Kamis, 28 Februari 2013

Romantisme Sejenak di Situ Patengan

Sabtu pagi teman-teman mengajak saya untuk menyusuri Bandung Selatan untuk melakukan tugas kantor. Tanpa ragu-ragu, saya menerima ajakan tersebut. Bandung Selatan tepatnya Ciwidey dan sekitarnya, mempunyai arti khusus untuk saya. “Kedekatan” saya dengan alam Jawa Barat bahkan Jawa dimulai dari Ciwidey dan sekitarnya. Saya ingat, sekitar 2008 – 2011 saya hampir setiap tahun datang ke Bumi Perkemahan Ranca Upas dan meneruskan perjalanan ke Leuweng Tengah yang terletak sekitar 45 menit perjalanan kaki dari Ranca Upas. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk kegiatan Palawa Unpad, organisasi pecinta alam kampus yang saya ikuti.


Ketika saya mengikuti pendidikan dasar Palawa Unpad, saya dibawa ke Situ Patengan, danau yang konon merupakan saksi cinta antara Ki Santang dan Dewi Rengganis. Di tengah-tengah danau tersebut terdapat “pulau” berbentuk perahu dan di dalamnya terdapat batu tempat mereka dulu sering bertemu untuk memadu kasih yang sekarang terkenal dengan “Batu Cinta”. Mitosnya, pasangan yang mengelilingi pulau tersebut dan mendatangi Batu Cinta, cintanya akan abadi seperti cinta Ki Santang dan Dewi Rengganis.


Saya tidak pernah ke sana dengan pasangan. Pertama kali saya ke sana saya bersama saudara seperjuangan yang mempunyai tujuan sama dengan saya, yaitu menjadi anggota Palawa Unpad. Saya ingat, ketika itu akhir Februari tahun 2008. Kami yang memulai perjalanan dari perkebunan teh Rancabolang sekitar pukul 3 sore, tiba di tempat itu menjelang jam 5 subuh. Tidak sempat membuat bivoak (tempat peristirahatan), kami tidur di atas jalan berbatu dengan alas matras dan dibungkus dengan ponco. Karena gelap, saya tidak tahu kami sedang berada di mana. Barulah pagi hari, kami bangun dan melihat sebuah danau yang dikelilingi kebun teh terhampar di depan kami. Kami berada di situ sekitar 3 hari sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat latihan yang lain. Setiap pagi, kami tidak lupa mandi di danau tersebut. Walaupun sebenarnya itu tidak bisa dikatakan mandi karena kami hanya menggosok badan dengan topi dan menggosok gigi dengan rumput. Jika tidak takut dihukum, mungkin kami juga tidak akan masuk ke dalam air yang dinginnya menggetarkan tulang itu.


Setahun, dua tahun, tiga tahun setelah itu, saya masih datang ke tempat itu tentunya dengan posisi yang berbeda. Saya berada di posisi pelatih dan hanya memperhatikan calon anggota baru yang menggigil kedinginan karena berendam di Situ Patengan kemudian diterpa kabut. Saya juga ingat ketika kompor untuk memasak rusak sehingga saya harus menumpang memasak di rumah warga. Kehangatan si pemilik rumah dan perapian yang sengaja dinyalakan untuk saya, membuat saya selalu ingin kembali ke sana. Saya suka tempat itu karena memberi ketenangan. Sejauh mata memandang, semuanya indah kecuali beberapa sampah yang berserakan bekas wisatawan atau penjual di pinggir danau.

Datang menjadi wisatawan yang membeli tiket dan jalan di belakang rombongan orang-orang kota yang datang untuk membuktikan mitos Batu Cinta, sangat berbeda dengan kunjungan saya sebelumnya. Kali ini saya duduk di atas sebuah tempat duduk dari batu memandang danau, kebun teh, pohon-pohon yang menjadi saksi terbentuknya saya menjadi manusia yang “berbeda”. Air danau tampak tenang walaupun di atas ada berpuluh-puluh perahu yang membawa penumpang. Ketenangan air dan kesunyian hamparan kebun teh yang sadar tidak sadar telah memberi banyak pelajaran bagi saya dan mungkin bagi saudara seperjuangan saya. Situ Patengan masih sama, begitu juga dengan kenangan tentangnya yang masih saya simpan.
Continue Reading...

Minggu, 24 Februari 2013

Kamu Cari Apa?

Ada satu masa, di mana kita sudah mendapatkan sesuatu yang kita impikan, tetapi masih bertanya, apakah benar ini yang kita cari. Pencarian akan selalu ada ketika kita mendapatkan sesuatu yang kita cari sebelumnya. Bisa jadi juga, itu salah satu tanda ketidakpuasan kita sebagai seorang manusia.

Terkadang kita juga iri melihat kehidupan orang lain yang nampak lebih bagus dan bahagia daripada kehidupan yang kita punya. Tetapi, kita tidak tahu bahwa sebenarnya kehidupan yang mereka jalani hanya tampak baik dari luar tidak dengan di dalamnya. 

Sampai detik ini, saya masih bertanya-tanya, sebenarnya apa yang saya cari. Mengapa semakin mendapatkan sesuatu, semakin saya tidak merasa puas dan semakin mencari sesuatu yang lebih dan lebih lagi. Serakah? Bisa jadi. Tidak cepat puas? Kemungkinan. Mencari kesempurnaan hidup? Iya tapi mustahil.
Hidup mana yang sempurna? Tidak ada. Jadi dari awal, kita itu mencari sesuatu yang mustahil. Kapan kita merasa cukup? Sampai, kita menjadi manusia sejati yang tidak memikirkan sesuatu yang tidak bersifat duniawi.
Continue Reading...

Minggu, 17 Februari 2013

Fragment #11

As Jesus  stepped into the garden, you were in His prayers. As Jesus looked into heaven, you were in His vision. His final prayer was about you. His final pain was for you. His final passion was you.

- Max Lucado

Continue Reading...

Selasa, 12 Februari 2013

Crashed Friendship

It's really funny this afternoon. I talk to my old friend. We laugh and then fight. I can't accept his words because they hurt me. So, does him. He can't accept my words, too. Persahabatan yang sudah lama tidak menjamin bahwa semuanya baik-baik saja. Persahabatan ada yang hanya berupa status. Mempunyai banyak teman, merupakan satu hal yang sangat saya syukuri dalam kehidupan saya. Ke manapun saya pergi, saya akan selalu bertemu orang-orang baik yang akan menjadi teman bahkan sahabat saya. Jika lama tidak bertemu, pertemuan dan obrolan dengan mereka adalah sesuatu hal yang akan membuat saya excited dan sejenak melupakan masalah-masalah dalam hidup saya.

Seorang sahabat saya pernah berkata "Di hidup urang mah ngan aya dua jelema nu urang wawuh teh, dulur atau baturan saliwat." (Dalam hidup saya hanya ada dua jenis orang yang saya kenal. Saudara atau hanya teman selewat). Sahabat yang dekat dengan saya, akan selalu saya anggap saudara. Saya tidak akan segan meminta bantuan atau sebaliknya saya akan membantu dia selama saya punya kemampuan untuk itu. Persahabatan juga mirip hubungan pacaran yang membutuhkan saling pengertian dan komunikasi. Hari ini saya membuktikan kedua hal itu. Saya yang sudah lama tidak bertemu dan berkomunikasi tentang apapun juga dengan salah satu sahabat saya ini, selalu menganggap bahwa kami tetap akan seperti dulu. Menjadi tua tapi tidak menjadi "dewasa". Saya salah satu wanita yang menganut cara pertemanan para pria karena hidup saya dikelilingi oleh sahabat-sahabat pria. Saya mengungkapkan hal yang saya anggap suatu joke tapi untuk dia, itu suatu kata-kata yang menyinggung perasaan.

Dia protes karena saya tidak bisa menjaga kata-kata saya. Saya protes karena saya tidak menerima perubahan dia menjadi seorang yang sensitif dan kaku. Apa yang salah? Saya kira kami berdua salah. Dia tidak menerima karena saya tidak berubah dan saya tidak menerima karena dia berubah. Simple as that! Hidup dengan kondisi yang jauh berbeda serta komunikasi dan pertemuan yang jarang, membuat kami semakin jauh.

Untuk kondisi ini, saya berpikiran bahwa dia mungkin sedang capek atau dalam mood yang tidak bagus. Saya percaya bahwa segala sesuatunya akan kembali menjadi baik-baik saja. Tapi beberapa waktu lalu dan beberapa detik yang lalu, saya berpikir "I just lost a friend". Crashed!


Continue Reading...

Jumat, 08 Februari 2013

Keindahan Dieng dari Puncak Prau

Saat itu bulan Agustus 2012, saya baru saja pulang dari kampung halaman dan kembali ke Bandung. Baru tiba 2 hari, saya segera bersiap kembali untuk mengangkat ransel dan melakukan perjalanan. Kali ini perjalanan bersama beberapa teman kuliah dan teman backpacker yang ada di Jogja. Bersama Asti, saya menaiki kereta kelas Ekonomi dari stasiun Kiara Condong. Harga tiket kala itu Rp. 25.000,- untuk tujuan stasiun Lempuyangan. Setelah beberapa lama menunggu, kereta yang kami tunggu tak kunjung datang. Dengan inisiatif dan keyakinan tinggi, Asti mengajak saya naik kereta Kutojaya yang perhentian terakhirnya di Stasiun Kutoarjo, yang berada sekitar 3 jam perjalanan dari Jogjakarta. Dari stasiun Kutoarjo, kami akan menyambung dengan kereta yang lain sampai stasiun Lempuyangan tanpa membayar tiket lagi. Bisa dikatakan ini ilegal karena seharusnya kami membayar lagi untuk tiket dari Kutoarja sampai Lempuyangan. Tetapi semangat backpacker dan berhemat membuat kami mengabaikan keharusan. Kalau beruntung, tiket tidak akan diperiksa lagi.

Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 9 pagi. Asti sendiri melanjutkan perjalanan ke Klaten karena ada urusan keluarga. Saya dijemput oleh Bang Ali dan Obi, teman-teman backpacker kami yang ada di Jogja. Kami baru berkenalan tetapi sudah akrab seperti teman lama. Saya dibawa ke kosan mereka. Di sana sudah ada Lena, Ratu dan Chandra, teman-teman kuliah saya yang sudah lebih dulu berada di Jogjakarta. Kami sore ini akan berangkat ke Wonosobo, tepatnya ke dataran tinggi Dieng. Saya tidur sekitar 2 jam, bangun kemudian bersiap-siap menuju terminal.


The team
Di depan jalan besar kami menyetop bis kecil yang menuju terminal Jombor. Sekitar satu jam kemudian kami tiba dan tak lama kemudian kami naik bis lagi menuju Magelang. Kami menempuh waktu lebih lama dari yang seharusnya karena di Candi Borobudur sedang ada acara agama yang menyebabkan macet sampai berkilo-kilo meter. Setelah duduk di atas bis sekitar 2 jam, kami tiba di di Terminal Magelang dan segera naik bis lagi yang akan mengantar kami ke Wonosobo. Wonosobo merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Magelang. Dari Magelang ke Wonosobo dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Kami tiba di di terminal Wonosobo sekitar pukul 3 sore dan beristirahat sejenak. Untuk menuju Dieng, penduduk biasanya menggunakan elf atau kendaraan semi bis. Tetapi sore itu kami memutuskan untuk menyewa angkot. Pemandangan sepanjang perjalanan menuju dataran tertinggi di Indonesia ini, merupakan salah satu pemandangan yang mengagumkan selama saya melakukan perjalanan. Jalanan yang meliuk-meliuk dengan pemandangan pegunungan di sebelah kanan dan kiri, perumahan penduduk yang unik, perkebunan sayur di lereng bukit dan puncak Gunung Sindoro dan Sumbing yang berdiri gagah dengan matahari yang sudah mulai beranjak ke peraduannya menemani kami sore itu.

Pemandangan sepanjang jalan menuju Dieng
Kabut yang mulai turun
Menjelang malam, kami tiba di Dieng Plateau dan segera menikmati nasi goreng yang kami beli di gerobak pinggir jalan. Di sana kami bertemu dengan beberapa teman yang tergabung dalam komunitas Backpacker Indonesia yang juga akan ikut ke Puncak Prahu malam itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam ketika kami bergerak menuju puncak tertinggi di Dataran Tinggi Dieng, Puncak Prau (2565 mdpl). Kami membawa perlengkapan camping dan mengandalkan alat penerangan kami malam itu. Perjalanan kami agak terhambat karena medan yang cukup sulit, gelap dan alat penerangan yang terbatas. Selain itu beberapa di antara kami baru pertama kalinya melakukan pendakian gunung. Setelah beberapa kali berhenti untuk untuk beristirahat dan menunggu beberapa teman yang tertinggal di belakang, kami akhirnya tiba di Puncak Prau pada pukul 1 malam. Angin kencang dan dinginnya udara malam itu terasa sangat menusuk sehingga api unggun yang kami buat rasanya sia-sia. Pakaian berlapis-lapis pun kami pakai sekedar untuk mendapatkan kehangatan untuk melawan dingin yang menyiksa. Dinginnya malam itu juga membuat Ratu, salah satu teman saya “tumbang” diserang hipotermia (kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin). Tumpukan sleeping bag dan air panas yang dimasukkan ke dalam botol minuman tidak mempan untuk membuat Ratu berhenti menggigil dan mati rasa sehingga salah satu dari kami membuka baju dan memeluknya. Teknik ini merupakan teknik yang sangat efektif untuk menghadapi seseorang yang hipotermia. Teknik skin to skin ini, seperti “membagikan” panas tubuh ke tubuh yang lainnya. Kejadian malam itu tampaknya masuk ke dalam daftar hal yang tidak akan dilupakan oleh Ratu.

Gapura Dieng Plateau
Tuhan Maha Besar! Hal itu yang terucapkan ketika pagi hari saya keluar dari tenda. Hamparan perbukitan yang ditumbuhi perdu serta puncak Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Slamet yang ditutupi segaris awan tampak di kejauhan. Rumah-rumah beratap hitam seragam dan beberapa telaga di sekelilingnya tersusun rapi di pelataran Dataran Tinggi Dieng. Perpaduan yang akan sulit ditemukan di tempat lain. Saya menyusuri perbukitan yang ditumbuhi perdu dan ilalang itu sambil menghirup udara segarnya sebanyak mungkin. Kami mengambil banyak foto dengan latar Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Siang itu kami akan kembali ke bawah untuk mengunjungi telaga dataran tinggi Dieng yang juga terkenal akan keindahannya. Tak banyak yang mendaki Gunung Prau karena kurangnya informasi tentang gunung ini. Kononnya masyarakat Dieng merahasiakannya untuk tetap menjaga kelestariannya.

Perkampungan masyarakat Dieng dari Puncak Prahu
Gunung Slamet tampak gagah di kejauhan
Lewat tengah hari, kami sudah tiba di kaki Prahu dan menikmati makan siang. Kami berpisah dengan teman backpacker yang akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Ke Dieng tidak akan lengkap jika tidak menikmati makanan khas dari sana yaitu Carica. Carica merupakan buah yang dagingnya mirip pepaya tetapi memiliki bentuk dan rasa yang berbeda. Carica ini disajikan di dalam botol karena sudah berbentuk manisan. Sangat enak diminum saat dingin. Kononnya carica ini hanya tumbuh di Dieng dan Chili. 


Kami menyebutnya Bukit Teletubbies
Masih dengan menggendong ransel, kami berjalan menuju telaga yang warnanya ada beberapa macam sehingga disebut Telaga Warna. Telaga warna ini sudah dijadikan objek wisata dan ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari libur. Kami menerobos pintu belakang untuk menghindari pembayaran. Salah satu trik untuk berhemat tapi tidak untuk ditiru. Hehehe..  Telaga tersebut cukup luas dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar serta gua-gua yang dipercaya dulunya merupakan tempat bertapa orang-orang sakti.

Setelah puas mengelilingi telaga dan berbincang-bincang di pinggirnya, kami pulang (masih melalui jalan belakang) dan berjalan lagi menuju tempat kami bisa menemukan angkutan yang akan membawa kami ke terminal Wonosobo. Dari Wonosobo, perjalanan kami masih panjang menuju Jogjakarta.

Telaga Warna
Sepanjang perjalanan pulang dari Dieng ke Wonosobo, saya masih memandangi Puncak Prau. Puncak yang tidak mencolok tetapi menyimpan berjuta keindahan. Jalan yang kami lalui masih sama, penuh dengan pemandangan yang tidak akan ada di tempat lain. Apa yang dilihat oleh mata secara langsung dan perasaan saat memandang suatu keindahan merupakan dua hal yang tidak bisa dibeli oleh siapapun, yang sekalipun diceritakan dengan detail, rasanya tidak akan pernah sama. Dieng, dataran tertinggi di Indonesia, indah dan membuat rindu. Suatu saat saya akan ke sana lagi.

I believe I can fly. I believe I can touch the sky


Continue Reading...

About

Blogroll

About