Seorang senior di Palawa Unpad pernah berkata "Kamu belum naik gunung kalau belum naik Gunung Rinjani". Keindahannya memang bisa membuat banyak orang terpikat. Bukan hanya untuk pendaki gunung, orang yang tidak senang berpetualang di alam bebas pun sangat ingin menginjakkan kaki dan menikmati pelataran Dewi Anjani ini.
Pesona Gunung Rinjani inilah yang membuat saya memendam impian untuk mendakinya, sehingga saya langsung setuju saat ada ajakan untuk mendaki gunung ini. Bagi kami yang Non Muslim, libur Lebaran merupakan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, baik untuk sekedar travelling ke sebuah kota atau melakukan petualangan di alam bebas. Waktu ajakan pendakian itu datang dalam waktu yang singkat, saya tidak ragu untuk menyetujuinya karena ada kepuasan tersendiri bila berhasil melakukan perjalanan dengan persiapan singkat meskipun harus berakhir dengan kantong kosong, kering dan gersang.
Mendaki gunung bukan hanya masalah tiba di puncak atau mengambil foto untuk kemudian dipamerkan. Ada hal - hal yang lebih daripada itu. Tetapi hal ini tergantung pada filosofi pendaki gunung itu sendiri. Setiap gunung mempunyai cerita dan keunikannya masing - masing. Bahkan Gunung Geulis atau Gunung Manglayang pun yang tingginya tidak seberapa bisa mempunyai cerita yang menakjubkan jika kita bisa memahami sepenuhnya makna sebuah perjalanan.
Gunung Rinjani menyediakan banyak cerita untuk diserap, gunung ini bukan hanya memberi landscape yang indah bagi para penikmat pemandangan, tetapi gunung ini juga menjadi tempat agung untuk para peziarah. Selain itu gunung ini juga menjadi ladang pendapatan bagi para lelaki lokal yang menyediakan jasa sebagai porter.
Pengurus Taman Nasional Gunung Rinjani
menyediakan porter dan guide bagi
mereka yang tidak ingin capek – capek
membawa carrier, membangun tenda atau
memasak. Fasilitas ini biasa digunakan oleh mereka yang memang jarang naik
gunung dan sekedar ingin berwisata. Pada perjalanan ini, kami tidak menggunakan
porter ataupun guide. Selain karena
tidak punya uang lebih, kami juga merasa masih kuat untuk membawa barang
sendiri walaupun pendakian ini pun disebut “ekspedisi ngesot”. Lebih tepatnya lagi sih,
gengsi!
Kami berjalan dengan ritme santai,
menghibur diri bahwa kami berjalan lambat karena ingin menikmati perjalanan
padahal kenyataannya, barang bawaan yang lumayan berat dan tenaga yang tidak
seperti dulu lagi menjadi salah satu alasan. Di sepanjang perjalanan kami
bertemu dengan puluhan porter yang berjalan cepat sambil memikul tenda, air, kayu
bakar dan bahan makanan yang sangat berat. Mereka harus cepat tiba di tempat
tujuan sesuai dengan program yang disepakati dengan tamu. Sampai di tempat
tujuan tugas mereka adalah membuat tenda yang nyaman dan memasak makanan yang
enak. Memasak pun tidak boleh sembarangan karena harus sesuai dengan keinginan
tamu serta makanan yang tidak boleh sama dalam satu program tersebut. Hal ini
bukan masalah besar karena mereka mempunyai sertifikasi untuk menjadi porter
termasuk di dalamnya keahlian dalam memasak. Para porter ini merupakan
masyarakat Suku Sasak yang tinggal di Desa Sembalun Lawang dan Desa Senaru, dua
jalur umum pendakian Gunung Rinjani yang paling sering digunakan. Umur mereka
bervariasi, ada yang masih muda dan sebagian sudah separuh baya. Siapapun bisa
menjadi porter asal memenuhi syarat dan tentunya masih kuat untuk memikul beban
berat. Dengan bayaran normal Rp. 125.000,-/hari dan naik dua kali lipat pada high season, mereka menaiki Rinjani
sekitar 2 kali seminggu dengan sendal jepit atau bahkan tanpa alas kaki. Saya
terkesan dengan kekuatan dan keperkasaan mereka yang dapat melewati
tebing-tebing terjal (khususnya jalur dari Danau Segara Anakan ke Plawangan
Senaru atau ke Plawangan Sembalun) dengan barang bawaan mereka tanpa
terpeleset. Yang lebih mengagumkan lagi adalah mereka yang tetap berpuasa
sepanjang hari saat melakukan pendakian.
Tepat pada Hari Idul Fitri 1943 H
kemarin, masih banyak porter yang melakukan pekerjaan mereka. Bahkan ada yang
masih melayani tamu pada malam takbiran. Untuk mereka, Lebaran di Rinjani sudah
menjadi hal yang biasa. Tak ada ketupat atau bahkan opor ayam seperti yang
biasanya ada. Mereka memilih untuk bercengkrama dengan gunung yang sudah
seperti halaman bermain bagi mereka, gunung yang sudah menjadi sumber
penghidupan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari para lelaki perkasa
ini. Entah siapa yang lebih beruntung, apakah kita yang menikmati makanan enak
sambil berkumpul dengan keluarga atau mereka yang asik “bermain” dalam
terjalnya jalanan dan dinginnya kabut Rinjani demi sesuap nasi. Saya juga tidak
berani berspekulasi.
NB :
Telah diedit oleh tim website Palawa Unpad dan telah dipublikasikan di www.palawaunpad.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar