Senin, 15 Juli 2013

Sepotong Rindu, Selaksa Harapan dan Sepenggal Doa

Dulu aku pernah sangat membencinya. Bahkan ada seurat dendam ketika dia melakukan sesuatu yang sangat menyakiti hati ibuku. Sejak kecil, aku diajarkan untuk segan dan cenderung takut padanya. Aku takut dengan kemarahan dan tatapan matanya. Aku ingat bagaimana kerasnya dia mendidik aku dan saudaraku. Semuanya harus sesuai dengan keinginannya dan tugas kami hanyalah melakukan sesuatu yang tidak membuatnya marah. Dia pintar, dihormati, keras kepala dan temperamen. Tetapi karena kenakalan masa mudanya, dia hanya berakhir menjadi seorang petani. Di luar itu, dia merupakan salah satu tetua adat yang dipercaya untuk menjalankan tatanan adat di kampung kami. Aku hampir lupa kenangan manis tentang dirinya semasa aku kecil. Sikapnya yang menjadikan kami lebih dekat dengan ibu. Dia ayahku.

Beranjak dewasa apalagi semasa kuliah, aku yang memang berkarakter terbuka, mempunyai pergaulan yang cukup luas. Dari sering bergaul dengan orang-orang yang berasal dari etnis dan golongan lain, aku belajar untuk menjadi seorang yang tidak malu-malu mengungkapkan rasa cinta pada orang-orang terdekat atau sekedar mengatakan rindu. Aku mulai mengungkapkan rindu pada ayahku walaupun baru sebatas pesan singkat. Pesan singkat itu akan dibalasnya singkat dengan menanyakan kabar atau menulis harapan agar aku selalu dalam lindungan Yang Kuasa. Hal ini sangat berbeda jika kami bertemu langsung. Dia sosok yang dingin, cuek, dan hampir tidak pernah ke gereja karena alasan pribadi walaupun ibuku tanpa putus asa mengajaknya untuk ke gereja. Hal ini kadang-kadang memicu pertengkaran antara dia dan ibu. Semakin lama aku semakin mengenal sosok ayahku. Untuk mengajaknya bicara, harus mencari waktu yang tepat dan saat suasana hatinya sedang bagus. Jika tidak, matanya akan melotot atau membuang pandangan sambil mengisap rokoknya jika dia tidak tertarik dengan pembicaraan. Tetapi aku semakin kebal dengan sikapnya. Aku akan terus menyerocos mengajaknya mengobrol jika aku sedang ingin tidak peduli dia mendengarkan atau tidak. Ibuku pun demikian. Ibuku sosok wanita yang kuat dan tahan banting. Dia sudah mengalami pahit manisnya kehidupan berumah tangga dan masih bertahan sampai detik ini dengan seorang laki-laki yang menguras air matanya hampir setengah umurnya. Ibuku sudah tiba pada titik kesabaran yang paling tinggi dan bertahan di situ tak bergeming. Yang dilakukan oleh ibuku sekarang adalah pengabdian seorang istri kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya.

Ayahku semakin tua. Saat aku menulis ini usianya telah menginjak 63 tahun dan aku akan menginjak umur 24 tahun. Aku semakin dekat dengan ayahku walaupun selama 6 tahun terakhir aku berada di perantauan untuk kuliah dan bekerja. Masih kuingat ketika aku tidak ranking 1 di kelas, dia hampir membakar raportku karena menurutnya tidak ranking 1 bukan suatu prestasi. Masih kuingat juga ketika dia memukulku dengan rotan karena bermain sampai malam di rumah tetangga. Tetapi aku juga masih sangat ingat ketika aku lulus kuliah dan pulang untuk waktu yang lama di rumah, kami mengobrol di depan teras rumah. Kami membicarakan tentang rencanaku selanjutnya setelah menyelesaikan pendidikan. Aku bersikeras untuk kembali ke Bandung atau Jakarta untuk mencari pekerjaan. Beliau diam dan hanya memandang hamparan sawah di depan rumah kami. Dengan suara berat dia berkata "Kenapa harus jauh-jauh mencari kerja. Cari kerja di sini saja. Cari kerja di Pulau Jawa itu sulit". Kami berargumen. Aku tetap dengan keinginanku untuk merantau lagi dan kuyakinkan beliau bahwa aku akan mendapat pekerjaan di Pulau Jawa. Akhirnya dia mengalah dengan terpaksa karena pada saat itu tiket ke Jakarta sudah kupesan tanpa sepengatahuannya. Baru saat ingin berangkat aku menyadari bahwa ayahku ingin aku tetap tinggal di kampung untuk menemani dia dan ibu karena saudaraku yang lain sudah merantau. 

Aku sadar dan yakin benar bahwa ayahku sangat menyayangiku. Sekeras apapun, dia tetaplah seorang ayah dan aku adalah putri kecilnya. Dia menyayangiku tanpa ungkapan. Dia sayang tetapi tidak bisa menunjukkannya. Jika dia ingin menunjukkan, yang keluar hanya nada marah. Sampai sejauh ini dengan apa yang sudah aku lewati, aku sangat bangga mempunyai seorang ayah seperti beliau. Saat aku menulis ini, beliau tengah terbaring lemah di dalam ruang ICU salah satu rumah sakit di Toraja. Berita yang membuatku lemas seketika dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku bingung. Tetapi kemudian aku menguatkan hati, berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar memberi kesembuhan kepada beliau. Aku belum siap untuk hal terburuk. Aku belum membahagiakan beliau. Aku belum berbuat apa-apa untuk membuat dia bahagia. Sepotong rindu dan selaksa harapan mengiringi doaku malam ini. Semoga ayahku sembuh karena dia kuat.
Continue Reading...

Jumat, 12 Juli 2013

Bebal

Rasa iri itu mematikan. Bisa mengoyak-ngoyak hati seperti seekor harimau yang sedang merobek-robek mangsanya. Sakitnya bisa membuat meringis sampai menangis. Terkadang kita begitu benci melihat seseorang yang sedang bahagia karena apa yang kita inginkan tidak kita dapatkan sedangkan mereka mendapatkan apa yang kita inginkan itu. Benci ini penyakit, kata orang-orang bijaksana. Dia bisa menggerogoti tulang dan daging kemudian menghempaskan kita dalam keterpurukan. 

Banyak orang yang tidak beruntung seperti kita dan kita tahu pasti itu. Dalam berbagai perjalanan yang telah kita lalui, kita banyak melihat kesusahan orang lain yang makan belum tentu tiga kali sehari, menempuh berpuluh-puluh kilo untuk mengecap pendidikan, bangun sebelum matahari terbit dan berjalan kaki untuk mendapatkan uang yang tak seberapa. Ya Tuhan, ampuni kami manusia yang tidak pernah bersyukur. Manusia tidak tahu terima kasih yang mengeluhkan segala keadaan. Manusia yang penuh iri dan benci kepada mereka yang lebih beruntung. Manusia yang tidak pernah merasa cukup. Manusia yang ingin lebih dan lebih lagi saat mendapatkan sesuatu. Ya Tuhan, ampuni aku yang tahu dan sadar bahwa aku telah cukup mendapat belas kasih-Mu namun bebal dan masih selalu mengeluh karena merasa kurang. Aku malu... sangat malu...
Continue Reading...

Rabu, 10 Juli 2013

Kami, Para Turis Gasruk

Catatan yang tertinggal...
Thaekek, 4 Desember 2011 

"If you don't know where are you going, Any road will get you there" - George Harrison

Pagi hari ini Thaekek cerah seperti pertama kali kamu datang ke sini. Setelah sarapan dan pindah ke hotel yang lebih luas dan mempersiapkan segala sesuatu untuk tim yang baru akan datang, kami menyewa motor untuk jalan-jalan hari itu. Kami berencana mengunjungi gua-gua wisata yang ada di sekitar Thaekek. Gua di dalam bahasa Laos disebut “Tham”. Ada yang menyebutnya “Than”. Kami menyusuri jalan raya yang cukup besar ke arah Maahaxay. Pemandangan yang sangat luar biasa kami lihat di sepanjang jalan. Kanan kiri jalan dipenuhi tebing karst yang menjulang tinggi dengan gagahnya. Saya hanya bisa ternganga melihat gunung batu yang tampak tak tersentuh sehingga kemegahannya masih sangat terasa. Akan sangat jauh berbeda jika menyusuri jalan Padalarang, Jawa Barat yang gunung-gunungnya sudah tidak berbentuk bahkan habis dikarenakan eksploitasi besar-besaran perusahaan meubel.


Perhentian pertama kami jatuh pada sebuah gua yang merupakan tempat ibadah umat Budha di sekitar daerah tersebut. Gua itu juga dibuka untuk para wisatawan. Gua tersebut berada di bawah sebuah tebing yang jika dilihat sekilas akan tampak seperti tebing yang tersusun dari batuan andesit. Namun, kata Anto, sang Geologist, itu merupakan batuan karst. Kami menanyai penjaga berapa yang harus kami bayar untuk masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi lagi-lagi kendala bahasa. Bahasa isyarat pun tak mempan. Jadi kami terus berjalan mengikuti tangga tanpa diinterupsi oleh sang penjaga. Sepanjang tangga dipenuhi kain warna warni sehingga saya menebak, sebelum kami ke sana ada perayaan keagamaan. Mulut gua tersebut besar dan di dalamnya terdapat patung Budha yang sangat besar. Untuk mendekati patung tersebut, kami harus melepaskan alas kaki. Setelah berfoto dan melihat-lihat, kami meneruskan perjalanan ke gua selanjutnya.




Gua ini kami temukan berkat penunjuk jalan bertuliskan “Phan Ya In Cave”. Guanya tampak sudah lama tak dikunjungi karena jalan menuju ke sana ditutupi semak belukar. Di depan mulut gua terdapat sebuah patung Budha yang warnanya masih cerah namun sudah berdebu. Seperti biasa, rasa penasaran membawa kamu untuk melangkah ke dalam gua tanpa penerangan. Tapi tak perlu khawatir karena chamber di dekat mulut gua masih sedikit diterangi matahari. Jika berjalan sedikit ke bawah, kita akan melihat sebuah aliran sungai. Wah, nanti Tham Khoun Xe juga begini bentuknya, pikir kami. Fariz yang berjalan paling depan langsung memperlihatkan muka iseng dan memberikan ide untuk kembali mengambil pelampung. Tapi usulan itu kami tolak dengan alasan jarak tempuh dan memutuskan untuk datang lagi esok harinya dengan membawa pelampung.


Perjalanan kami lanjutkan jauh ke arah Mahaxay. Jalan ini merupakan jalan yang bisa dilalui jika ingin ke Vietnam. Di kiri kanan jalan masih didominasi oleh tebing-tebing dan rumah penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Semakin jauh, pemandangan masih sama sehingga kami memutar balik dan kembali ke arah menuju Thaekek. Di tengah perjalanan, kami tertarik (lagi-lagi) pada sebuah penunjuk kalan besar tentang keberadaan sebuah gua wisata. Namanya pernah saya dengar dari Mr. Mee, orang asli Laos yang akan menjadi guide kami nantinya. 8 km? Tidak terlalu jauh, pikir kami. Kami berempat, saya, Fariz, Anto, Fia, mempercepat laju motor di atas jalan berdebu tebal. Karena saat itu musim kemarau, maka tak ayal seluruh debu beterbangan menyambut deru mesin motor sewaan kami sore itu. Setelah bergulat dengan debu sekitar 20 menit, tibalah kami di sebuah tempat yang dikelilingi gunung-gunung batu, tempat yang rasanya pernah saya lihat di sebuah adegan film mandarin. Kami memarkir motor dan berjalan di sepan sebuah toko souvenir kemudian berjalan menuju gua. Jalan menuju gua tersebut adalah jembatan kayu yang dibuat di atas sebuah rawa yang ditumbuhi banyak tumbuhan liar. Makin mirip dengan tempat syuting film, pikirku. Ternyata rawa tersebut tersambung dengan genangan sungai yang melintasi gua tersebut. Melihat sebuah perahu kayu usang diparkir di pinggir rawa, dapat disimpulkan bahwa dulu bada service melalui aliran sungai menaiki perahu.



Gua ini juga ternyata merupakan tempat ibadah umat Budha. Untuk masuk ke dalam gua, para wanita harus menggunakan sarung yang disewakan seharga 5000 kip. Sudah ada tangga permanen yang dibuat menuju mulut gua tempat orang beribadah. Mulut guanya agak sempit. Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat pemandangan dalam gua. Gua tersebut seperti disulap menjadi kuil mini dengan lilin dan instrumen-instrumen ibadah di sekelilingnya. Di tengah-tengah gua yang cukup luas itu juga digelar karpet dan di atasnya ada sekitar 7 orang yang sedang berkeliling untuk makan dan sebagian lagi menghitung uang. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan karena mereka tampak biasa-biasa saja dengan kedatangan kami. Salah seorang hanya berseru memberikan isyarat tidak boleh ketika kami mengeluarkan kamera. Di dalam gua itu tidak boleh memotret. Singkat dan kami memutuskan untuk keluar meninggalkan tempat itu. Pemandangan di luar gua jauh lebih menakjubkan dan bukan main indahnya. Kami akan berlama-lama di situ andai saja tidak memikirkan jalan kembali yang agak jauh sedangkan hari semakin sore.



Debu kembali mengepul. Beberapa kali yang dibonceng harus keluar turun di motor karena kondisi jalan yang buruk dan hari sudah mulai gelap ketika kami tiba di jalan raya menuju Thaekek. Petualangan kami akan dilanjutkan besok. Hari ini cukup karena saudara-saudara kami yang lain akan segera tiba di Thaekek setelah menempuh perjalanan panjang dari Vientiane.


Continue Reading...

Rabu, 03 Juli 2013

Mereka Menyebutnya Fanatisme Buta

Tidak seperti anak sekolah yang senang dengan masa liburan menuju pergantian tahun ajaran baru, bagi penggemar sepakbola, waktu ini merupakan waktu-waktu yang sangat membosankan. Bulan dan minggu yang selalu dipenuhi oleh pertandingan sepakbola dunia menjadi datar karena pergantian musim. Pemain sepak bola juga manusia sehingga mereka perlu istirahat dari pekerjaannya untuk menghibur ratusan juta mata dengan aksinya di lapangan. Waktu libur ini juga digunakan oleh setiap klub untuk berbenah, mengevaluasi musim yang telah lewat dan bersiap-siap untuk menghadapi musim baru dengan menjual atau membeli pemain baru untuk memperkuat timnya. Beberapa tim Eropa mempunyai acara rutin tahunan yang dikenal dengan pre-season match yang bisa juga disebut laga pemanasan sebelum liga bergulir. Biasanya tim-tim besar ini melakukan tour ke negara-negara di luar Eropa untuk melakukan pertandingan persahabatan. Tetapi tujuan sebenarnya dari kegiatan ini adalah untuk melakukan ekspansi bisnis dan merupakan salah satu metode pemasaran untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya demi tetap berjalannya klub.

Suatu sore, saya berbincang dengan seorang teman, Dia adalah Bobotoh, sebutan untuk pendukung Persib Bandung. Dia juga menyukai West Ham United, salah satu tim liga Inggris yang pendukungnya pernah difilmkan dalam "Green Street Hooligans". Perbincangan bermula dari aksi pelemparan bis pemain Persib yang akan menuju ke Gelora Bung Karno untuk melakukan pertandingan melawan Persija. Pelemparan ini kabarnya dilakukan oleh oknum The Jakmania. Oknum, kata yang sedang populer dan menjadi bahan bercandaan kalangan penggemar bola di Indonesia sebagai tanda protes atas kepengecutan pihak-pihak tertentu untuk menyebut pihak yang bertanggung jawab atas sebuah kejadian yang tidak diinginkan. Kejadian ini memicu reaksi dari Bobotoh di Bandung dengan melakukan sweeping plat B, plat mobil untuk Jakarta. Tidak semua Bobotoh, hanya oknum (lagi-lagi oknum). Lucunya, jika memakai logika, tidak semuanya yang menggunakan plat B adalah pendukung Persija. Logikanya... Tetapi kalau emosi yang main, bagaimana mau menggunakan logika? Saya tidak mau mengatakan siapa yang salah dan bertanggung jawab atas kejadian ini. Terus terang saya hanya geleng-geleng kepala dengan kelakukan para supporter bola di tanah air.


Perbincangan berlanjut tentang fanatisme. Menurut KBBI, fanatisme adalah keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran (politik, agama dsb). Kata ini sering dijumpai di dalam sepak bola. Bagi beberapa orang atau kelompok, sepak bola atau klub kesayangan sudah seperti agama. Saya ingat sebuah percakapan di dalam film "Looking For Eric" oleh seorang fans Manchester United yang berbunyi "You can change your wife, change your politics, change your religion, but never can you change your favorite football team". Begitu besarnya pengaruh sebuah klub sepak bola bagi kehidupan fansnya. Menurut saya, itu sesuatu yang sangat wajar apalagi jika orang atau kelompok tersebut hidup dalam kultur klub tersebut seperti Persib bagi orang-orang Bandung, Manchester United bagi orang-orang Manchester atau Liverpool dan Everton bagi orang-orang Liverpool. Yang dipertanyakan di sini adalah orang atau kelompok yang tidak hidup dalam kultur sebuah klub secara langsung dan hanya merupakan fans jarak jauh. Haruskah fanatik?


Membahas hal ini akan memunculkan banyak pendapat baik pro maupun kontra. Saya sendiri terkadang sulit untuk menggambarkan kadar kecintaan saya terhadap sebuah klub. Ada yang menyebut fans sejati karena kesetiaan mendukung tim saat kalah ataupun menang. Tapi poinnya bukan di situ. Saya sudah menyukai sepakbola sejak lebih dari satu dekade yang lalu ketika saya masih berseragam putih - biru. Saya menyukai dua tim Eropa yang berbeda liga walaupun makin lama kecintaan terhadap yang tim yang satu lebih besar daripada tim yang lainnya. Saya masuk komunitas fans klub dan aktif di dalamnya. Kami nonton bareng sambil mengumandangkan chants layaknya kami sedang berada di dalam stadion. Tetapi makin lama kejenuhan itu datang ketika muncul orang-orang yang membawa ukuran-ukuran kadar kecintaan seseorang terhadap sebuah klub yang dia puja. Mereka menyebut bahwa jika tidak nonton bareng, tidak mengumandangkan chants saat nonbar, menggunakan jersey KW, mendukung lebih dari satu klub, tidak ini tidak itu bukanlah fans sejati. WTF! Who the hell are you who can measure those things?! Selain mengukur, mereka juga bersumbu pendek yang gampang marah ketika klub mereka dicaci maki dan mengamuk melalui sosial media.

Saya setuju dengan pendapat seorang teman "Emang kalo lo marah-marah atau sampai berantem karena klub bola di belahan dunia sono, trus lo kenapa-kenapa, emang klub yang lo bela itu bakal ngelakuin sesuatu buat lo?". Calm down my bro. Tidak ada salahnya mencintai atau memuja sebuah klub sepak bola. Saya sendiri bahkan tidak bisa menahan air mata ketika pelatih klub yang saya dukung mengundurkan diri atau ketika tim yang saya dukung kalah di sebuah kompetisi. Saya juga bahagia tidak terkira dan tidak bisa digambarkan ketika tim yang saya dukung mencetak gol atau memenangkan sebuah tropi. Itu masalah perasaan, tidak bisa diganggu gugat. Jika kita mendukung sebuah klub sepakbola di belahan dunia lain dengan berlebihan, mungkin itu juga masalah perasaan. Saya tidak ingin menyalahkan. Hanya mereka kadang menyebutnya fanatisme buta. Why so serious?




Continue Reading...

About

Blogroll

About