan. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya saya, Anto, Gufi, Margo yang pada saat itu hendak melakukan pengambilan nomor pokok Palawa Unpad memutuskan untuk merintis jalur di Gunung Marapi. Walaupun tidak mencapai ketinggian 3000 mdpl seperti Gunung Kerinci di Jambi atau Gunung Dempo di  Sumatera Selatan, tetapi Gunung Marapi mempunyai kekhasan tersendiri karena di atas ketinggian 2500 mdpl, sudah tidak ada vegetasi lagi dan ditutupi oleh batu-batu kecil dan pasir. Puncaknya seluas lapangan sepakbola dan ada beberapa kawah berukuran besar yang masih aktif mengeluarkan gas beracun.

Ditemani Teh Astri yang menjadi pembimbing dalam pengembaraan ini, kami ke Padang dengan menggunakan pesawat, yang bagi beberapa penggiat alam lain merupakan sesuatu yang terlalu mewah dan mengurangi nilai petualangan. Tidak ada yang salah dengan anggapan tersebut. Bisa saja kami menggunakan bis menuju Merak kemudian menyeberang ke Pulau Sumatera dan menyusuri jalan Trans Sumatera atau naik kapal laut tetapi yang kami pikirkan saat itu adalah efisiensi waktu dan kemudahan. Kami harus menyimpan tenaga untuk pendakian dan tidak ingin tenaga kami habis di perjalanan. Ini pertama kalinya saya menginjak Pulau Sumatera jadi hal ini akan menjadi pengalaman yang sangat luar biasa untuk saya. Anto sudah tidak asing dengan Padang karena dia beberapa kali melakukan penelitian lapangan di sini sebagai seorang geologist. Lebih beruntungnya kami, saat itu 2 (dua) orang senior kami yaitu Teh Hani dan Kang Aday sedang ada di Pariaman karena ada pekerjaan sehingga kami tidak usah repot-repot untuk menggunakan angkutan umum menuju Mapala Proklamator, perhimpunan pecinta alam Universitas Bung Hatta yang sudah kami hubungi sebelumnya. Mapala Proklamator ini juga sudah kami plot untuk menjadi base komunikasi yang akan langsung berhubungan ke sekretariat di Jatinangor. Ada juga Bang On, kakak ipar dari teman kuliah Anto yang bersedia menjadi base com kami di desa terakhir, Paninjauan, Kabupaten Padang Panjang. Begitu ramahnya juga keluarga Bang On yang menyediakan tempat untuk tidur dan menyiapkan masakan padang yang nikmatnya lebih dari rumah makan padang di manapun.


Hari perintisan jalur dan pendakian sudah ditentukan. Sebelum memulai kegiatan, kami harus melapor pada Kepala Nagari setempat. Nagari adalah salah struktur pemerintahan setara desa yang hanya ada di Sumatera Barat. Jabatan ini sarat nilai sejarah dan budaya bagi orang – orang Minangkabau. Carrier lebih berat dari sebelumnya karena sudah terisi beberapa liter air dan minuman penambah cairan tubuh. Perjalanan dimulai dengan doa bersama dan sedikit rasa khawatir keluarga Bang On karena puncak gunung yang tertutup kabut. Saya membulatkan tekad dan menggunakan segenap kekuatan untuk mengangkat carrier yang terasa sangat berat. Kami pasti akan sampai di puncak sesuai target, kata saya meyakinkan diri sendiri.

Enam hari perjalanan kami tempuh sampai di Puncak Merpati (2777 mdpl) setelah sebelumnya bergerak dengan pembagian tugas yang berbeda setiap harinya. Makin lama carrier semakin ringan. Mungkin karena logistik yang berkurang dan tubuh yang sudah bisa menyesuaikan beratnya. Kami tidak diijinkan untuk membawa makanan yang berbau amis seperti kornet, ikan kaleng, dendeng kering dan telur. Hal ini merupakan sebuah kearifan lokal yang harus diikuti. Percaya pada hal yang berbau mistis masih dilakukan masyarakat Paninjauan. Konon, masih banyak harimau jadi – jadian (yang saya lupa istilahnya) di dalam hutan sekitar Gunung Marapi ini. Hutan lebat, pacet, rotan, tidak ada sumber air merupakan tantangan tersendiri dalam perjalanan ini. Kami harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan penebasan karena akar gantung yang bandel.


Kami berteriak kegirangan ketika kami mencapai batas vegetasi hutan dengan pasir. Seperti tiba di puncak rasanya. Sebelum mencapai titik tertinggi yang bisa dicapai, akan ditemui lapangan besar berpasir di mana terdapat beberapa kawah yang masih aktif. Teh Hani, yang pernah kuliah keperawatan menyuruh untuk mempercepat langkah kami agar tidak terkena gas beracun yang baunya sangat menyengat. Selain menghindari zat beracun, langkah kami dipercepat karena hujan deras disertai petir yang “menyerang” kami saat sedang turun dari puncak. Kami sempat panik dan dilanda rasa takut. Bagaimana tidak, kami berada di sebuah lapangan terbuka di ketinggian tanpa pohon sama sekali dan adanya berita kematian anggota organisasi pendaki gunung akibat tersambar petir yang terjadi tidak lama sebelum kami datang ke Sumatera Barat. Kami mematikan semua alat komunikasi sampai keesokan harinya. Dalam keadaan dan lokasi seperti itu agak sulit mencari tempat mendirikan camp yang tertutup dengan pohon untuk menghindari sambaran petir yang bunyinya bertalu - talu. Malam itu kami  menaruh semua harapan kami pada Sang Pencipta dan pohon cantigi yang tingginya tidak seberapa. Hujan masih terus turun sampai kami tertidur. Besok paginya cerah dan kami ceria menertawakan kejadian sehari sebelumnya. Dengan penuh tawa, kami namai camp terakhir kami “Mass Kill”, sebuah istilah dalam game Point Blank yang berarti serangan mematikan (kalau saya tidak salah).


Kami turun gunung seharian tetapi sempat beristirahat lama sambil mengobrol dengan pendaki gunung dari Riau. “Pokoknya kalo sampe di kaki gunung, saya mau makan bakso 2 mangkok”, kata Anto dalam perjalanan. Harapan untuk makan bakso 2 mangkok terwujud karena tepat di pinggir jalan raya tempat kami menunggu kendaraan menuju Paninjauan, ada warung bakso yang pemiliknya ternyata orang Jawa dan satu kampung halaman dengan Anto. Kami kembali tertawa sambil menikmati bakso terenak yang pernah kami makan sebelum kembali ke rumah Bang On yang sempat panik karena tak ada kabar seharian kemarin. Sebuah akhir perjalanan selalu tidak terduga. Namun, yang pasti akan selalu ada tawa di dalamnya. Beruntung bagi mereka yang mendapatkannya di akhir. Satu lagi perjalanan yang  terekam dalam ingatan. Terima kasih, Palawa.

Continue Reading...

Senin, 23 September 2013

Menghargai Perbedaan : Asshole!

Siang ini, aku melihat sebuah gambar yang diposting oleh teman di media sosial tentang penolakan adanya gereja di sebuah kawasan di Jakarta. "Anjing-anjing gereja bertobatlah kalian", "Harga mati tutup gereja', dll. Yang saya tahu, hal ini dibuat oleh sebuah forum yang mengatasnamakan sebuah agama mayoritas. Kejadian penolakan terhadap pembangunan gereja ini bukan untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Disebut anjing hanya karena beda keyakinan dan tentunya karena minoritas, itu di INDONESIA! Yang katanya menjunjung tinggi perbedaan dan menghargai setiap perbedaan. Tak habis pikir dengan mereka yang merasa paling benar. Siapa kalian yang bisa menilai tingkat keimanan seseorang dan mencap seseorang berdosa di saat dia hanya menyembah Tuhan yang kalian anggap tidak sama? Toh, kami tidak melakukan hal-hal buruk. Kami tidak membunuh, memperkosa, mencuri dsb. Kami hanya ingin beribadah dengan tenang dan sedapat mungkin tidak menganggu orang lain. 

Begitu cepatnya sang presiden yang terhormat ketika ada kejadian berkaitan dengan agama dan kemanusiaan di negara lain. Caper. Sok mengurusi bangsa lain padahal bangsanya sendiri sedang ditindas oleh sesamanya. Sungguh lelah hidup di negeri ini. Negeri yang katanya menunjung tinggi perbedaan tapi nyatanya omong kosong dan hanya jadi slogan. Penguasa tamak dan orang - orang bodoh tak toleran yang membuatnya hanya sebagai pajangan. 

Alkitab menulis "Tetapi Aku berkata kepadamu : Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Matius 5:44). Itulah yang diajarkan kepada kami untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Walaupun sesungguhnya hati dan darah ini panas ingin meremukkan kepala orang-orang yang menginjak-injak kami. Semoga Tuhan mengampuni kalian dan saya yang kurang sabar.
Continue Reading...

Minggu, 15 September 2013

Para Lelaki Perkasa dari Rinjani

"Over every mountain there is a path, although it may not be seen from the valley" - Theodore Roethke



Seorang senior di Palawa Unpad pernah berkata "Kamu belum naik gunung kalau belum naik Gunung Rinjani". Keindahannya memang bisa membuat banyak orang terpikat. Bukan hanya untuk pendaki gunung, orang yang tidak senang berpetualang di alam bebas pun sangat ingin menginjakkan kaki dan menikmati pelataran Dewi Anjani ini. 

Pesona Gunung Rinjani inilah yang membuat saya memendam impian untuk mendakinya, sehingga saya langsung setuju saat ada ajakan untuk mendaki gunung ini. Bagi kami yang Non Muslim, libur Lebaran merupakan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, baik untuk sekedar travelling ke sebuah kota atau melakukan petualangan di alam bebas. Waktu ajakan pendakian itu datang dalam waktu yang singkat, saya tidak ragu untuk menyetujuinya karena ada kepuasan tersendiri bila berhasil melakukan perjalanan dengan persiapan singkat meskipun harus berakhir dengan kantong kosong, kering dan gersang.

Mendaki gunung bukan hanya masalah tiba di puncak atau mengambil foto untuk kemudian dipamerkan. Ada hal - hal yang lebih daripada itu. Tetapi hal ini tergantung pada filosofi pendaki gunung itu sendiri. Setiap gunung mempunyai cerita dan keunikannya masing - masing. Bahkan Gunung Geulis atau Gunung Manglayang pun yang tingginya tidak seberapa bisa mempunyai cerita yang menakjubkan jika kita bisa memahami sepenuhnya makna sebuah perjalanan.

Gunung Rinjani menyediakan banyak cerita untuk diserap, gunung ini bukan hanya memberi landscape yang indah bagi para penikmat pemandangan, tetapi gunung ini juga menjadi tempat agung untuk para peziarah. Selain itu gunung ini juga menjadi ladang pendapatan bagi para lelaki lokal yang menyediakan jasa sebagai porter.

Pengurus Taman Nasional Gunung Rinjani menyediakan porter dan guide bagi mereka yang tidak ingin capek – capek membawa carrier, membangun tenda atau memasak. Fasilitas ini biasa digunakan oleh mereka yang memang jarang naik gunung dan sekedar ingin berwisata. Pada perjalanan ini, kami tidak menggunakan porter ataupun guide. Selain karena tidak punya uang lebih, kami juga merasa masih kuat untuk membawa barang sendiri walaupun pendakian ini pun disebut “ekspedisi ngesot”. Lebih tepatnya lagi sih, gengsi!

Kami berjalan dengan ritme santai, menghibur diri bahwa kami berjalan lambat karena ingin menikmati perjalanan padahal kenyataannya, barang bawaan yang lumayan berat dan tenaga yang tidak seperti dulu lagi menjadi salah satu alasan. Di sepanjang perjalanan kami bertemu dengan puluhan porter yang berjalan cepat sambil memikul tenda, air, kayu bakar dan bahan makanan yang sangat berat. Mereka harus cepat tiba di tempat tujuan sesuai dengan program yang disepakati dengan tamu. Sampai di tempat tujuan tugas mereka adalah membuat tenda yang nyaman dan memasak makanan yang enak. Memasak pun tidak boleh sembarangan karena harus sesuai dengan keinginan tamu serta makanan yang tidak boleh sama dalam satu program tersebut. Hal ini bukan masalah besar karena mereka mempunyai sertifikasi untuk menjadi porter termasuk di dalamnya keahlian dalam memasak. Para porter ini merupakan masyarakat Suku Sasak yang tinggal di Desa Sembalun Lawang dan Desa Senaru, dua jalur umum pendakian Gunung Rinjani yang paling sering digunakan. Umur mereka bervariasi, ada yang masih muda dan sebagian sudah separuh baya. Siapapun bisa menjadi porter asal memenuhi syarat dan tentunya masih kuat untuk memikul beban berat. Dengan bayaran normal Rp. 125.000,-/hari dan naik dua kali lipat pada high season, mereka menaiki Rinjani sekitar 2 kali seminggu dengan sendal jepit atau bahkan tanpa alas kaki. Saya terkesan dengan kekuatan dan keperkasaan mereka yang dapat melewati tebing-tebing terjal (khususnya jalur dari Danau Segara Anakan ke Plawangan Senaru atau ke Plawangan Sembalun) dengan barang bawaan mereka tanpa terpeleset. Yang lebih mengagumkan lagi adalah mereka yang tetap berpuasa sepanjang hari saat melakukan pendakian.

Tepat pada Hari Idul Fitri 1943 H kemarin, masih banyak porter yang melakukan pekerjaan mereka. Bahkan ada yang masih melayani tamu pada malam takbiran. Untuk mereka, Lebaran di Rinjani sudah menjadi hal yang biasa. Tak ada ketupat atau bahkan opor ayam seperti yang biasanya ada. Mereka memilih untuk bercengkrama dengan gunung yang sudah seperti halaman bermain bagi mereka, gunung yang sudah menjadi sumber penghidupan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari para lelaki perkasa ini. Entah siapa yang lebih beruntung, apakah kita yang menikmati makanan enak sambil berkumpul dengan keluarga atau mereka yang asik “bermain” dalam terjalnya jalanan dan dinginnya kabut Rinjani demi sesuap nasi. Saya juga tidak berani berspekulasi.


NB : 
Telah diedit oleh tim website Palawa Unpad dan telah dipublikasikan di www.palawaunpad.com

Continue Reading...

Kupang : Tak Seperti Yang Dibayangkan Sebelumnya

Flobamora, begitu kota ini sering disebut. Kupang merupakan ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, propinsi yang “didaulat” sebagai propinsi termiskin di Indonesia saat ini. Masyarakat Kupang mayoritas beragama Kristen dan Katolik. Itulah salah satu pertimbangan mengapa saya ditempatkan di sini oleh Lembaga Swadaya Masyarakat tempat saya bekerja sekarang. Tidak ada keraguan pada saat saya menerima tawaran ini karena di samping suka mendatangi tempat – tempat baru, saya rasa  saya akan cocok dengan kultur masyarakat di sini yang tidak beda jauh dengan kampung saya, Toraja.

Kota Kupang tidak seramai ibukota di Jawa bahkan Sulawesi. Jika dibandingkan, mungkin sama ramainya dengan Kota Garut di Jawa Barat. Di lihat dari udara, pemandangan hanya akan didominasi oleh ilalang dan pohon – pohon yang  tidak seberapa tinggi. Bangunan di kota ini berdiri di atas karang – karang yang keras sehingga jarang ada bangunan tinggi. Di samping itu, harus diakui bahwa Kupang dan daerah di sekitarnya memiliki garis pantai yang panjang dan indah. Selain indah, pantai – pantai ini masih jarang terjamah sehingga keindahannya masih asli. Kita tidak akan bosan dengan pemandangan pantai, sunset dan aktifitas nelayan. Dialek yang lucu juga membuat saya sangat tertarik untuk mempelajari bahasa di sini. Mereka berbicara seperti rapper karena cepat dan susah untuk ditangkap jika belum terbiasa. Di Kupang atau di NTT secara umum, ada banyak sekali suku daerah. Suku Timor, Suku Flores, Suku Rote, Suku Manggarai, Suku Sumba Barat, Suku Sumba Timur dan masih banyak lagi. Tiap suku walaupun di propinsi yang sama, mempunyai karakter dan kebiasaan yang berbeda. Suatu kesenangan tersendiri mendengar teman – teman baru di sini jika menceritakan tentang karakter masing – masing suku karena selalu dibumbui dengan humor yang bisa membuat kami tertawa terpingkal – pingkal.

Walaupun fasilitas hiburan di kota ini terbilang sedikit, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu. Salah satunya dengan nongkrong di Taman Nostalgia. Taman ini berada di jalan menuju Bandara El Tari, diresmikan pada tahun 2011 bersamaan dengan Gong Perdamaian Nusantara yang berada di tengah – tengahnya. Taman ini disediakan bagi warga Kupang untuk melakukan aktifitas bersantai seperti lari sore, main basket, menikmati live music yang diadakan hampir setiap Hari Sabtu malam atau sekedar duduk sambil menikmati kopi dan jajanan salome. Saya tertawa ketika pertama kali mendengar kata “salome” merupakan nama sebuah peganan favorit di Kupang. Artiny agak jorok bagi mereka yang pernah mendengar sebelumnya. Salome berbentuk bulat, kecil, terbuat dari terigu dan daging. Bentuk dan rasanya mirip bakso. Yang membedakan hanya “bakso” kecil ini digoreng lagi setelah dilumuri telur dan ketika akan disantap dilumuri lagi dengan bumbu kacang. Bisa menambahkan kecap atau sambal sesuai dengan selera. Jajanan ini bisa dibilang yang paling top di Kupang di samping gorengan. Masyarakat Kupang tidak terlalu kreatif dalam hal makanan.

Masih berbicara tentang makanan, bagi mereka yang Non Muslim jika ke Kupang harus merasakan se’i babi. Saya menganggap bahwa olahan daging babi di Toraja adalah yang terbaik. Tetapi itu sebelum saya memakan se’i babi. Rasanya nikmat tiada dua. Se’i adalah daging asap yang sampai saat ini rahasianya belum saya ketahui. Yang saya tahu, bumbunya meresap dan sangat pas. Jika bukan karena ancaman kolesterol, saya tidak akan bosan untuk memakannya setiap hari. Se’i ada yang dijual per porsi dan kiloan. Paket kiloan ini biasanya digunakan sebagai oleh – oleh.

Banyak yang menganggap Kupang adalah daerah tertinggal dengan sumber daya manusia yang juga terbelakang secara pengetahuan. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Sebagian besar masyarakat Kota Kupang sudah mengenal teknologi. Itu bisa dilihat dari gadget yang mereka gunakan dan pergaulan remajanya. Menurut beberapa teman yang asli Kupang, pergaulan sebagian besar remaja di sini agak bebas. Itu dapat dilihat dengan banyaknya gadis yang hamil di luar nikah dan cara berpakaian. Salah satu hal yang menarik adalah para remaja di Kupang mengadopsi “American Style” dalam hal pesta seperti pesta ulang tahun. Bagi mereka yang mampu dan ingin eksis, cukup mengadakan pesta sepanjang malam tanpa membatasi undangan. Silahkan datang bagi yang ingin datang. Tamu akan disuguhi dengan makanan dan minuman serta musik seperti di klub malam. Ramai atau tidaknya pesta akan berpengaruh pada pengakuan dalam lingkungan sosial. Jika pesta itu ramai, maka besok sang pembuat pesta akan terkenal dan menjadi perbincangan.


Bagaimanapun keadaannya, datang dan tinggal di tempat ini merupakan suatu pengalaman luar biasa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Kadang saya harus melawan jenuh dan rindu akan kebisingan Kota Bandung serta suasana nyaman bersama keluarga di Toraja. Tetapi inilah resiko sebuah pekerjaan, sebuah zona tidak nyaman yang telah saya pilih. Tidak ada cara lain selain menikmati dan mengeksplor Tanah Timor yang menyimpan banyak cerita dan keindahan.
Continue Reading...

Kamis, 22 Agustus 2013

United Indonesia : Angka 7 "Keramat"

Angka 7 menurut orang kebanyakan adalah angka yang bagus dan terkesan “macho”. Angka yang di dalam matematika merupakan salah satu bilangan prima yaitu bilangan yang tidak bisa dibagi dengan angka lain kecuali angka 1 dan dirinya. Angka 7 juga sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau sakral. Kekramatan angka 7 ditemui dalam cerita Suku Maya dimana mereka mempercayai adanya 7 lapis langit dan menganggap angka 7 sebagai angka penjuru mata angin. Di India, angka 7 adalah angka terpenting dalam Kitab Suci Weda selain angka 3 dan dalam kepercayaan mereka, Dewa Matahari mempunyai 7 kuda penarik keretanya di langit. Sedangkan dalam bidang sains, angka 7 adalah dasar dari akumulasi angka yang tak terhitung jumlahnya, mulai dari 7 atom, 7 partikel dan seterusnya.

Di dalam dunia sepakbola, nomor punggung 7 merupakan angka yang keramat. Konon, pemain sepakbola yang menggunakan nomor punggung 7 tidak perlu lagi diragukan kapabilitasnya dalam memainkan si kulit bundar. Siapa yang tidak kenal dengan Raul Gonzalez, Luis Figo, Andriy Shevchenko, David Villa yang menjadi kunci penting pada klubnya masing-masing.

“Kesakralan” nomor punggung 7 ini juga ditemui di Manchester United. Pemain-pemain seperti George Best, Eric Cantona, David Beckham dan Cristiano Ronaldo tidak akan pernah pudar dalam ingatan fans Man United di belahan dunia manapun karena prestasi dan sumbangsih yang telah mereka berikan bagi klub. Nama-nama mereka masih berkumandang di Old Trafford walaupun mereka sudah tidak bermain. Pemain-pemain bernomor punggung 7 ini dikenal dengan sebutan “Magnificent Seven”. Magnificent yang berarti indah atau agung menandai penghormatan dan kekaguman para fans Man United pada para pemain pemegang nomor punggung 7.

Pada hari ini tanggal 20 Agustus 2013, angka 7 menjadi sesuatu yang spesial bagi United Indonesia. Yup, pada hari ini United Indonesia yang merupakan fans klub terbesar di Indonesia memperingati ulang tahun yang ke-7. Setiap orang bisa memaknai angka 7 dengan cara dan pemahaman yang berbeda-beda. Yang jelas, angka 7 bagi United Indonesia merupakan sebuah angka penuh makna. Angka 7 yang melambangkan jalan penuh lika-liku dan pengorbanan. Angka 7 yang melambangkan suatu gerbang menuju arah kedewasaan dengan harapan insan-insannya dapat mengukir prestasi seperti para “Magnificent Seven”. Semakin eratnya kekeluargaan juga menjadi salah satu harapan besar di umur yang ke-7 ini. Karena United Indonesia bukan hanya sebuah komunitas tetapi sebuah keluarga besar yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Sebuah kekeluargaan yang indah dan agung. Mengutip kata-kata Barbara Bush “To us, family means putting your arms around each other and being there”. Seperti itulah United Indonesia sampai detik ini dan akan selalu seperti itu.


Selamat ulang tahun yang ke-7 United Indonesia-ku. Keep The Red Flag Flying High and always Magnificent!


Continue Reading...

Senin, 15 Juli 2013

Sepotong Rindu, Selaksa Harapan dan Sepenggal Doa

Dulu aku pernah sangat membencinya. Bahkan ada seurat dendam ketika dia melakukan sesuatu yang sangat menyakiti hati ibuku. Sejak kecil, aku diajarkan untuk segan dan cenderung takut padanya. Aku takut dengan kemarahan dan tatapan matanya. Aku ingat bagaimana kerasnya dia mendidik aku dan saudaraku. Semuanya harus sesuai dengan keinginannya dan tugas kami hanyalah melakukan sesuatu yang tidak membuatnya marah. Dia pintar, dihormati, keras kepala dan temperamen. Tetapi karena kenakalan masa mudanya, dia hanya berakhir menjadi seorang petani. Di luar itu, dia merupakan salah satu tetua adat yang dipercaya untuk menjalankan tatanan adat di kampung kami. Aku hampir lupa kenangan manis tentang dirinya semasa aku kecil. Sikapnya yang menjadikan kami lebih dekat dengan ibu. Dia ayahku.

Beranjak dewasa apalagi semasa kuliah, aku yang memang berkarakter terbuka, mempunyai pergaulan yang cukup luas. Dari sering bergaul dengan orang-orang yang berasal dari etnis dan golongan lain, aku belajar untuk menjadi seorang yang tidak malu-malu mengungkapkan rasa cinta pada orang-orang terdekat atau sekedar mengatakan rindu. Aku mulai mengungkapkan rindu pada ayahku walaupun baru sebatas pesan singkat. Pesan singkat itu akan dibalasnya singkat dengan menanyakan kabar atau menulis harapan agar aku selalu dalam lindungan Yang Kuasa. Hal ini sangat berbeda jika kami bertemu langsung. Dia sosok yang dingin, cuek, dan hampir tidak pernah ke gereja karena alasan pribadi walaupun ibuku tanpa putus asa mengajaknya untuk ke gereja. Hal ini kadang-kadang memicu pertengkaran antara dia dan ibu. Semakin lama aku semakin mengenal sosok ayahku. Untuk mengajaknya bicara, harus mencari waktu yang tepat dan saat suasana hatinya sedang bagus. Jika tidak, matanya akan melotot atau membuang pandangan sambil mengisap rokoknya jika dia tidak tertarik dengan pembicaraan. Tetapi aku semakin kebal dengan sikapnya. Aku akan terus menyerocos mengajaknya mengobrol jika aku sedang ingin tidak peduli dia mendengarkan atau tidak. Ibuku pun demikian. Ibuku sosok wanita yang kuat dan tahan banting. Dia sudah mengalami pahit manisnya kehidupan berumah tangga dan masih bertahan sampai detik ini dengan seorang laki-laki yang menguras air matanya hampir setengah umurnya. Ibuku sudah tiba pada titik kesabaran yang paling tinggi dan bertahan di situ tak bergeming. Yang dilakukan oleh ibuku sekarang adalah pengabdian seorang istri kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya.

Ayahku semakin tua. Saat aku menulis ini usianya telah menginjak 63 tahun dan aku akan menginjak umur 24 tahun. Aku semakin dekat dengan ayahku walaupun selama 6 tahun terakhir aku berada di perantauan untuk kuliah dan bekerja. Masih kuingat ketika aku tidak ranking 1 di kelas, dia hampir membakar raportku karena menurutnya tidak ranking 1 bukan suatu prestasi. Masih kuingat juga ketika dia memukulku dengan rotan karena bermain sampai malam di rumah tetangga. Tetapi aku juga masih sangat ingat ketika aku lulus kuliah dan pulang untuk waktu yang lama di rumah, kami mengobrol di depan teras rumah. Kami membicarakan tentang rencanaku selanjutnya setelah menyelesaikan pendidikan. Aku bersikeras untuk kembali ke Bandung atau Jakarta untuk mencari pekerjaan. Beliau diam dan hanya memandang hamparan sawah di depan rumah kami. Dengan suara berat dia berkata "Kenapa harus jauh-jauh mencari kerja. Cari kerja di sini saja. Cari kerja di Pulau Jawa itu sulit". Kami berargumen. Aku tetap dengan keinginanku untuk merantau lagi dan kuyakinkan beliau bahwa aku akan mendapat pekerjaan di Pulau Jawa. Akhirnya dia mengalah dengan terpaksa karena pada saat itu tiket ke Jakarta sudah kupesan tanpa sepengatahuannya. Baru saat ingin berangkat aku menyadari bahwa ayahku ingin aku tetap tinggal di kampung untuk menemani dia dan ibu karena saudaraku yang lain sudah merantau. 

Aku sadar dan yakin benar bahwa ayahku sangat menyayangiku. Sekeras apapun, dia tetaplah seorang ayah dan aku adalah putri kecilnya. Dia menyayangiku tanpa ungkapan. Dia sayang tetapi tidak bisa menunjukkannya. Jika dia ingin menunjukkan, yang keluar hanya nada marah. Sampai sejauh ini dengan apa yang sudah aku lewati, aku sangat bangga mempunyai seorang ayah seperti beliau. Saat aku menulis ini, beliau tengah terbaring lemah di dalam ruang ICU salah satu rumah sakit di Toraja. Berita yang membuatku lemas seketika dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku bingung. Tetapi kemudian aku menguatkan hati, berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar memberi kesembuhan kepada beliau. Aku belum siap untuk hal terburuk. Aku belum membahagiakan beliau. Aku belum berbuat apa-apa untuk membuat dia bahagia. Sepotong rindu dan selaksa harapan mengiringi doaku malam ini. Semoga ayahku sembuh karena dia kuat.
Continue Reading...

Jumat, 12 Juli 2013

Bebal

Rasa iri itu mematikan. Bisa mengoyak-ngoyak hati seperti seekor harimau yang sedang merobek-robek mangsanya. Sakitnya bisa membuat meringis sampai menangis. Terkadang kita begitu benci melihat seseorang yang sedang bahagia karena apa yang kita inginkan tidak kita dapatkan sedangkan mereka mendapatkan apa yang kita inginkan itu. Benci ini penyakit, kata orang-orang bijaksana. Dia bisa menggerogoti tulang dan daging kemudian menghempaskan kita dalam keterpurukan. 

Banyak orang yang tidak beruntung seperti kita dan kita tahu pasti itu. Dalam berbagai perjalanan yang telah kita lalui, kita banyak melihat kesusahan orang lain yang makan belum tentu tiga kali sehari, menempuh berpuluh-puluh kilo untuk mengecap pendidikan, bangun sebelum matahari terbit dan berjalan kaki untuk mendapatkan uang yang tak seberapa. Ya Tuhan, ampuni kami manusia yang tidak pernah bersyukur. Manusia tidak tahu terima kasih yang mengeluhkan segala keadaan. Manusia yang penuh iri dan benci kepada mereka yang lebih beruntung. Manusia yang tidak pernah merasa cukup. Manusia yang ingin lebih dan lebih lagi saat mendapatkan sesuatu. Ya Tuhan, ampuni aku yang tahu dan sadar bahwa aku telah cukup mendapat belas kasih-Mu namun bebal dan masih selalu mengeluh karena merasa kurang. Aku malu... sangat malu...
Continue Reading...

Rabu, 10 Juli 2013

Kami, Para Turis Gasruk

Catatan yang tertinggal...
Thaekek, 4 Desember 2011 

"If you don't know where are you going, Any road will get you there" - George Harrison

Pagi hari ini Thaekek cerah seperti pertama kali kamu datang ke sini. Setelah sarapan dan pindah ke hotel yang lebih luas dan mempersiapkan segala sesuatu untuk tim yang baru akan datang, kami menyewa motor untuk jalan-jalan hari itu. Kami berencana mengunjungi gua-gua wisata yang ada di sekitar Thaekek. Gua di dalam bahasa Laos disebut “Tham”. Ada yang menyebutnya “Than”. Kami menyusuri jalan raya yang cukup besar ke arah Maahaxay. Pemandangan yang sangat luar biasa kami lihat di sepanjang jalan. Kanan kiri jalan dipenuhi tebing karst yang menjulang tinggi dengan gagahnya. Saya hanya bisa ternganga melihat gunung batu yang tampak tak tersentuh sehingga kemegahannya masih sangat terasa. Akan sangat jauh berbeda jika menyusuri jalan Padalarang, Jawa Barat yang gunung-gunungnya sudah tidak berbentuk bahkan habis dikarenakan eksploitasi besar-besaran perusahaan meubel.


Perhentian pertama kami jatuh pada sebuah gua yang merupakan tempat ibadah umat Budha di sekitar daerah tersebut. Gua itu juga dibuka untuk para wisatawan. Gua tersebut berada di bawah sebuah tebing yang jika dilihat sekilas akan tampak seperti tebing yang tersusun dari batuan andesit. Namun, kata Anto, sang Geologist, itu merupakan batuan karst. Kami menanyai penjaga berapa yang harus kami bayar untuk masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi lagi-lagi kendala bahasa. Bahasa isyarat pun tak mempan. Jadi kami terus berjalan mengikuti tangga tanpa diinterupsi oleh sang penjaga. Sepanjang tangga dipenuhi kain warna warni sehingga saya menebak, sebelum kami ke sana ada perayaan keagamaan. Mulut gua tersebut besar dan di dalamnya terdapat patung Budha yang sangat besar. Untuk mendekati patung tersebut, kami harus melepaskan alas kaki. Setelah berfoto dan melihat-lihat, kami meneruskan perjalanan ke gua selanjutnya.




Gua ini kami temukan berkat penunjuk jalan bertuliskan “Phan Ya In Cave”. Guanya tampak sudah lama tak dikunjungi karena jalan menuju ke sana ditutupi semak belukar. Di depan mulut gua terdapat sebuah patung Budha yang warnanya masih cerah namun sudah berdebu. Seperti biasa, rasa penasaran membawa kamu untuk melangkah ke dalam gua tanpa penerangan. Tapi tak perlu khawatir karena chamber di dekat mulut gua masih sedikit diterangi matahari. Jika berjalan sedikit ke bawah, kita akan melihat sebuah aliran sungai. Wah, nanti Tham Khoun Xe juga begini bentuknya, pikir kami. Fariz yang berjalan paling depan langsung memperlihatkan muka iseng dan memberikan ide untuk kembali mengambil pelampung. Tapi usulan itu kami tolak dengan alasan jarak tempuh dan memutuskan untuk datang lagi esok harinya dengan membawa pelampung.


Perjalanan kami lanjutkan jauh ke arah Mahaxay. Jalan ini merupakan jalan yang bisa dilalui jika ingin ke Vietnam. Di kiri kanan jalan masih didominasi oleh tebing-tebing dan rumah penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Semakin jauh, pemandangan masih sama sehingga kami memutar balik dan kembali ke arah menuju Thaekek. Di tengah perjalanan, kami tertarik (lagi-lagi) pada sebuah penunjuk kalan besar tentang keberadaan sebuah gua wisata. Namanya pernah saya dengar dari Mr. Mee, orang asli Laos yang akan menjadi guide kami nantinya. 8 km? Tidak terlalu jauh, pikir kami. Kami berempat, saya, Fariz, Anto, Fia, mempercepat laju motor di atas jalan berdebu tebal. Karena saat itu musim kemarau, maka tak ayal seluruh debu beterbangan menyambut deru mesin motor sewaan kami sore itu. Setelah bergulat dengan debu sekitar 20 menit, tibalah kami di sebuah tempat yang dikelilingi gunung-gunung batu, tempat yang rasanya pernah saya lihat di sebuah adegan film mandarin. Kami memarkir motor dan berjalan di sepan sebuah toko souvenir kemudian berjalan menuju gua. Jalan menuju gua tersebut adalah jembatan kayu yang dibuat di atas sebuah rawa yang ditumbuhi banyak tumbuhan liar. Makin mirip dengan tempat syuting film, pikirku. Ternyata rawa tersebut tersambung dengan genangan sungai yang melintasi gua tersebut. Melihat sebuah perahu kayu usang diparkir di pinggir rawa, dapat disimpulkan bahwa dulu bada service melalui aliran sungai menaiki perahu.



Gua ini juga ternyata merupakan tempat ibadah umat Budha. Untuk masuk ke dalam gua, para wanita harus menggunakan sarung yang disewakan seharga 5000 kip. Sudah ada tangga permanen yang dibuat menuju mulut gua tempat orang beribadah. Mulut guanya agak sempit. Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat pemandangan dalam gua. Gua tersebut seperti disulap menjadi kuil mini dengan lilin dan instrumen-instrumen ibadah di sekelilingnya. Di tengah-tengah gua yang cukup luas itu juga digelar karpet dan di atasnya ada sekitar 7 orang yang sedang berkeliling untuk makan dan sebagian lagi menghitung uang. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan karena mereka tampak biasa-biasa saja dengan kedatangan kami. Salah seorang hanya berseru memberikan isyarat tidak boleh ketika kami mengeluarkan kamera. Di dalam gua itu tidak boleh memotret. Singkat dan kami memutuskan untuk keluar meninggalkan tempat itu. Pemandangan di luar gua jauh lebih menakjubkan dan bukan main indahnya. Kami akan berlama-lama di situ andai saja tidak memikirkan jalan kembali yang agak jauh sedangkan hari semakin sore.



Debu kembali mengepul. Beberapa kali yang dibonceng harus keluar turun di motor karena kondisi jalan yang buruk dan hari sudah mulai gelap ketika kami tiba di jalan raya menuju Thaekek. Petualangan kami akan dilanjutkan besok. Hari ini cukup karena saudara-saudara kami yang lain akan segera tiba di Thaekek setelah menempuh perjalanan panjang dari Vientiane.


Continue Reading...

Rabu, 03 Juli 2013

Mereka Menyebutnya Fanatisme Buta

Tidak seperti anak sekolah yang senang dengan masa liburan menuju pergantian tahun ajaran baru, bagi penggemar sepakbola, waktu ini merupakan waktu-waktu yang sangat membosankan. Bulan dan minggu yang selalu dipenuhi oleh pertandingan sepakbola dunia menjadi datar karena pergantian musim. Pemain sepak bola juga manusia sehingga mereka perlu istirahat dari pekerjaannya untuk menghibur ratusan juta mata dengan aksinya di lapangan. Waktu libur ini juga digunakan oleh setiap klub untuk berbenah, mengevaluasi musim yang telah lewat dan bersiap-siap untuk menghadapi musim baru dengan menjual atau membeli pemain baru untuk memperkuat timnya. Beberapa tim Eropa mempunyai acara rutin tahunan yang dikenal dengan pre-season match yang bisa juga disebut laga pemanasan sebelum liga bergulir. Biasanya tim-tim besar ini melakukan tour ke negara-negara di luar Eropa untuk melakukan pertandingan persahabatan. Tetapi tujuan sebenarnya dari kegiatan ini adalah untuk melakukan ekspansi bisnis dan merupakan salah satu metode pemasaran untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya demi tetap berjalannya klub.

Suatu sore, saya berbincang dengan seorang teman, Dia adalah Bobotoh, sebutan untuk pendukung Persib Bandung. Dia juga menyukai West Ham United, salah satu tim liga Inggris yang pendukungnya pernah difilmkan dalam "Green Street Hooligans". Perbincangan bermula dari aksi pelemparan bis pemain Persib yang akan menuju ke Gelora Bung Karno untuk melakukan pertandingan melawan Persija. Pelemparan ini kabarnya dilakukan oleh oknum The Jakmania. Oknum, kata yang sedang populer dan menjadi bahan bercandaan kalangan penggemar bola di Indonesia sebagai tanda protes atas kepengecutan pihak-pihak tertentu untuk menyebut pihak yang bertanggung jawab atas sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Kejadian ini memicu reaksi dari Bobotoh di Bandung dengan melakukan sweeping plat B, plat mobil untuk Jakarta. Tidak semua Bobotoh, hanya oknum (lagi-lagi oknum). Lucunya, jika memakai logika, tidak semuanya yang menggunakan plat B adalah pendukung Persija. Logikanya... Tetapi kalau emosi yang main, bagaimana mau menggunakan logika? Saya tidak mau mengatakan siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kejadian ini. Terus terang saya hanya geleng-geleng kepala dengan kelakukan para supporter bola di tanah air.


Perbincangan berlanjut tentang fanatisme. Menurut KBBI, fanatisme adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dsb). Kata ini sering dijumpai di dalam sepak bola. Bagi beberapa orang atau kelompok, sepak bola atau klub kesayangan sudah seperti agama. Saya ingat sebuah percakapan di dalam film "Looking For Eric" oleh seorang fans Manchester United yang berbunyi "You can change your wife, change your politics, change your religion, but never can you change your favorite football team". Begitu besarnya pengaruh sebuah klub sepak bola bagi kehidupan fansnya. Menurut saya, itu sesuatu yang sangat wajar apalagi jika orang atau kelompok tersebut hidup dalam kultur klub tersebut seperti Persib bagi orang-orang Bandung, Manchester United bagi orang-orang Manchester atau Liverpool dan Everton bagi orang-orang Liverpool. Yang dipertanyakan di sini adalah orang atau kelompok yang tidak hidup dalam kultur sebuah klub secara langsung dan hanya merupakan fans jarak jauh. Haruskah fanatik?


Membahas hal ini akan memunculkan banyak pendapat baik pro maupun kontra. Saya sendiri terkadang sulit untuk menggambarkan kadar kecintaan saya terhadap sebuah klub. Ada yang menyebut fans sejati karena kesetiaan mendukung tim saat kalah ataupun menang. Tapi poinnya bukan di situ. Saya sudah menyukai sepakbola sejak lebih dari satu dekade yang lalu ketika saya masih berseragam putih - biru. Saya menyukai dua tim Eropa yang berbeda liga walaupun makin lama kecintaan terhadap yang tim yang satu lebih besar daripada tim yang lainnya. Saya masuk komunitas fans klub dan aktif di dalamnya. Kami nonton bareng sambil mengumandangkan chants layaknya kami sedang berada di dalam stadion. Tetapi makin lama kejenuhan itu datang ketika muncul orang-orang yang membawa ukuran-ukuran kadar kecintaan seseorang terhadap sebuah klub yang dia puja. Mereka menyebut bahwa jika tidak nonton bareng, tidak mengumandangkan chants saat nonbar, menggunakan jersey KW, mendukung lebih dari satu klub, tidak ini tidak itu bukanlah fans sejati. WTF! Who the hell are you who can measure those things?! Selain mengukur, mereka juga bersumbu pendek yang gampang marah ketika klub mereka dicaci maki dan mengamuk melalui sosial media.

Saya setuju dengan pendapat seorang teman "Emang kalo lo marah-marah atau sampai berantem karena klub bola di belahan dunia sono, trus lo kenapa-kenapa, emang klub yang lo bela itu bakal ngelakuin sesuatu buat lo?". Calm down my bro. Tidak ada salahnya mencintai atau memuja sebuah klub sepak bola. Saya sendiri bahkan tidak bisa menahan air mata ketika pelatih klub yang saya dukung mengundurkan diri atau ketika tim yang saya dukung kalah di sebuah kompetisi. Saya juga bahagia tidak terkira dan tidak bisa digambarkan ketika tim yang saya dukung mencetak gol atau memenangkan sebuah tropi. Itu masalah perasaan, tidak bisa diganggu gugat. Jika kita mendukung sebuah klub sepakbola di belahan dunia lain dengan berlebihan, mungkin itu juga masalah perasaan. Saya tidak ingin menyalahkan. Hanya mereka kadang menyebutnya fanatisme buta. Why so serious?




Continue Reading...

Kamis, 27 Juni 2013

Cabul, Fisip dan Postmo

Kemarin sore menjelang malam sepulang bekerja, saya datang ke sebuah taman di tengah kota untuk berkumpul dengan teman-teman komunitas yang belum lama ini terbentuk. Karena ada sedikit perbedaan bahasa, saya harus lama mencerna apa yang mereka katakan. Tetapi selalu menyenangkan untuk sekedar berkumpul sambil tertawa tentang apa saja dengan siapapun itu. Langit mendung dan kami masih belum beranjak dari tempat kami. Saya sesekali melihat update status teman di kontrak Blackberry yang selalu asik untuk dibaca dan dikomentari. Adit, senior dan teman kala kuliah mengupdate sebuah status "RIP Arif Beldwin a.k.a Cabul". Sepersekian detik saya terdiam kemudian mengotak-atik kontak untuk melihat status teman yang lain. Saya juga beberapa kali me-refresh timeline twitter saya untuk memastikan status tersebut. Tidak ada yang membahas sama sekali. Bbm, mengirim pesan singkat dan menelpon teman yang mungkin tahu kabar, saya lakukan. Beberapa teman yang saya hubungi memastikan bahwa Bang Arif Beldwin benar sudah meninggal dalam kecelakaan travel menuju Jakarta dari Bandung. Saya tak kuasa menahan air mata. Hal yang paling pertama saya ingat adalah tawa almarhum. 

Arif Beldwin Jensen Sihombing, biasa dipanggil Cabul karena konon jika tertawa mukanya mesum. Saya juga kurang tahu sejarahnya. Saya masuk Fisip Unpad pada tahun 2007 dan beliau angkatan 2002 dari jurusan yang berbeda. Cukup jauh. Saat saya masuk, beliau merupakan salah seorang senior yang cukup dikenal di fakultas kami. Kala itu saya menjadi presidium sebuah sidang angkatan dan dia berada tepat di depan muka saya sambil berteriak. Dia gampang diingat dengan tubuh jangkung, kulit putih dan rahang khas orang Batak-nya. Vokal dan galak. First impression saya sebagai seorang mahasiswa baru. Waktu berlalu, saya resmi secara sosial menjadi bagian dari fakultas. Kantin kampus, tempat hampir semua kegiatan di kampus kami lakukan dan merupakan tempat ternyaman untuk melarikan diri dari kuliah yang membosankan. Saya beberapa kali bertemu dengan beliau tetapi masih sebatas menyapa karena masih ada rasa segan dan tidak ingin disebut sok akrab. Tiba saatnya kami menjadi panitia Postmo, sebutan untuk ospek fakultas kami. Saya masuk dalam divisi Logistik, divisi di belakang layar yang memang saya ingin masuki dari dulu. Menjadi panitia itu melelahkan. Apalagi jika ada Latihan Gabungan di mana banyak senior (yang dulunya panitia Postmo) datang untuk mengevaluasi kinerja kami. Mereka disebut swasta. Salah satunya Bang Cabul. Kami bisa begadang sampai subuh untuk kegiatan ini. Push up dan dibentak jadi menu utama di tengah dinginnya malam Jatinangor. Kegiatan ini tidak sepenuhnya menyebalkan. Banyak hal menyenangkan dan inilah yang saya sebut "kegiatan kampus" yang sebenarnya selain mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa, Palawa Unpad dan Unit Sepakbola Unpad kala itu. Dari Postmo ini, saya dekat dengan banyak mahasiswa se-fakultas yang berbeda jurusan baik itu junior, seangkatan maupun senior. Setelah 2 (dua) kali turun menjadi panitia Postmo, berdasarkan peraturan tidak tertulis, kami bisa bergabung menjadi swasta. 

Dari kegiatan Postmo ini saya dan beberapa teman lain yang seangkatan menjadi dekat dengan Bang Cabul.  Di tengah-tengah membentak panitia, kami sesekali ke pojokan barisan yang dibentuk sambil menertawakan tingkah junior yang terkadang konyol. Bertemu di kantin kami tidak hanya saling menyapa tapi mulai saling bercerita. Dia kerap kali mengeluarkan statement atau candaan yang akan membuat kami tertawa terbahak-bahak sampai menangis. Sangat berbeda jika dia menjadi "swasta" pada acara-acara Postmo. Pernah saya iseng bertanya pada beliau "Bul, 2002 udah kan udah pada lulus, kok lo blum lulus-lulus sih? Masih betah ya di kampus? Haha". "Iyalah betah. Ngapain lulus cepet-cepet, masuk kuliah mahal ra, harus dinikmati', katanya sambil tertawa. "Gak sih, sebenernya gue juga pengen lulus cepet. Tapi gue belum kebayang kalo lulus nanti mau jadi apa. Liat ntar ajalah. Lagian masih ada di atas gue yang belum lulus. Tapi ntar lo jangan kayak gue. Kuliah emang enak tapi  tanggung jawab ama orang tua juga buat lulus cepet harus lo inget", katanya menambahkan masih sambil tersenyum. 

Tidak banyak kenangan saya dengan beliau. Tetapi waktu yang saya lewati dengan beliau semuanya penuh dengan tawa. Pernah saat kami sedang bosan sesaat setelah jadi panitia acara kampus untuk mahasiswa baru, dia menghampiri kami dan mengeluarkan banyolan yang membuat kami serentak tertawa. Malam itu jadi malam yang panjang.

Ospek, identik dengan perpeloncoan. Tetapi di Fisip Unpad tidak ada perpeloncoan selama saya menjadi peserta dan panitia. Dimarahi dan dibentak senior pasti ada, tapi that's it. Tidak ada kontak fisik atau perintah yang aneh-aneh. Menjadi mahasiswa Fisip, kami hanya dituntut untuk menjadi orang yang kritis yang tidak boleh menelan mentah-mentah sebuah informasi atau perintah. Harus ada reason yang masuk akal. Begitu juga mengeluarkan pendapat, harus logis dan tidak asal bunyi. Banyak yang menentang ospek. Tetapi kami yang mengalami dan menikmati justru terikat secara emosional karena sesuatu yang bernama ospek. Terserah pendapat orang, inilah yang saya rasakan.

Hujan rintik turun mengiringi kesedihan teman-teman yang ditinggalkan Bang Cabul. Banyak yang kehilangan.  Wajar. Beliau orang baik, hangat dan menyenangkan. Sosok abang dalam arti sebenar-benarnya. Semoga Tuhan Yesus selalu memeluknya untuk ditempatkan terbaik di sisi-Nya. Semoga semangatnya untuk Fisip yang lebih baik selalu menyala di dalam adik-adik yang sekarang meneruskan perjuangan kami. Selamat jalan, Bul. Sampai bertemu di keabadian. Titip salam untuk abang Willson-ku.


Continue Reading...

Sabtu, 15 Juni 2013

Are You Strong Enough?

"You'll never know if you never try". Kalimat yang sering saya dengarkan dan kadang-kadang menjadi pemicu semangat saat ragu. Dulu sekali ketika saya masih SMA, saya melihat iklan di tv di mana seorang wanita muda menggunakan sarung di dalam hutan lebat Pegunungan Bukit Dua Belas, Jambi. Beliau adalah pendiri Sokola Rimba, sebuah sekolah alternatif untuk anak-anak rimba di Suku Anak Dalam. Saya mengagumi wanita tersebut dan ingin menjadi sepertinya suatu saat nanti. Wanita, di hutan menjadi seorang guru dan pendiri sekolah bagi anak-anak yang mungkin bahasa indonesia saja tidak mengerti, bagi saya merupakan sesuatu yang sangat keren.

Takdir mendukung. Siapa sangka, saya masuk ke sebuah organisasi pecinta alam kampus yang ternyata dulu juga merupakan bagian kehidupan mahasiswa beliau. Dalam prosesnya, saya mendengar banyak cerita tentang pengalaman senior-senior saya ketika berada di pedalaman untuk waktu yang lama dan bagaimana mereka bertahan dalam pergaulan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya. Dalam beberapa perjalanan saya juga sempat mengalami hal-hal tersebut tetapi tidak dalam waktu yang lama. Saya merasa bahwa jika nanti saya bekerja, saya tidak akan betah duduk di dalam sebuah ruangan selama berjam-jam dan melakukan hal tersebut berulang-ulang setiap hari. Saya selalu yakin bahwa saya bisa bertahan jika saya ditempatkan di pedalaman dan bergaul dengan masyarakatnya. Saya berpikir bahwa hidup dengan masyarakat dan jauh dari peradaban akan memberi saya pelajaran yang berharga tentang kesederhanaan dan bagaimana bersyukur atas semua nikmat Tuhan dalam kehidupan saya.

Tetapi kenyataan berkata lain. Saya yang baru dua bulan berada di sebuah ibukota propinsi termiskin di Indonesia ternyata tidak bisa menghalau kebosanan dan kejenuhan. Baru dua bulan  dan itu terasa sudah dua tahun. Saya merasa sudah sangat lama berada di sini sambil setiap malam memikirkan kapan saya akan pulang ke rumah atau ke tempat yang ramai dengan banyak hiburan. Lemah sekali. Kemudian saya berpikir lagi, ini kota bro, bukan desa terpencil tanpa sinyal dan jaringan internet. Berada di sini saja sudah tidak tahan luar biasa, bagaimana jika saya tinggal berbulan-bulan di daerah yang jauh dari kota dan tidak terjangkau oleh alat komunikasi. Mungkin setiap malam saya akan menangis memanggil ibu saya.

Hidup di kota besar selama 5 tahun lebih membuat saya terbiasa dengan hal-hal yang bersifat praktis. Saya sudah terbiasa dengan hal-hal yang bisa dengan cepat mengusir kebosanan dan rasa jenuh. Saya kadang-kadang keluar dari zona nyaman dengan mendaki gunung, menyusuri gua, bepergian ke kampung adat dan perjalanan-perjalanan lainnya tetapi hanya dalam hitungan hari dan minggu. Setelah itu saya akan kembali ke kasur empuk dan makan makanan yang ingin saya makan saat itu. Daya tahan saya ternyata baru benar-benar diuji sekarang. Ujian-ujian yang pernah saya lewati ternyata belum seberapa. 

Seseorang pernah berkata "The most dangerous zone is comfort zone". Bagi sebagian orang mungkin ini adalah zona nyaman. Tetapi bagi saya ini adalah zona nyaman yang seringkali tidak nyaman di mana kebosanan dan kejenuhan jadi musuh utama yang sampai sekarang masih saya pikirkan cara untuk menyingkirkannya.
Continue Reading...

Jumat, 14 Juni 2013

Fragment #14

Memulai itu sulit, memulai itu sulit, memulai itu sulit.
Namun dengan segera memulai berarti setengah pekerjaan selesai
Kelapangan jalan hanya diperoleh orang yang bersungguh-sungguh berjuang
dan di malam harinya dia masih terjaga, merenung mengingat kelemahannya
serta memohon kekuatan dari-Nya

Anonymous
Continue Reading...

Fragment #13

Dalam diriku mengalir sungai panjang
darah namanya..
Dalam diriku menggenang telaga darah
sukma namanya..
Dalam diriku meriak gelombang sukma
HIDUP namanya..

Dalam Diriku, Sapardi Djoko Damono
Continue Reading...

Sabtu, 08 Juni 2013

Berbeda

Ada hal-hal yang memang seharusnya diubah dan tidak bisa dipertahankan terus menerus. Perubahan untuk bertahan hidup. Tidak selamanya yang mainstream itu selalu baik. Bahkan kenyataannya, memilih untuk mengikuti mainstream membuat kita harus ikut dalam pemenuhan standar-standar para kaum mayoritas. Di negeri ini hampir sulit untuk menjadi seorang minoritas. Saya sering berpikir bahwa saya berbeda dengan orang lain. Tapi saya baru sadar kalau saya hanya berpura-pura untuk menjadi beda dan selalu ingin sama dengan orang kebanyakan. Hal ini saya lakukan untuk diterima oleh orang banyak. Karena ingin memenuhi standar yang sudah ditentukan, saya menjadi orang yang iri dan dengki dengan orang-orang yang sudah memenuhi standar mereka. Mengapa tidak menentukan standar sendiri saja? Bukankah itu lebih mudah? Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Hanya berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Menjadi berbeda itu sulit. Padahal berbeda membawa kita pada ketenangan jiwa. Saya pernah mencobanya dan saya gagal. Kali ini saya harus mencobanya lagi karena saya sudah hampir menuju sakit jiwa.
Continue Reading...

Minggu, 26 Mei 2013

David Beckham, Never Ending Story

David Robert Joseph Beckham, lahir di Leytonstone, London 2 Mei 1975. Tempat dan tanggal lahir yang saya ingat sebagaimana saya mengingat tempat dan tanggal lahir orang-orang terdekat saya. Tidak ada yang aneh ketika anda menyukai seseorang dan anda mencari serta mengingat sesuatu dari orang tersebut. Saya mengagumi seorang Beckham ketika dia sudah berkarir selama 10 tahun di dunia sepakbola. Hal pertama yang saya tahu dia merupakan kapten kesebelasan Inggris dan bermain untuk Manchester United. Dia pemain sayap kanan dan memiliki crossing serta tendangan bebas yang sangat akurat. Ketika orang membicarakan golnya dari tengah lapangan tahun 1996 saat melawan Wimbledon, saya tidak akan tahu karena saya belum tahu dia pada saat itu. Tahun 2002 tatkala saya masih duduk di bangku SMP, saya yang masih labil menggunakan nama “Becks” di belakang nama ketika saya membuat alamat email yang pertama dan masih saya pakai sampai sekarang. Mayabecks2310@yahoo.com, terdengar sangat lumrah saat itu. Kami yang baru mengenal internet hampir setiap pulang sekolah nongkrong di warnet untuk sekedar chatting dengan orang tidak dikenal melalui MIRC. Kegiatan saya itu ditambah dengan mengumpulkan gambar-gambar Beckham ke dalam sebuah disket yang kemudian akan saya print dan saya tempelkan di sudut kamar atau sudut buku sekolah. Nama David pun saya usulkan menjadi nama keponakan pertama saya tetapi ibunya menolak karena dianggap terlalu pasaran. Daevin, menjadi nama keponakan saya itu. Beda sedikit.

Menjadi kapten Timnas Inggris 
Siapa sangka, kekaguman terhadap Beckham ini membuat saya menyukai Manchester United sampai sekarang walaupun setahun setelah saya mendeklarasikan diri sebagai fansnya, tepatnya tahun 2003 dia pindah ke Real Madrid. Kegiatan mengumpulkan gambar masih saya lakukan sampai SMA yang sudah mulai merambah pengguntingan koran atau majalah olahraga. Dengan menjadi seorang fans mau tidak mau saya mengetahui tentang kehidupannya sebagai selebritis karena dia begitu identik dengan sang istri, Victoria Adams, personil grup penyanyi wanita terkenal kala itu, Spice Girls. Beruntunglah La Liga atau Liga Spanyol masih disiarkan di tv lokal walaupun tidak serutin sekarang. Jadi saya masih bisa melihat dia sesekali bermain menggunakan baju putih bertuliskan BenQ Siemens saat itu. Dia masih pemain yang sama. Berlari kencang di sayap kanan kemudian memberikan umpan panjang ke kotak penalti di mana para striker sudah siap menyambut. Dia juga masih sering mengambil tendangan pojok dan tendangan bebas dengan gaya khasnya. Tahun 2006, dia mengundurkan diri menjadi kapten timnas Inggris pasca Piala Dunia di Jerman dan tidak memberikan gelar apa-apa bagi negaranya. Kemudian tahun 2007, pindah ke LA Galaxy, salah satu tim MLS, Amerika Serikat. Layaknya pasangan yang break dalam kondisi LDR, dia rasanya semakin jauh karena MLS tidak disiarkan di tv lokal. Saya hanya bisa melihat dia lewat youtube atau di berita-berita sepakbola.

Koleksi kala SMA

Salah satu pemain akademi yang sukses di tim utama, Dikenal dengan Class of '92

Sempat dipinjamkan ke AC Milan kemudian terakhir bermain di Paris Saint Germany tidak kurang dari 5 (lima) bulan, pertengahan Mei lalu dia mengumumkan untuk gantung sepatu menyusul Sir Alex Ferguson dan Paul Scholes, pelatih dan rekan setimnya dulu di Manchester United. Saya tidak terlalu kaget dan tidak terlalu sedih. Saya sudah menganggap dia “pensiun” ketika dia pindah ke Amerika Serikat. Bagi saya dan beberapa penggemar bola lainnya, jika seorang pemain sepakbola meninggalkan karirnya di Eropa dan bermain di benua lain atau di negara yang liga domestiknya tidak populer, itu sama saja dengan mengakhiri karir. Itu hanya pendapat pribadi tapi itulah kenyataannya.

Menjuarai MLS bersama LA Galaxy
Jadi sekarang David Beckham pensiun. Sedih karena saya tidak akan pernah lagi melihat cinta pertama saya berlari-lari di lapangan menggunakan jersey klub sambil memberikan crossing-crossing manis dan empuk bagi striker. Saya tidak akan melihat lagi tendangan bebas melengkung indah yang ditendang oleh pria bernomor punggung 7, 23 atau 32 itu. Tapi rasa sedih ini bisa terobati karena dia tidak akan langsung diam di rumah duduk di sofa empuk atau kursi goyang makan popcorn sambil nonton tv. Dia masih seorang selebritis dunia yang keluarganya diikuti paparazzi ke manapun. Dia masih seorang model merk-merk ternama, suami Victoria Adams, ayah dari anak-anak yang super lucu dan menggemaskan Brooklyn, Romeo, Cruz dan Harper. Dia masih tetap tampan dan mengagumkan. Ceritanya tidak akan berakhir di sini walaupun sudah saya mulai 11 tahun yang lalu. David Beckham, never ending story. Happy retirement, dear.


Continue Reading...

Jumat, 17 Mei 2013

Perjalanan ke Selatan dan Elvi Sukaesih

Catatan yang tertinggal..
Thaekek, 1 Desember 2011 

"Aku memuja mereka para pencipta nada indah yang membawaku terlelap tidur di atas kursi robek yang tidak empuk sama sekali.."

Kami bangun agak pagi hari ini karena kami berencana untuk mendatangi Kedutaan Besar Indonesia di Laos. Masih menggunakan sepeda yang kami sewa semalam, kami menyusuri pusat kota Vientiane dengan berboncengan. Sebelumnya, kami menuju morning market untuk mencari sarapan. Lagi-lagi sulit untuk menemukan makanan yang tidak mengandung babi sehingga kami hanya membeli peganan-peganan kecil (yang kami yakini tidak ada babinya) untuk mengganjal perut. Saya adalah seorang Kristen yang tidak ada masalah dengan babi, hanya saja rasanya tidak toleran jika saya makan daging babi dengan lahap di hadapan ketiga teman yang beragama Muslim.

Morning market

Dengan bermodalkan peta dan bertanya pada orang yang kami temui, akhirnya kami menemukan KBRI di Laos. Senang rasanya bertemu orang sebangsa di negara orang lain. Kami tidak perlu capek-capek untuk berbahasa Inggris atau menggunakan bahasa isyarat seperti yang kami lakukan kemarin. Salah satu petugasnya bernama Heni, merupakan salah satu alumni Universitas Padjadjaran Jurusan Hubungan Internasional FISIP sehingga dia langsung tahu ketika kami menyebutkan Palawa Unpad. Setelah berbincang dan mengutarakan maksud kedatangan kami, kami menyerahkan fotocopy paspor yang (katanya) akan sangat berguna jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Salah satu petugas KBRI menyayangkan tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu akan kedatangan kami sehingga mereka bisa bersiap-siap. Kami juga dipesankan untuk berhati-hati karena wilayah tempat gua yang akan kami telusuri masih terisolasi dan sulit bagi penduduknya untuk menerima kedatangan orang baru. Kami berfoto dengan para petugas KBRI dan kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang karena kami akan segera bertolak ke Thaekek, ibukota Propinsi Khammuoane yang akan menjadi titik temu kami dengan anggota tim lain yang akan datang dari Indonesia beberapa hari ke depan. Dengan diantarkan oleh sopir taksi yang sama saat pertama kali kami menginjakkan di Laos, kami tiba di South Terminal dan menuju Thaekek pukul 1 siang menggunakan bis VIP bertingkat 2 seharga 80.000 kip.

KBRI di Laos
South Terminal dan Bus VIP menuju Thaekek
Perjalanan dari Vientiane menuju Thaekek memakan waktu sekitar 7 sampai 8 jam. Sama dengan jarak tempuh dari Makassar menuju ke kampung saya, Toraja. Pemandangan sepanjang jalan cukup menarik. Perumahan penduduk yang banyak menjual makanan berupa daging babi, daging ayam serta ikan yang ditusuk dengan kayu tebal sekitar 15 cm. Makanan tersebut akan dipanaskan dengan dipanggang jika ada yang membeli dan akan dijual bersama nasi ketan atau sticky rice. Orang-orang Laos tidak suka makan nasi yang dikukus (steamed rice) seperti orang Indonesia . Perjalanan berkelok-kelok dan jauh itu tidak bisa mengalahkan rasa kantuk saya. Saya tertidur sepanjang sisa perjalanan.

Barang-barang diturunkan dari tuk-tuk
Kami tiba pada pukul 8.30 malam di terminal Thaekek dan langsung mencari penginapan dengan menggunakn tuk-tuk, kendaraan umum khas yang bentuknya seperti delman, hanya saja kudanya diganti dengan motor. Makan malam kami ramai dengan adanya Mr. Mee, lelaki berumur 32 tahun bertubuh kecil dan pendek, guide yang akan mengantarkan kami menuju Gua Khoun Xe, gua besar yang hendak kami telusuri dalam kegiatan World Gigantic Cave Expedition. Dengan bahasa inggris yang terbilang lancar, Mr. Mee menjelaskan tentang akses, perijinan dan dana untuk menuju ke gua tersebut sambil bercanda sesekali.

Setelah makan malam, saya dan Fariz bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Phakse di sebelah selatan Kota Thaekek. Phakse merupakan ibukota Propinsi Champasak. Menggunakan tuk-tuk ke terminal Thaekek dan kami pun berangkat menuju Phakse pada pukul 11 malam dengan menggunakan bis ekonomi yang sesak oleh penumpang dan barang-barang bawaan mereka. Kami beristirahat panjang sambil mendengarkan lagu dangdut versi Thailand yang sengaja diputar keras-keras oleh sopir bis agar tidak mengantuk. Saat itulah saya benar-benar menyadari bahwa dangdut Indonesia jauh lebih bagus Berbanggalah kita memiliki Elvi Sukaesih, Ikke Nurjana, Iis Dahlia dan penyanyi dangdut Indonesia lainnya. Paling tidak cengkokan dan suara mendayu-dayu mereka lebih enak didengar. Hail dangdut!

Continue Reading...

About

Blogroll

About