“The journey is like
marriage. The certain way to be wrong is to think you control it” - John Steinbeck
Sumatera Barat merupakan salah satu
propinsi besar di Indonesia. Propinsi yang beribukota di Padang ini, terkenal
akan keindahan alam dan budayanya. Untuk para petualang khususnya yang suka
mendaki gunung, Gunung Singgalang (2877 mdpl), Gunung Marapi (2891 mdpl) , atau
Gunung Talamau (2913 mdpl) bisa menjadi pilihan. Setelah beberapa pertimbangan,
akhirnya saya, Anto, Gufi, Margo yang pada saat itu hendak melakukan pengambilan
nomor pokok Palawa Unpad memutuskan untuk merintis jalur di Gunung Marapi. Walaupun
tidak mencapai ketinggian 3000 mdpl seperti Gunung Kerinci di Jambi atau Gunung
Dempo di Sumatera Selatan, tetapi Gunung
Marapi mempunyai kekhasan tersendiri karena di atas ketinggian 2500 mdpl, sudah
tidak ada vegetasi lagi dan ditutupi oleh batu-batu kecil dan pasir. Puncaknya
seluas lapangan sepakbola dan ada beberapa kawah berukuran besar yang masih
aktif mengeluarkan gas beracun.
Ditemani Teh Astri yang menjadi
pembimbing dalam pengembaraan ini, kami ke Padang dengan menggunakan pesawat,
yang bagi beberapa penggiat alam lain merupakan sesuatu yang terlalu mewah dan
mengurangi nilai petualangan. Tidak ada yang salah dengan anggapan tersebut.
Bisa saja kami menggunakan bis menuju Merak kemudian menyeberang ke Pulau
Sumatera dan menyusuri jalan Trans Sumatera atau naik kapal laut tetapi yang
kami pikirkan saat itu adalah efisiensi waktu dan kemudahan. Kami harus
menyimpan tenaga untuk pendakian dan tidak ingin tenaga kami habis di
perjalanan. Ini pertama kalinya saya menginjak Pulau Sumatera jadi hal ini akan
menjadi pengalaman yang sangat luar biasa untuk saya. Anto sudah tidak asing
dengan Padang karena dia beberapa kali melakukan penelitian lapangan di sini
sebagai seorang geologist. Lebih beruntungnya kami, saat itu 2 (dua) orang
senior kami yaitu Teh Hani dan Kang Aday sedang ada di Pariaman karena ada
pekerjaan sehingga kami tidak usah repot-repot untuk menggunakan angkutan umum
menuju Mapala Proklamator, perhimpunan pecinta alam Universitas Bung Hatta yang
sudah kami hubungi sebelumnya. Mapala Proklamator ini juga sudah kami plot
untuk menjadi base komunikasi yang
akan langsung berhubungan ke sekretariat di Jatinangor. Ada juga Bang On, kakak
ipar dari teman kuliah Anto yang bersedia menjadi base com kami di desa
terakhir, Paninjauan, Kabupaten Padang Panjang. Begitu ramahnya juga keluarga
Bang On yang menyediakan tempat untuk tidur dan menyiapkan masakan padang yang
nikmatnya lebih dari rumah makan padang di manapun.
Hari perintisan jalur dan pendakian
sudah ditentukan. Sebelum memulai kegiatan, kami harus melapor pada Kepala
Nagari setempat. Nagari adalah salah struktur pemerintahan setara desa yang
hanya ada di Sumatera Barat. Jabatan ini sarat nilai sejarah dan budaya bagi
orang – orang Minangkabau. Carrier lebih berat dari sebelumnya karena sudah
terisi beberapa liter air dan minuman penambah cairan tubuh. Perjalanan dimulai
dengan doa bersama dan sedikit rasa khawatir keluarga Bang On karena puncak
gunung yang tertutup kabut. Saya membulatkan tekad dan menggunakan segenap
kekuatan untuk mengangkat carrier yang terasa sangat berat. Kami pasti akan
sampai di puncak sesuai target, kata saya meyakinkan diri sendiri.
Enam hari perjalanan kami tempuh
sampai di Puncak Merpati (2777 mdpl) setelah sebelumnya bergerak dengan
pembagian tugas yang berbeda setiap harinya. Makin lama carrier semakin ringan.
Mungkin karena logistik yang berkurang dan tubuh yang sudah bisa menyesuaikan
beratnya. Kami tidak diijinkan untuk membawa makanan yang berbau amis seperti
kornet, ikan kaleng, dendeng kering dan telur. Hal ini merupakan sebuah
kearifan lokal yang harus diikuti. Percaya pada hal yang berbau mistis masih dilakukan
masyarakat Paninjauan. Konon, masih banyak harimau jadi – jadian (yang saya
lupa istilahnya) di dalam hutan sekitar Gunung Marapi ini. Hutan lebat, pacet, rotan,
tidak ada sumber air merupakan tantangan tersendiri dalam perjalanan ini. Kami
harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melakukan penebasan karena akar gantung
yang bandel.
Kami berteriak kegirangan ketika kami
mencapai batas vegetasi hutan dengan pasir. Seperti tiba di puncak rasanya.
Sebelum mencapai titik tertinggi yang bisa dicapai, akan ditemui lapangan besar
berpasir di mana terdapat beberapa kawah yang masih aktif. Teh Hani, yang
pernah kuliah keperawatan menyuruh untuk mempercepat langkah kami agar tidak
terkena gas beracun yang baunya sangat menyengat. Selain menghindari zat
beracun, langkah kami dipercepat karena hujan deras disertai petir yang
“menyerang” kami saat sedang turun dari puncak. Kami sempat panik dan dilanda
rasa takut. Bagaimana tidak, kami berada di sebuah lapangan terbuka di
ketinggian tanpa pohon sama sekali dan adanya berita kematian anggota
organisasi pendaki gunung akibat tersambar petir yang terjadi tidak lama
sebelum kami datang ke Sumatera Barat. Kami mematikan semua alat komunikasi
sampai keesokan harinya. Dalam keadaan dan lokasi seperti itu agak sulit mencari
tempat mendirikan camp yang tertutup
dengan pohon untuk menghindari sambaran petir yang bunyinya bertalu - talu.
Malam itu kami menaruh semua harapan
kami pada Sang Pencipta dan pohon cantigi yang tingginya tidak seberapa. Hujan
masih terus turun sampai kami tertidur. Besok paginya cerah dan kami ceria
menertawakan kejadian sehari sebelumnya. Dengan penuh tawa, kami namai camp terakhir kami “Mass Kill”, sebuah istilah dalam game Point Blank yang berarti serangan mematikan (kalau saya tidak
salah).
Kami turun gunung seharian tetapi
sempat beristirahat lama sambil mengobrol dengan pendaki gunung dari Riau.
“Pokoknya kalo sampe di kaki gunung,
saya mau makan bakso 2 mangkok”, kata Anto dalam perjalanan. Harapan untuk
makan bakso 2 mangkok terwujud karena tepat di pinggir jalan raya tempat kami
menunggu kendaraan menuju Paninjauan, ada warung bakso yang pemiliknya ternyata
orang Jawa dan satu kampung halaman dengan Anto. Kami kembali tertawa sambil
menikmati bakso terenak yang pernah kami makan sebelum kembali ke rumah Bang On
yang sempat panik karena tak ada kabar seharian kemarin. Sebuah akhir
perjalanan selalu tidak terduga. Namun, yang pasti akan selalu ada tawa di
dalamnya. Beruntung bagi mereka yang mendapatkannya di akhir. Satu lagi
perjalanan yang terekam dalam ingatan.
Terima kasih, Palawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar