Kamis, 27 Juni 2013

Cabul, Fisip dan Postmo

Kemarin sore menjelang malam sepulang bekerja, saya datang ke sebuah taman di tengah kota untuk berkumpul dengan teman-teman komunitas yang belum lama ini terbentuk. Karena ada sedikit perbedaan bahasa, saya harus lama mencerna apa yang mereka katakan. Tetapi selalu menyenangkan untuk sekedar berkumpul sambil tertawa tentang apa saja dengan siapapun itu. Langit mendung dan kami masih belum beranjak dari tempat kami. Saya sesekali melihat update status teman di kontrak Blackberry yang selalu asik untuk dibaca dan dikomentari. Adit, senior dan teman kala kuliah mengupdate sebuah status "RIP Arif Beldwin a.k.a Cabul". Sepersekian detik saya terdiam kemudian mengotak-atik kontak untuk melihat status teman yang lain. Saya juga beberapa kali me-refresh timeline twitter saya untuk memastikan status tersebut. Tidak ada yang membahas sama sekali. Bbm, mengirim pesan singkat dan menelpon teman yang mungkin tahu kabar, saya lakukan. Beberapa teman yang saya hubungi memastikan bahwa Bang Arif Beldwin benar sudah meninggal dalam kecelakaan travel menuju Jakarta dari Bandung. Saya tak kuasa menahan air mata. Hal yang paling pertama saya ingat adalah tawa almarhum. 

Arif Beldwin Jensen Sihombing, biasa dipanggil Cabul karena konon jika tertawa mukanya mesum. Saya juga kurang tahu sejarahnya. Saya masuk Fisip Unpad pada tahun 2007 dan beliau angkatan 2002 dari jurusan yang berbeda. Cukup jauh. Saat saya masuk, beliau merupakan salah seorang senior yang cukup dikenal di fakultas kami. Kala itu saya menjadi presidium sebuah sidang angkatan dan dia berada tepat di depan muka saya sambil berteriak. Dia gampang diingat dengan tubuh jangkung, kulit putih dan rahang khas orang Batak-nya. Vokal dan galak. First impression saya sebagai seorang mahasiswa baru. Waktu berlalu, saya resmi secara sosial menjadi bagian dari fakultas. Kantin kampus, tempat hampir semua kegiatan di kampus kami lakukan dan merupakan tempat ternyaman untuk melarikan diri dari kuliah yang membosankan. Saya beberapa kali bertemu dengan beliau tetapi masih sebatas menyapa karena masih ada rasa segan dan tidak ingin disebut sok akrab. Tiba saatnya kami menjadi panitia Postmo, sebutan untuk ospek fakultas kami. Saya masuk dalam divisi Logistik, divisi di belakang layar yang memang saya ingin masuki dari dulu. Menjadi panitia itu melelahkan. Apalagi jika ada Latihan Gabungan di mana banyak senior (yang dulunya panitia Postmo) datang untuk mengevaluasi kinerja kami. Mereka disebut swasta. Salah satunya Bang Cabul. Kami bisa begadang sampai subuh untuk kegiatan ini. Push up dan dibentak jadi menu utama di tengah dinginnya malam Jatinangor. Kegiatan ini tidak sepenuhnya menyebalkan. Banyak hal menyenangkan dan inilah yang saya sebut "kegiatan kampus" yang sebenarnya selain mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa, Palawa Unpad dan Unit Sepakbola Unpad kala itu. Dari Postmo ini, saya dekat dengan banyak mahasiswa se-fakultas yang berbeda jurusan baik itu junior, seangkatan maupun senior. Setelah 2 (dua) kali turun menjadi panitia Postmo, berdasarkan peraturan tidak tertulis, kami bisa bergabung menjadi swasta. 

Dari kegiatan Postmo ini saya dan beberapa teman lain yang seangkatan menjadi dekat dengan Bang Cabul.  Di tengah-tengah membentak panitia, kami sesekali ke pojokan barisan yang dibentuk sambil menertawakan tingkah junior yang terkadang konyol. Bertemu di kantin kami tidak hanya saling menyapa tapi mulai saling bercerita. Dia kerap kali mengeluarkan statement atau candaan yang akan membuat kami tertawa terbahak-bahak sampai menangis. Sangat berbeda jika dia menjadi "swasta" pada acara-acara Postmo. Pernah saya iseng bertanya pada beliau "Bul, 2002 udah kan udah pada lulus, kok lo blum lulus-lulus sih? Masih betah ya di kampus? Haha". "Iyalah betah. Ngapain lulus cepet-cepet, masuk kuliah mahal ra, harus dinikmati', katanya sambil tertawa. "Gak sih, sebenernya gue juga pengen lulus cepet. Tapi gue belum kebayang kalo lulus nanti mau jadi apa. Liat ntar ajalah. Lagian masih ada di atas gue yang belum lulus. Tapi ntar lo jangan kayak gue. Kuliah emang enak tapi  tanggung jawab ama orang tua juga buat lulus cepet harus lo inget", katanya menambahkan masih sambil tersenyum. 

Tidak banyak kenangan saya dengan beliau. Tetapi waktu yang saya lewati dengan beliau semuanya penuh dengan tawa. Pernah saat kami sedang bosan sesaat setelah jadi panitia acara kampus untuk mahasiswa baru, dia menghampiri kami dan mengeluarkan banyolan yang membuat kami serentak tertawa. Malam itu jadi malam yang panjang.

Ospek, identik dengan perpeloncoan. Tetapi di Fisip Unpad tidak ada perpeloncoan selama saya menjadi peserta dan panitia. Dimarahi dan dibentak senior pasti ada, tapi that's it. Tidak ada kontak fisik atau perintah yang aneh-aneh. Menjadi mahasiswa Fisip, kami hanya dituntut untuk menjadi orang yang kritis yang tidak boleh menelan mentah-mentah sebuah informasi atau perintah. Harus ada reason yang masuk akal. Begitu juga mengeluarkan pendapat, harus logis dan tidak asal bunyi. Banyak yang menentang ospek. Tetapi kami yang mengalami dan menikmati justru terikat secara emosional karena sesuatu yang bernama ospek. Terserah pendapat orang, inilah yang saya rasakan.

Hujan rintik turun mengiringi kesedihan teman-teman yang ditinggalkan Bang Cabul. Banyak yang kehilangan.  Wajar. Beliau orang baik, hangat dan menyenangkan. Sosok abang dalam arti sebenar-benarnya. Semoga Tuhan Yesus selalu memeluknya untuk ditempatkan terbaik di sisi-Nya. Semoga semangatnya untuk Fisip yang lebih baik selalu menyala di dalam adik-adik yang sekarang meneruskan perjuangan kami. Selamat jalan, Bul. Sampai bertemu di keabadian. Titip salam untuk abang Willson-ku.


Continue Reading...

Sabtu, 15 Juni 2013

Are You Strong Enough?

"You'll never know if you never try". Kalimat yang sering saya dengarkan dan kadang-kadang menjadi pemicu semangat saat ragu. Dulu sekali ketika saya masih SMA, saya melihat iklan di tv di mana seorang wanita muda menggunakan sarung di dalam hutan lebat Pegunungan Bukit Dua Belas, Jambi. Beliau adalah pendiri Sokola Rimba, sebuah sekolah alternatif untuk anak-anak rimba di Suku Anak Dalam. Saya mengagumi wanita tersebut dan ingin menjadi sepertinya suatu saat nanti. Wanita, di hutan menjadi seorang guru dan pendiri sekolah bagi anak-anak yang mungkin bahasa indonesia saja tidak mengerti, bagi saya merupakan sesuatu yang sangat keren.

Takdir mendukung. Siapa sangka, saya masuk ke sebuah organisasi pecinta alam kampus yang ternyata dulu juga merupakan bagian kehidupan mahasiswa beliau. Dalam prosesnya, saya mendengar banyak cerita tentang pengalaman senior-senior saya ketika berada di pedalaman untuk waktu yang lama dan bagaimana mereka bertahan dalam pergaulan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya. Dalam beberapa perjalanan saya juga sempat mengalami hal-hal tersebut tetapi tidak dalam waktu yang lama. Saya merasa bahwa jika nanti saya bekerja, saya tidak akan betah duduk di dalam sebuah ruangan selama berjam-jam dan melakukan hal tersebut berulang-ulang setiap hari. Saya selalu yakin bahwa saya bisa bertahan jika saya ditempatkan di pedalaman dan bergaul dengan masyarakatnya. Saya berpikir bahwa hidup dengan masyarakat dan jauh dari peradaban akan memberi saya pelajaran yang berharga tentang kesederhanaan dan bagaimana bersyukur atas semua nikmat Tuhan dalam kehidupan saya.

Tetapi kenyataan berkata lain. Saya yang baru dua bulan berada di sebuah ibukota propinsi termiskin di Indonesia ternyata tidak bisa menghalau kebosanan dan kejenuhan. Baru dua bulan  dan itu terasa sudah dua tahun. Saya merasa sudah sangat lama berada di sini sambil setiap malam memikirkan kapan saya akan pulang ke rumah atau ke tempat yang ramai dengan banyak hiburan. Lemah sekali. Kemudian saya berpikir lagi, ini kota bro, bukan desa terpencil tanpa sinyal dan jaringan internet. Berada di sini saja sudah tidak tahan luar biasa, bagaimana jika saya tinggal berbulan-bulan di daerah yang jauh dari kota dan tidak terjangkau oleh alat komunikasi. Mungkin setiap malam saya akan menangis memanggil ibu saya.

Hidup di kota besar selama 5 tahun lebih membuat saya terbiasa dengan hal-hal yang bersifat praktis. Saya sudah terbiasa dengan hal-hal yang bisa dengan cepat mengusir kebosanan dan rasa jenuh. Saya kadang-kadang keluar dari zona nyaman dengan mendaki gunung, menyusuri gua, bepergian ke kampung adat dan perjalanan-perjalanan lainnya tetapi hanya dalam hitungan hari dan minggu. Setelah itu saya akan kembali ke kasur empuk dan makan makanan yang ingin saya makan saat itu. Daya tahan saya ternyata baru benar-benar diuji sekarang. Ujian-ujian yang pernah saya lewati ternyata belum seberapa. 

Seseorang pernah berkata "The most dangerous zone is comfort zone". Bagi sebagian orang mungkin ini adalah zona nyaman. Tetapi bagi saya ini adalah zona nyaman yang seringkali tidak nyaman di mana kebosanan dan kejenuhan jadi musuh utama yang sampai sekarang masih saya pikirkan cara untuk menyingkirkannya.
Continue Reading...

Jumat, 14 Juni 2013

Fragment #14

Memulai itu sulit, memulai itu sulit, memulai itu sulit.
Namun dengan segera memulai berarti setengah pekerjaan selesai
Kelapangan jalan hanya diperoleh orang yang bersungguh-sungguh berjuang
dan di malam harinya dia masih terjaga, merenung mengingat kelemahannya
serta memohon kekuatan dari-Nya

Anonymous
Continue Reading...

Fragment #13

Dalam diriku mengalir sungai panjang
darah namanya..
Dalam diriku menggenang telaga darah
sukma namanya..
Dalam diriku meriak gelombang sukma
HIDUP namanya..

Dalam Diriku, Sapardi Djoko Damono
Continue Reading...

Sabtu, 08 Juni 2013

Berbeda

Ada hal-hal yang memang seharusnya diubah dan tidak bisa dipertahankan terus menerus. Perubahan untuk bertahan hidup. Tidak selamanya yang mainstream itu selalu baik. Bahkan kenyataannya, memilih untuk mengikuti mainstream membuat kita harus ikut dalam pemenuhan standar-standar para kaum mayoritas. Di negeri ini hampir sulit untuk menjadi seorang minoritas. Saya sering berpikir bahwa saya berbeda dengan orang lain. Tapi saya baru sadar kalau saya hanya berpura-pura untuk menjadi beda dan selalu ingin sama dengan orang kebanyakan. Hal ini saya lakukan untuk diterima oleh orang banyak. Karena ingin memenuhi standar yang sudah ditentukan, saya menjadi orang yang iri dan dengki dengan orang-orang yang sudah memenuhi standar mereka. Mengapa tidak menentukan standar sendiri saja? Bukankah itu lebih mudah? Tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Hanya berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Menjadi berbeda itu sulit. Padahal berbeda membawa kita pada ketenangan jiwa. Saya pernah mencobanya dan saya gagal. Kali ini saya harus mencobanya lagi karena saya sudah hampir menuju sakit jiwa.
Continue Reading...

About

Blogroll

About