"Is there any club in the world can give you more heart-stopping moments than Manchester United?" - Sir Alex Ferguson, My Autobiography
“MU kalah lagi, itu semuanya
salah Moyes”,”Gimana mau menang kalau mental pemainnya begitu”, “MU mainnya
kayak tim medioker”, “Coba Fergie yang ngelatih, gak bakal gini jadinya” dan
masih banyak hal yang beberapa bulan ini sangat sering saya dengar dan baca
mengenai tim paling populer seantero dunia, Manchester United. Saat saya
menulis ini, MU sedang bercokol di posisi 7 klasemen sementara dan baru saja
tersingkir di semifinal Capital One Cup karena kalah adu penalti dengan
Sunderland. Sebelumnya, MU sudah tersingkir dari FA Cup setelah dikalahkan
Swansea. Sekitar dua bulan yang lalu bahkan sebelum paruh musim berakhir, saya
sudah menulis di twitter saya, “It’s time to say goodbye to EPL trophy this
season”. Saya tidak menganggap itu sebuah pesimisme tapi sebuah pemikiran
realistis setelah melihat keperkasaan tim lain dan kondisi tim MU itu sendiri. Sebelum
musim ini bergulir saya juga sudah sesumbar sih, “Gak asik ah kalau tahun ini
juara lagi, masa sih juara terus”. Saat itu saya berpikir bahwa MU akan tetap
berada di posisi 4 besar, zona aman Liga Champion. Nyatanya, untuk menuju 4
besar pun harus tertatih – tatih dan terancam tidak akan ikut dalam Liga Champion musim depan jika tidak memenangkan sisa pertandingan. Piala “ecek –
ecek” seperti COC (dulunya Carling Cup) hanya mampu dicapai sampai semifinal.
Apa yang salah?
Saya bukan seorang analis
sepakbola yang paham hal yang terjadi pada sebuah klub. Saya hanya seorang fans
Manchester United yang menyimpan banyak pertanyaan dan spekulasi pada tim yang
saya dukung sejak lebih dari satu dekade lalu. Awalnya saya tidak masalah dengan
pergantian pelatih dari Sir Alex Ferguson ke David Moyes. Walaupun saya berani
bertaruh, hampir semua fans MU ingin Sir Alex melatih MU sampai waktu yang
tidak ditentukan. Tetapi, umur dan keadaan berbicara. Seperti lagu Peterpan
“Tidak ada yang abadi”, begitu juga masa kepelatihan Sir Alex. Sebuah negara
yang maju sekarang pun harus melalui tahap revolusi. Toh, David Moyes dipilih
sendiri oleh Sir Alex. Dengan kata lain, “The Mighty” Sir Alex mempunyai
pertimbangan dan keyakinan sendiri akan kemampuan David Moyes. Seiring
berjalannya waktu, banyak hal yang tidak biasa. Banyak hal baru. Staf baru,
skema permainan baru dan gaya pemain yang baru. Saya sering bertanya kenapa
Kagawa jarang dimainkan atau kenapa Ashley Young lebih banyak dimainkan
daripada Nani. Saya juga bertanya kenapa Giggs dan Ferdinand tidak pensiun saja
agar tim lebih fokus untuk mencari pengganti mereka. Tapi pertanyaan ini akan
dijawab beberapa orang dengan alasan “Kagawa tidak cocok dimainkan untuk skema
permainan yang sekarang”, “Nani itu mainnya angin – anginan, sering terlalu
lama megang bola”, “Giggs dan Ferdinand masih dibutuhkan di tim karena
pengalaman mereka” dan seterusnya. Saya boleh bertanya, tapi saya tidak akan
pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Jadi pada akhirnya, saya hanya
menahan dongkol dan menggerutu selama pertandingan.
Lalu selanjutnya apa? Menjadi
fans sebuah tim besar yang tiba – tiba menjadi tim “medioker” (mediocre : moderate of low quality, ability or performance) saat ini tidak
mudah. Apalagi yang didukung adalah Manchester United yang fansnya jutaan dan banyak “bacot” di masa kejayaan. Tidak sedikit penggemar sepakbola yang
tidak suka bahkan benci pada klub kesayangan saya ini. Hampir setiap kekalahan
MU, saya akan mendapat ejekan dari teman pendukung tim lain. Ejekan yang sampai
detik ini masih bisa saya hadapi karena sudah terlalu sering dan akhirnya jadi biasa. Saya juga lebih tahan banting karena saya sering membuat kekalahan MU
sebagai bahan lelucon. Tujuannya agar kekalahan tidak terasa terlalu
menyakitkan. Pada akhir tahun 90-an sampai awal tahun 2000-an, mungkin ejekan – ejekan ini tidak seberapa
karena hanya akan ditemui di sekolah lalu di kampus. Ejekan hanya datang dan berlalu begitu saja. Sejak semakin banyaknya
media sosial, ejekan lewat tulisan ini bertubi – tubi. Ada yang tidak tahan
kemudian marah dan saling memaki. Dunia ini memang aneh.
Saya berani bertaruh lagi, saat
ini atau nanti pada akhir musim, fans MU akan semakin berkurang. Fans MU yang
loyal sejak dahulu kala akan senang dengan kondisi ini karena tidak perlu
pusing melihat fans MU yang kebanyakan. Jadi, saya gimana? Mau pindah klub untuk
didukung? Hahahaha.. Tidak ada pilihan lain? Misalnya jadi tiba – tiba lupa
semua hal yang berhubungan dengan Manchester United atau tiba – tiba Manchester
United lenyap begitu saja dari muka bumi dan tidak ada satu orangpun yang tahu
bahwa MU pernah ada? Kalau sekarang saya pindah jadi fans Manchester City,
Arsenal atau Chelsea karena mereka sedang bagus, kemudian musim berikutnya
menjadi medioker seperti MU, masa sih harus pindah klub lagi? Harus cari tahu
tentang sejarahnya dan belum lagi uang yang harus dikeluarkan untuk membeli
pernak pernik klub yang tiap tahun ganti. Capek dan boros. Seperti kata pepatah
“Selingkuh itu mudah. Cobalah yang lebih menantang yaitu menjadi setia”. Tsah! Macam
betul. Membicarakan klub bola bisa sampai “segininya”. Klub bola nun jauh di
sana, yang tidak pernah saya lihat secara langsung. Benar kata Sir Alex,
“Football, bloody hell!”
Continue Reading...