Minggu, 06 Oktober 2013

Gunung Marapi : Mass Kill dan 2 Mangkok Bakso

Share it Please
The journey is like marriage. The certain way to be wrong is to think you control it”  - John Steinbeck

Sumatera Barat merupakan salah satu propinsi besar di Indonesia. Propinsi yang beribukota di Padang ini, terkenal akan keindahan alam dan budayanya. Untuk para petualang khususnya yang suka mendaki gunung, Gunung Singgalang (2877 mdpl), Gunung Marapi (2891 mdpl) , atau Gunung Talamau (2913 mdpl) bisa menjadi pilihan. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya saya, Anto, Gufi, Margo yang pada saat itu hendak melakukan pengambilan nomor pokok Palawa Unpad memutuskan untuk merintis jalur di Gunung Marapi. Walaupun tidak mencapai ketinggian 3000 mdpl seperti Gunung Kerinci di Jambi atau Gunung Dempo di  Sumatera Selatan, tetapi Gunung Marapi mempunyai kekhasan tersendiri karena di atas ketinggian 2500 mdpl, sudah tidak ada vegetasi lagi dan ditutupi oleh batu-batu kecil dan pasir. Puncaknya seluas lapangan sepakbola dan ada beberapa kawah berukuran besar yang masih aktif mengeluarkan gas beracun.

Ditemani Teh Astri yang menjadi pembimbing dalam pengembaraan ini, kami ke Padang dengan menggunakan pesawat, yang bagi beberapa penggiat alam lain merupakan sesuatu yang terlalu mewah dan mengurangi nilai petualangan. Tidak ada yang salah dengan anggapan tersebut. Bisa saja kami menggunakan bis menuju Merak kemudian menyeberang ke Pulau Sumatera dan menyusuri jalan Trans Sumatera atau naik kapal laut tetapi yang kami pikirkan saat itu adalah efisiensi waktu dan kemudahan. Kami harus menyimpan tenaga untuk pendakian dan tidak ingin tenaga kami habis di perjalanan. Ini pertama kalinya saya menginjak Pulau Sumatera jadi hal ini akan menjadi pengalaman yang sangat luar biasa untuk saya. Anto sudah tidak asing dengan Padang karena dia beberapa kali melakukan penelitian lapangan di sini sebagai seorang geologist. Lebih beruntungnya kami, saat itu 2 (dua) orang senior kami yaitu Teh Hani dan Kang Aday sedang ada di Pariaman karena ada pekerjaan sehingga kami tidak usah repot-repot untuk menggunakan angkutan umum menuju Mapala Proklamator, perhimpunan pecinta alam Universitas Bung Hatta yang sudah kami hubungi sebelumnya. Mapala Proklamator ini juga sudah kami plot untuk menjadi base komunikasi yang akan langsung berhubungan ke sekretariat di Jatinangor. Ada juga Bang On, kakak ipar dari teman kuliah Anto yang bersedia menjadi base com kami di desa terakhir, Paninjauan, Kabupaten Padang Panjang. Begitu ramahnya juga keluarga Bang On yang menyediakan tempat untuk tidur dan menyiapkan masakan padang yang nikmatnya lebih dari rumah makan padang di manapun.


Hari perintisan jalur dan pendakian sudah ditentukan. Sebelum memulai kegiatan, kami harus melapor pada Kepala Nagari setempat. Nagari adalah salah struktur pemerintahan setara desa yang hanya ada di Sumatera Barat. Jabatan ini sarat nilai sejarah dan budaya bagi orang – orang Minangkabau. Carrier lebih berat dari sebelumnya karena sudah terisi beberapa liter air dan minuman penambah cairan tubuh. Perjalanan dimulai dengan doa bersama dan sedikit rasa khawatir keluarga Bang On karena puncak gunung yang tertutup kabut. Saya membulatkan tekad dan menggunakan segenap kekuatan untuk mengangkat carrier yang terasa sangat berat. Kami pasti akan sampai di puncak sesuai target, kata saya meyakinkan diri sendiri.

Enam hari perjalanan kami tempuh sampai di Puncak Merpati (2777 mdpl) setelah sebelumnya bergerak dengan pembagian tugas yang berbeda setiap harinya. Makin lama carrier semakin ringan. Mungkin karena logistik yang berkurang dan tubuh yang sudah bisa menyesuaikan beratnya. Kami tidak diijinkan untuk membawa makanan yang berbau amis seperti kornet, ikan kaleng, dendeng kering dan telur. Hal ini merupakan sebuah kearifan lokal yang harus diikuti. Percaya pada hal yang berbau mistis masih dilakukan masyarakat Paninjauan. Konon, masih banyak harimau jadi – jadian (yang saya lupa istilahnya) di dalam hutan sekitar Gunung Marapi ini. Hutan lebat, pacet, rotan, tidak ada sumber air merupakan tantangan tersendiri dalam perjalanan ini. Kami harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan penebasan karena akar gantung yang bandel.


Kami berteriak kegirangan ketika kami mencapai batas vegetasi hutan dengan pasir. Seperti tiba di puncak rasanya. Sebelum mencapai titik tertinggi yang bisa dicapai, akan ditemui lapangan besar berpasir di mana terdapat beberapa kawah yang masih aktif. Teh Hani, yang pernah kuliah keperawatan menyuruh untuk mempercepat langkah kami agar tidak terkena gas beracun yang baunya sangat menyengat. Selain menghindari zat beracun, langkah kami dipercepat karena hujan deras disertai petir yang “menyerang” kami saat sedang turun dari puncak. Kami sempat panik dan dilanda rasa takut. Bagaimana tidak, kami berada di sebuah lapangan terbuka di ketinggian tanpa pohon sama sekali dan adanya berita kematian anggota organisasi pendaki gunung akibat tersambar petir yang terjadi tidak lama sebelum kami datang ke Sumatera Barat. Kami mematikan semua alat komunikasi sampai keesokan harinya. Dalam keadaan dan lokasi seperti itu agak sulit mencari tempat mendirikan camp yang tertutup dengan pohon untuk menghindari sambaran petir yang bunyinya bertalu - talu. Malam itu kami  menaruh semua harapan kami pada Sang Pencipta dan pohon cantigi yang tingginya tidak seberapa. Hujan masih terus turun sampai kami tertidur. Besok paginya cerah dan kami ceria menertawakan kejadian sehari sebelumnya. Dengan penuh tawa, kami namai camp terakhir kami “Mass Kill”, sebuah istilah dalam game Point Blank yang berarti serangan mematikan (kalau saya tidak salah).


Kami turun gunung seharian tetapi sempat beristirahat lama sambil mengobrol dengan pendaki gunung dari Riau. “Pokoknya kalo sampe di kaki gunung, saya mau makan bakso 2 mangkok”, kata Anto dalam perjalanan. Harapan untuk makan bakso 2 mangkok terwujud karena tepat di pinggir jalan raya tempat kami menunggu kendaraan menuju Paninjauan, ada warung bakso yang pemiliknya ternyata orang Jawa dan satu kampung halaman dengan Anto. Kami kembali tertawa sambil menikmati bakso terenak yang pernah kami makan sebelum kembali ke rumah Bang On yang sempat panik karena tak ada kabar seharian kemarin. Sebuah akhir perjalanan selalu tidak terduga. Namun, yang pasti akan selalu ada tawa di dalamnya. Beruntung bagi mereka yang mendapatkannya di akhir. Satu lagi perjalanan yang  terekam dalam ingatan. Terima kasih, Palawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About