Rabu, 03 Juli 2013

Mereka Menyebutnya Fanatisme Buta

Share it Please
Tidak seperti anak sekolah yang senang dengan masa liburan menuju pergantian tahun ajaran baru, bagi penggemar sepakbola, waktu ini merupakan waktu-waktu yang sangat membosankan. Bulan dan minggu yang selalu dipenuhi oleh pertandingan sepakbola dunia menjadi datar karena pergantian musim. Pemain sepak bola juga manusia sehingga mereka perlu istirahat dari pekerjaannya untuk menghibur ratusan juta mata dengan aksinya di lapangan. Waktu libur ini juga digunakan oleh setiap klub untuk berbenah, mengevaluasi musim yang telah lewat dan bersiap-siap untuk menghadapi musim baru dengan menjual atau membeli pemain baru untuk memperkuat timnya. Beberapa tim Eropa mempunyai acara rutin tahunan yang dikenal dengan pre-season match yang bisa juga disebut laga pemanasan sebelum liga bergulir. Biasanya tim-tim besar ini melakukan tour ke negara-negara di luar Eropa untuk melakukan pertandingan persahabatan. Tetapi tujuan sebenarnya dari kegiatan ini adalah untuk melakukan ekspansi bisnis dan merupakan salah satu metode pemasaran untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya demi tetap berjalannya klub.

Suatu sore, saya berbincang dengan seorang teman, Dia adalah Bobotoh, sebutan untuk pendukung Persib Bandung. Dia juga menyukai West Ham United, salah satu tim liga Inggris yang pendukungnya pernah difilmkan dalam "Green Street Hooligans". Perbincangan bermula dari aksi pelemparan bis pemain Persib yang akan menuju ke Gelora Bung Karno untuk melakukan pertandingan melawan Persija. Pelemparan ini kabarnya dilakukan oleh oknum The Jakmania. Oknum, kata yang sedang populer dan menjadi bahan bercandaan kalangan penggemar bola di Indonesia sebagai tanda protes atas kepengecutan pihak-pihak tertentu untuk menyebut pihak yang bertanggung jawab atas sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Kejadian ini memicu reaksi dari Bobotoh di Bandung dengan melakukan sweeping plat B, plat mobil untuk Jakarta. Tidak semua Bobotoh, hanya oknum (lagi-lagi oknum). Lucunya, jika memakai logika, tidak semuanya yang menggunakan plat B adalah pendukung Persija. Logikanya... Tetapi kalau emosi yang main, bagaimana mau menggunakan logika? Saya tidak mau mengatakan siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kejadian ini. Terus terang saya hanya geleng-geleng kepala dengan kelakukan para supporter bola di tanah air.


Perbincangan berlanjut tentang fanatisme. Menurut KBBI, fanatisme adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dsb). Kata ini sering dijumpai di dalam sepak bola. Bagi beberapa orang atau kelompok, sepak bola atau klub kesayangan sudah seperti agama. Saya ingat sebuah percakapan di dalam film "Looking For Eric" oleh seorang fans Manchester United yang berbunyi "You can change your wife, change your politics, change your religion, but never can you change your favorite football team". Begitu besarnya pengaruh sebuah klub sepak bola bagi kehidupan fansnya. Menurut saya, itu sesuatu yang sangat wajar apalagi jika orang atau kelompok tersebut hidup dalam kultur klub tersebut seperti Persib bagi orang-orang Bandung, Manchester United bagi orang-orang Manchester atau Liverpool dan Everton bagi orang-orang Liverpool. Yang dipertanyakan di sini adalah orang atau kelompok yang tidak hidup dalam kultur sebuah klub secara langsung dan hanya merupakan fans jarak jauh. Haruskah fanatik?


Membahas hal ini akan memunculkan banyak pendapat baik pro maupun kontra. Saya sendiri terkadang sulit untuk menggambarkan kadar kecintaan saya terhadap sebuah klub. Ada yang menyebut fans sejati karena kesetiaan mendukung tim saat kalah ataupun menang. Tapi poinnya bukan di situ. Saya sudah menyukai sepakbola sejak lebih dari satu dekade yang lalu ketika saya masih berseragam putih - biru. Saya menyukai dua tim Eropa yang berbeda liga walaupun makin lama kecintaan terhadap yang tim yang satu lebih besar daripada tim yang lainnya. Saya masuk komunitas fans klub dan aktif di dalamnya. Kami nonton bareng sambil mengumandangkan chants layaknya kami sedang berada di dalam stadion. Tetapi makin lama kejenuhan itu datang ketika muncul orang-orang yang membawa ukuran-ukuran kadar kecintaan seseorang terhadap sebuah klub yang dia puja. Mereka menyebut bahwa jika tidak nonton bareng, tidak mengumandangkan chants saat nonbar, menggunakan jersey KW, mendukung lebih dari satu klub, tidak ini tidak itu bukanlah fans sejati. WTF! Who the hell are you who can measure those things?! Selain mengukur, mereka juga bersumbu pendek yang gampang marah ketika klub mereka dicaci maki dan mengamuk melalui sosial media.

Saya setuju dengan pendapat seorang teman "Emang kalo lo marah-marah atau sampai berantem karena klub bola di belahan dunia sono, trus lo kenapa-kenapa, emang klub yang lo bela itu bakal ngelakuin sesuatu buat lo?". Calm down my bro. Tidak ada salahnya mencintai atau memuja sebuah klub sepak bola. Saya sendiri bahkan tidak bisa menahan air mata ketika pelatih klub yang saya dukung mengundurkan diri atau ketika tim yang saya dukung kalah di sebuah kompetisi. Saya juga bahagia tidak terkira dan tidak bisa digambarkan ketika tim yang saya dukung mencetak gol atau memenangkan sebuah tropi. Itu masalah perasaan, tidak bisa diganggu gugat. Jika kita mendukung sebuah klub sepakbola di belahan dunia lain dengan berlebihan, mungkin itu juga masalah perasaan. Saya tidak ingin menyalahkan. Hanya mereka kadang menyebutnya fanatisme buta. Why so serious?




2 komentar:

About

Blogroll

About