Sabtu, 16 Januari 2010

Fragment #3

"Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan"

_Soe Hok Gie_
Continue Reading...

Sabtu, 09 Januari 2010

Saya Menyebutnya, Diskriminasi!

Hidup jauh dari orang tua adalah sesuatu hal yang sudah pernah aq ramalkan sebelumnya. Suatu saat aq akan pergi jauh dari kampung halaman ke suatu daerah yang belum pernah aq injak sebelumnya. Meninggalkan keluarga bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Delapan belas tahun hidup di tengah keluarga dan kerabat dekat adalah sesuatu yang bisa dijadikan alasan mengapa begitu berat meninggalkan mereka. Meneruskan pendidikan ke bangku kuliah adalah satu-satunya alasan kenapa aq harus meninggalkan mereka.

Di sinilah aq, di suatu kota di pinggir Bandung bernama Jatinangor. Tempat universitas yang aq masuki berdiri dengan gagah. Sesuatu tempat yang baru dan bahkan aq dengar pertama kali ketika ada saudara yang ternyata meneruskan pendidikan di IPDN. Di sinilah aq, memulai hidup yang baru sebagai seorang mahasiswi perantauan dengan menyewa sebuah kamar kosan di dekat kampus. Semuanya baik-baik saja. Semuanya ada di sini. Teman yang sangat baik juga qdapatkan di sini. Walaupun kenyataannya aq berbeda dengan mereka. Berbeda suku bangsa, berbeda adat istiadat dan berbeda agama. Aq yang notabene adalah seorang kristiani merupakan kaum minoritas di antara kumpulan orang-orang yang mayoritas muslim. Namun, perbedaan itu bukan suatu masalah yang besar buat aq bergaul dengan mereka. Dalam persahabatan kami tidak ada yang menyinggung agama sama sekali. Kami saling menghormati.

Tibalah suatu saat ketika menjelang natal. Saat-saat yang paling aq nantikan karena hanya pada waktu itulah aq mempunyai kesempatan untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga. Ada ujian, tidak masalah karena aq bisa meminta ujian susulan dan menurut perhitunganku ujian akan selesai sebelum tanggal keberangkatanq. Tapi semuanya tidak semulus yang aq kira. Selalu saja ada hal yang menghambat. Ternyata ada praktikum yang mengakibatkan jadwal beberapa ujian diundur. Awalnya aq tidak panik. Gampanglah. Bisa minta ujian susulan pada dosen yang bersangkutan. Dan ternyata lagi-lagi tidak segampang yang aq kira. Di sinilah permasalahannya. Seorang dosen yang tidak terlalu aq kenal sebelumnya dengan gampangnya menyuruh aq untuk membatalkan tiket. Dalam hatiku "tai banget lo. lo kira gw berak duit bisa batalin tiket begitu aja?". Selanjutnya dia menanyaiku, "kamu pulang buat apa?" aq jawab "saya mau pulang liburan bu,saya mau natalan ama keluarga". Katanya "oh kamu mau liburan, yah itu urusan pribadi kamu. Resiko jadi mahasiswa kalau ada yang kayak gini". What the fuck?? Ini natal bu!! Hari raya besar agama saya dan saya hanya sekali setahun pulangnya!!. Bahkan ujian susulan pun tidak bisa?? Tapi kata-kata itu tidak aq keluarkan karena aq tau posisi aq saat itu.

Aq tidak menyangka bahwa masih ada orang yang seperti itu. Maaf kalau aq menyebutnya diskriminasi. Teman-teman (maaf) muslim ingin merayakan hari raya besar bersama keluarga pasti dan bisa kujamin tidak ada yang mengalami hal seperti aq. Tidak satupun baik aq maupun mereka yang mau merayakan malam hari raya di pesawat ataupun di ruang kelas ,menghadapi kertas ujian. Aq tau aq adalah seorang minoritas. Tapi aq membayar kewajiban yang sama. Kenapa hari rayaku hanya ada libur kurang dari 3 hari dan hari raya yang lain liburnya bahkan sampai tiga minggu dengan mengambil beberapa hari kuliah. Salahkah aku menyebutnya sebuah diskriminasi? Maaf kalau aq terlalu blak-blakan. Aq tidak ada maksud sama sekali untuk menyinggung agama yang lain. Aq hanya mengungkapkan isi hati. Semoga yang membaca tulisan mengerti.

Continue Reading...

Fanatisme Yang Mungkin Tumbuh Atau Mati

Bicara tentang sepakbola tidak akan ada habisnya. Teman2 saya kadang heran melihat anak cewek seperti saya sangat tertarik dengan olahraga yang identik dengan kaum adam ini. Tapi saya adalah salah satu dari ribuan bahkan jutaan kaum hawa yang senang dengan olahraga ini. Seperti layaknya politik, sepakbola juga mempunyai dinamika. Mungkin itu yang saya rasakan sekarang. Suatu fanatisme yang mulai muncul karena dikelilingi oleh para penggila sepakbola. Tapi saya yakin "fanatisme" yang satu ini bukan seperti yang anda pikirkan sekarang.


Bermula saat pertama kali saya tertarik dengan sebuah klub bola yang berasal dari negeri pizza. Klub bola itu adalah Juventus. Dilanjutkan dengan ketertarikan pada klub bola dari negeri Ratu Elizabeth, Manchester United. Sampai saya duduk di semester 3 di ilmu pemerintahan fisip unpad, saya tidak peduli dengan klub bola ataupun pertandingan di dalam negeri. Saya melihat bahwa dari semua klub bola di Indonesia tidak ada yang bagus satu pun. Saya seringkali mencibir jika ada pertandingan liga indonesia. Walaupun saya sendiri berasal dari suatu daerah yang mempunyai klub bola sendiri, saya tidak pernah mendukung klub bola tersebut dengan cara apapun. Sampai saatnya, saya kuliah di Jawa Barat tepatnya di Jatinangor, beberapa kilometer dari kota Bandung. Kota yang terkenal dengan sebutan Tanah Pasundan, Bumi Parahyangan dan masih banyak lainnya. Saya bertemu dengan teman-teman yang sebagian besar adalah Orang Sunda. Terus terang, saya sangat tertarik untuk mempelajari bahasanya dan dari situlah, saya mulai masuk ke dalam dunia Pasundan, saya rasa.


Kebanyakan dari mereka adalah para lelaki (biar macho kedengarannya) yang merupakan pendukung Persib, sebuah klub bola yang terkenal dari Kota Bandung. Mereka akrab dengan sebutan Viking. Hampir setiap hari mereka membicarakan klub kesayangan mereka itu. Saya tidak menimpali kala itu karena saya tidak menahu apa yang mereka bicarakan. Karena inginnya saya menonton bola secara langsung pada suatu saat, saya menerima ajakan untuk menonton pertandingan Persib melawan Pelita di Stadion Jalak Harupat yang terletak di Kabupaten Soreang, yang juga terletak beberapa kilometer dari Kota Bandung. Walaupun hampir semua teman saya pasti tau kalau keinginan terbesar saya tetaplah menonton pertandingan langsung Manchester United di Old Trafford dan keinginan itu tidak tau kapan akan terwujud. Saya juga tidak menolak ketika salah satu dari teman saya menawarkan baju kaos bertuliskan "PERSIB 1933" untuk saya kenakan. Maka itulah pengalaman pertama saya menonton pertandingan bola secara langsung. Saya bebas berteriak apapun, ikut menyanyikan lagu untuk memberi semangat para pemain dan tidak berhentinya saya tersenyum melihat euforia dan ekspresi muka para penonton yang sebagian besar adalah Viking.


Semenjak hari itu, entah kenapa saya mulai tertarik dengan liga indonesia. Mulai mencoba menonton pertandingannya, mulai "nimbrung" pada saat teman2 saya membicarakan Persib, mulai ikut bernyanyi lagu mars mengikuti teman2 saya yang lain dan mulai mengenali satu2 nama pemainnya. Saya juga mulai bersorak senang saat klub bola asal kota bandung ini memenangkan pertandingan dan akan mengumpat pada saat dia kalah. Saya tidak ingin mencap diri saya sebagai seorang Viking. Saya juga belum berani mengatakan kalau saya cinta Persib. Tetapi entah apa nama perasaan itu. Sebuah fanatisme yang baru berupa benih dan mungkin akan tumbuh ataupun akan mati. Saya sendiri tidak tau. Biarlah waktu yang menjawab.
Continue Reading...

About

Blogroll

About