Minggu, 15 September 2013

Para Lelaki Perkasa dari Rinjani

Share it Please
"Over every mountain there is a path, although it may not be seen from the valley" - Theodore Roethke



Seorang senior di Palawa Unpad pernah berkata "Kamu belum naik gunung kalau belum naik Gunung Rinjani". Keindahannya memang bisa membuat banyak orang terpikat. Bukan hanya untuk pendaki gunung, orang yang tidak senang berpetualang di alam bebas pun sangat ingin menginjakkan kaki dan menikmati pelataran Dewi Anjani ini. 

Pesona Gunung Rinjani inilah yang membuat saya memendam impian untuk mendakinya, sehingga saya langsung setuju saat ada ajakan untuk mendaki gunung ini. Bagi kami yang Non Muslim, libur Lebaran merupakan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, baik untuk sekedar travelling ke sebuah kota atau melakukan petualangan di alam bebas. Waktu ajakan pendakian itu datang dalam waktu yang singkat, saya tidak ragu untuk menyetujuinya karena ada kepuasan tersendiri bila berhasil melakukan perjalanan dengan persiapan singkat meskipun harus berakhir dengan kantong kosong, kering dan gersang.

Mendaki gunung bukan hanya masalah tiba di puncak atau mengambil foto untuk kemudian dipamerkan. Ada hal - hal yang lebih daripada itu. Tetapi hal ini tergantung pada filosofi pendaki gunung itu sendiri. Setiap gunung mempunyai cerita dan keunikannya masing - masing. Bahkan Gunung Geulis atau Gunung Manglayang pun yang tingginya tidak seberapa bisa mempunyai cerita yang menakjubkan jika kita bisa memahami sepenuhnya makna sebuah perjalanan.

Gunung Rinjani menyediakan banyak cerita untuk diserap, gunung ini bukan hanya memberi landscape yang indah bagi para penikmat pemandangan, tetapi gunung ini juga menjadi tempat agung untuk para peziarah. Selain itu gunung ini juga menjadi ladang pendapatan bagi para lelaki lokal yang menyediakan jasa sebagai porter.

Pengurus Taman Nasional Gunung Rinjani menyediakan porter dan guide bagi mereka yang tidak ingin capek – capek membawa carrier, membangun tenda atau memasak. Fasilitas ini biasa digunakan oleh mereka yang memang jarang naik gunung dan sekedar ingin berwisata. Pada perjalanan ini, kami tidak menggunakan porter ataupun guide. Selain karena tidak punya uang lebih, kami juga merasa masih kuat untuk membawa barang sendiri walaupun pendakian ini pun disebut “ekspedisi ngesot”. Lebih tepatnya lagi sih, gengsi!

Kami berjalan dengan ritme santai, menghibur diri bahwa kami berjalan lambat karena ingin menikmati perjalanan padahal kenyataannya, barang bawaan yang lumayan berat dan tenaga yang tidak seperti dulu lagi menjadi salah satu alasan. Di sepanjang perjalanan kami bertemu dengan puluhan porter yang berjalan cepat sambil memikul tenda, air, kayu bakar dan bahan makanan yang sangat berat. Mereka harus cepat tiba di tempat tujuan sesuai dengan program yang disepakati dengan tamu. Sampai di tempat tujuan tugas mereka adalah membuat tenda yang nyaman dan memasak makanan yang enak. Memasak pun tidak boleh sembarangan karena harus sesuai dengan keinginan tamu serta makanan yang tidak boleh sama dalam satu program tersebut. Hal ini bukan masalah besar karena mereka mempunyai sertifikasi untuk menjadi porter termasuk di dalamnya keahlian dalam memasak. Para porter ini merupakan masyarakat Suku Sasak yang tinggal di Desa Sembalun Lawang dan Desa Senaru, dua jalur umum pendakian Gunung Rinjani yang paling sering digunakan. Umur mereka bervariasi, ada yang masih muda dan sebagian sudah separuh baya. Siapapun bisa menjadi porter asal memenuhi syarat dan tentunya masih kuat untuk memikul beban berat. Dengan bayaran normal Rp. 125.000,-/hari dan naik dua kali lipat pada high season, mereka menaiki Rinjani sekitar 2 kali seminggu dengan sendal jepit atau bahkan tanpa alas kaki. Saya terkesan dengan kekuatan dan keperkasaan mereka yang dapat melewati tebing-tebing terjal (khususnya jalur dari Danau Segara Anakan ke Plawangan Senaru atau ke Plawangan Sembalun) dengan barang bawaan mereka tanpa terpeleset. Yang lebih mengagumkan lagi adalah mereka yang tetap berpuasa sepanjang hari saat melakukan pendakian.

Tepat pada Hari Idul Fitri 1943 H kemarin, masih banyak porter yang melakukan pekerjaan mereka. Bahkan ada yang masih melayani tamu pada malam takbiran. Untuk mereka, Lebaran di Rinjani sudah menjadi hal yang biasa. Tak ada ketupat atau bahkan opor ayam seperti yang biasanya ada. Mereka memilih untuk bercengkrama dengan gunung yang sudah seperti halaman bermain bagi mereka, gunung yang sudah menjadi sumber penghidupan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari para lelaki perkasa ini. Entah siapa yang lebih beruntung, apakah kita yang menikmati makanan enak sambil berkumpul dengan keluarga atau mereka yang asik “bermain” dalam terjalnya jalanan dan dinginnya kabut Rinjani demi sesuap nasi. Saya juga tidak berani berspekulasi.


NB : 
Telah diedit oleh tim website Palawa Unpad dan telah dipublikasikan di www.palawaunpad.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About