Selasa, 08 Oktober 2013

Mahabharata : Bagi Mereka Yang Mencari Ketenangan Jiwa

"Sebuah roman epik pencerah hati manusia". Begitu sampul buku Mahabharata yang baru selesai saya baca. Buku ini saya beli Bulan Maret lalu di sebuah pameran buku yang mengadakan diskon besar - besaran. Sebenarnya, saya dulu pernah membacanya sampai habis tapi ada keinginan untuk membaca ulang.


Mahabharata menceritakan tentang perang Bharatayudha, perang saudara terbesar yang pernah ada dan menewaskan jutaan orang. Perang tersebut terjadi antara Pandawa dan Kurawa yang disebabkan oleh rasa iri, dengki dan rasa tidak pernah puas atas apa yang sudah dimiliki. Paling tidak, itulah kepercayaan orang India yang sebagian besar beragama Hindu. Saya tidak akan membahas dari segi agama. Cerita ini seperti dongeng atau drama kolosal yang membuat saya seperti berada pada zaman itu dan dapat membuat saya tenggelam dengan imajinasi saya sendiri. Dalam buku ini banyak kata - kata yang menohok hati dan membuat kita berpikir bahwa ternyata dari zaman ke zaman permasalahan manusia itu sama namun hanya dalam bentuk yang berbeda. Selain itu, saya semakin yakin bahwa semua agama mengajarkan kebaikan.

Berikut beberapa penggalan kata - kata yang menohok tetapi juga dapat menyejukkan hati..

"Semenjak awal mula dunia, nasihat orang yang paling bijak sekalipun tidak akan pernah bisa menghilangkan duka hati seorang perempuan yang kehilangan kekasih". Penggalan ini saat Dewayani, putri dari Resi Sukra merasakan kesedihan mendalam karena kekasihnya, Kacha mati dibunuh oleh para raksasa.

"Perbuatan kita sendirilah yang membuat kita bahagia atau menderita, bukan kebajikan atau kejahatan orang lain".

"Orang yang dapat menaklukkan dunia adalah orang yang sabar menghadapi caci maki orang lain. Orang yang dapat mengendalikan emosi ibarat seorang kusir yang dapat menaklukkan dan mengendalikan kuda liar. Hanya mereka yang tidak gentar menghadapi siksaan akan berhasil mencapai apa yang dicitakan. Mereka yang tidak pernah marah lebih mulia daripada orang yang taat menjalankan ibadah selama seratus tahun". Sabar dan menahan amarah sangat sulit dilakukan tetapi selalu berbuah manis.

"Semangat adalah cikal bakal keberhasilan. Nasib baik akan menghampiri kita jika kita melakukan tugas dan kewajiban dengan sungguh - sungguh. Bahkan orang yang kuat pun bisa gagal jika ragu - ragu menggunakan kemampuan yang ia miliki". Pendapat Arjuna tentang sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang ksatria.

"Jika kau pikir tidak ada orang yang pernah mengalami kemalangan seperti yang kau alami saat ini, kau keliru. Setiap orang dengan cara dan perasaannya sendiri merasa bahwa ia adalah orang yang paling malang. Itu wajar karena apa yang dirasakan jauh lebih terasa daripada apa yang dilihat atau dengar". Kata - kata penghiburan Resi Brihadaswa kepada Pandawa saat mereka harus menjalani masa pengasingan di hutan selama dua belas tahun.

"Pengetahuan harus meresap ke dalam setiap pikiran dan tindakan dalam hidup. Pengetahuan yang tidak diresapi hanya akan menjadi tumpukan keterangan yang membebani pikiran dan tidak menghasilkan  keluhuran budi". Mungkin hal ini yang menjadikan banyak orang pintar tetapi tidak bermoral. Pengetahuan yang didapatkan tidak diresapi.

"Apakah ada yang lebih mengagumkan daripada kesabaran dan kesucian seorang perempuan? Ia melahirkan anak, setelah menantikan dan menjaga seperti nyawanya sendiri selama sembilan bulan. Ia melahirkan ke dunia dengan rasa sakit dan kecemasan yang luar biasa. Setelah itu, satu - satunya hal yang ia pikirkan hanyalah kesehatan dan kebahagiaan si anak, Dengan hati seluas samudra dan penuh pengampunan, seorang perempuan terus mencintai suami, meskipun jahat, menyia - nyiakan, membenci, dan membuatnya menderita. Betapa anehnya dunia ini!'. Saya teringat ibu..

"Manusia bisa mencapai kesempurnaan jika selalu tekun dan ikhlas menjalani setiap tugas yang dieprcayakan kepadanya"

"Apakah yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi ini? Ibu yang melahirkan dan membesarkan anak - anaknya.
Apakah yang lebih tinggi daripada langit? Bapak.
Apakah yang lebih cepat daripada angin? Pikiran.
Apakah yang lebih berbahaya daripada jerami kering pada musim panas? Hati yang dilanda duka nestapa.
Apakah yang menemani seorang pengembara? Kemauan belajar.
Apakah kebahagiaan itu? Kebahagiaan adalah buah dari perbuatan baik.
Apakah yang jika ditinggalkan manusia akan membuatnya dicintai sesama? Keangkuhan.
Kehilangan apakah yang membuat orang bisa bahagia dan tidak sedih? Amarah.
Apakah yang harus ditinggalkan manusia supaya menjadi kaya? Hawa nafsu"
Pertanyaan - pertanyaan yang diajukan oleh Batara Yama kepada Yudhistira yang terkenal dengan kebijaksanaan dan keluhuran budinya.

"Kematian merupakan hukum kehidupan yang tidak bisa dielakkan dan memang dimaksudkan untuk kebaikan dunia. Tidaklah bijaksana menyesali kematian atau terlalu bersedih karena kematian seseorang. Tidak ada alasan untuk menyayangkan kepergian mereka yang telah pergi menghadap Yang Kuasa, Ada lebih banyak alasan untuk bersedih bagi mereka yang masih hidup". Kata - kata penghiburan untuk Yudhistira yang berduka amat dalam setelah memenangkan Perang Bharatayudha di Kurusetra yang menewaskan sepupu - sepupunya, para Kurawa.

Masih banyak lagi kata - kata bijak lainnya yang ada di dalam buku ini. Walaupun sulit untuk menjadi sebijak Pandawa dalam menjalani kehidupan, tetapi banyak yang bisa dipetik. Buku ini sangat pas dibaca untuk mereka yang mencari ketenangan jiwa. So, take your time and feel the silence in your soul.
Continue Reading...

Minggu, 06 Oktober 2013

Gunung Marapi : Mass Kill dan 2 Mangkok Bakso

The journey is like marriage. The certain way to be wrong is to think you control it”  - John Steinbeck

Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi besar di Indonesia. Propinsi yang beribukota di Padang ini, terkenal akan keindahan alam dan budayanya. Untuk para petualang khususnya yang suka mendaki gunung, Gunung Singgalang (2877 mdpl), Gunung Marapi (2891 mdpl) , atau Gunung Talamau (2913 mdpl) bisa menjadi pilihan. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya saya, Anto, Gufi, Margo yang pada saat itu hendak melakukan pengambilan nomor pokok Palawa Unpad memutuskan untuk merintis jalur di Gunung Marapi. Walaupun tidak mencapai ketinggian 3000 mdpl seperti Gunung Kerinci di Jambi atau Gunung Dempo di  Sumatera Selatan, tetapi Gunung Marapi mempunyai kekhasan tersendiri karena di atas ketinggian 2500 mdpl, sudah tidak ada vegetasi lagi dan ditutupi oleh batu-batu kecil dan pasir. Puncaknya seluas lapangan sepakbola dan ada beberapa kawah berukuran besar yang masih aktif mengeluarkan gas beracun.

Ditemani Teh Astri yang menjadi pembimbing dalam pengembaraan ini, kami ke Padang dengan menggunakan pesawat, yang bagi beberapa penggiat alam lain merupakan sesuatu yang terlalu mewah dan mengurangi nilai petualangan. Tidak ada yang salah dengan anggapan tersebut. Bisa saja kami menggunakan bis menuju Merak kemudian menyeberang ke Pulau Sumatera dan menyusuri jalan Trans Sumatera atau naik kapal laut tetapi yang kami pikirkan saat itu adalah efisiensi waktu dan kemudahan. Kami harus menyimpan tenaga untuk pendakian dan tidak ingin tenaga kami habis di perjalanan. Ini pertama kalinya saya menginjak Pulau Sumatera jadi hal ini akan menjadi pengalaman yang sangat luar biasa untuk saya. Anto sudah tidak asing dengan Padang karena dia beberapa kali melakukan penelitian lapangan di sini sebagai seorang geologist. Lebih beruntungnya kami, saat itu 2 (dua) orang senior kami yaitu Teh Hani dan Kang Aday sedang ada di Pariaman karena ada pekerjaan sehingga kami tidak usah repot-repot untuk menggunakan angkutan umum menuju Mapala Proklamator, perhimpunan pecinta alam Universitas Bung Hatta yang sudah kami hubungi sebelumnya. Mapala Proklamator ini juga sudah kami plot untuk menjadi base komunikasi yang akan langsung berhubungan ke sekretariat di Jatinangor. Ada juga Bang On, kakak ipar dari teman kuliah Anto yang bersedia menjadi base com kami di desa terakhir, Paninjauan, Kabupaten Padang Panjang. Begitu ramahnya juga keluarga Bang On yang menyediakan tempat untuk tidur dan menyiapkan masakan padang yang nikmatnya lebih dari rumah makan padang di manapun.


Hari perintisan jalur dan pendakian sudah ditentukan. Sebelum memulai kegiatan, kami harus melapor pada Kepala Nagari setempat. Nagari adalah salah struktur pemerintahan setara desa yang hanya ada di Sumatera Barat. Jabatan ini sarat nilai sejarah dan budaya bagi orang – orang Minangkabau. Carrier lebih berat dari sebelumnya karena sudah terisi beberapa liter air dan minuman penambah cairan tubuh. Perjalanan dimulai dengan doa bersama dan sedikit rasa khawatir keluarga Bang On karena puncak gunung yang tertutup kabut. Saya membulatkan tekad dan menggunakan segenap kekuatan untuk mengangkat carrier yang terasa sangat berat. Kami pasti akan sampai di puncak sesuai target, kata saya meyakinkan diri sendiri.

Enam hari perjalanan kami tempuh sampai di Puncak Merpati (2777 mdpl) setelah sebelumnya bergerak dengan pembagian tugas yang berbeda setiap harinya. Makin lama carrier semakin ringan. Mungkin karena logistik yang berkurang dan tubuh yang sudah bisa menyesuaikan beratnya. Kami tidak diijinkan untuk membawa makanan yang berbau amis seperti kornet, ikan kaleng, dendeng kering dan telur. Hal ini merupakan sebuah kearifan lokal yang harus diikuti. Percaya pada hal yang berbau mistis masih dilakukan masyarakat Paninjauan. Konon, masih banyak harimau jadi – jadian (yang saya lupa istilahnya) di dalam hutan sekitar Gunung Marapi ini. Hutan lebat, pacet, rotan, tidak ada sumber air merupakan tantangan tersendiri dalam perjalanan ini. Kami harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan penebasan karena akar gantung yang bandel.


Kami berteriak kegirangan ketika kami mencapai batas vegetasi hutan dengan pasir. Seperti tiba di puncak rasanya. Sebelum mencapai titik tertinggi yang bisa dicapai, akan ditemui lapangan besar berpasir di mana terdapat beberapa kawah yang masih aktif. Teh Hani, yang pernah kuliah keperawatan menyuruh untuk mempercepat langkah kami agar tidak terkena gas beracun yang baunya sangat menyengat. Selain menghindari zat beracun, langkah kami dipercepat karena hujan deras disertai petir yang “menyerang” kami saat sedang turun dari puncak. Kami sempat panik dan dilanda rasa takut. Bagaimana tidak, kami berada di sebuah lapangan terbuka di ketinggian tanpa pohon sama sekali dan adanya berita kematian anggota organisasi pendaki gunung akibat tersambar petir yang terjadi tidak lama sebelum kami datang ke Sumatera Barat. Kami mematikan semua alat komunikasi sampai keesokan harinya. Dalam keadaan dan lokasi seperti itu agak sulit mencari tempat mendirikan camp yang tertutup dengan pohon untuk menghindari sambaran petir yang bunyinya bertalu - talu. Malam itu kami  menaruh semua harapan kami pada Sang Pencipta dan pohon cantigi yang tingginya tidak seberapa. Hujan masih terus turun sampai kami tertidur. Besok paginya cerah dan kami ceria menertawakan kejadian sehari sebelumnya. Dengan penuh tawa, kami namai camp terakhir kami “Mass Kill”, sebuah istilah dalam game Point Blank yang berarti serangan mematikan (kalau saya tidak salah).


Kami turun gunung seharian tetapi sempat beristirahat lama sambil mengobrol dengan pendaki gunung dari Riau. “Pokoknya kalo sampe di kaki gunung, saya mau makan bakso 2 mangkok”, kata Anto dalam perjalanan. Harapan untuk makan bakso 2 mangkok terwujud karena tepat di pinggir jalan raya tempat kami menunggu kendaraan menuju Paninjauan, ada warung bakso yang pemiliknya ternyata orang Jawa dan satu kampung halaman dengan Anto. Kami kembali tertawa sambil menikmati bakso terenak yang pernah kami makan sebelum kembali ke rumah Bang On yang sempat panik karena tak ada kabar seharian kemarin. Sebuah akhir perjalanan selalu tidak terduga. Namun, yang pasti akan selalu ada tawa di dalamnya. Beruntung bagi mereka yang mendapatkannya di akhir. Satu lagi perjalanan yang  terekam dalam ingatan. Terima kasih, Palawa.

Continue Reading...

About

Blogroll

About