Sabtu, 24 November 2018

Menjawab Pertanyaan 'Kapan Nikah?'

"Marriage is not some fairytale. Selflessness, patience, tolerance, and enduring the hard times together" - Anonymous

Indah ya kata-katanya. Bikin pengen segera dilamar rasanya. Kenapa tiba-tiba bahas nikah sih? Jadi sebenernya udah lama gue pengen bahas ini tapi baru kepikiran. Bukan karena gue udah nikah tapi justru karena gue belum nikah di umur dua puluh sembilan tahun ini. Iya, dua puluh sembilan. Tua ya. Padahal gue masih berasa remaja loh.


Pernikahan jadi salah satu trending topic abad ini barengan sama drama settingan Vicky Prasetyo - Angel Lelga dan Ayu Tingting jadi orang ketiga dalam pernikahan Raffi Ahmad - Nagita Slavina. Ngebahas pernikahan gak pernah serame ini. Saudara dan tante-tante gue dulu ditanyain 'kapan nikah' kayaknya biasa aja deh. Obrolannya sebatas dalam lingkungan keluarga aja. Sekarang beda seiring berkurangnya ranah privasi dan hal-hal yang bersifat privasi ini jadi konsumsi publik. Semuanya salah hape cina murah!

Sejak republik ini berdiri selalu ada standar-standar paten dalam masyarakat mengenai alur hidup seseorang sehingga layak disebut normal. Standar paten ini ngikutin perkembangan zaman walaupun ada sebagian kecil yang ngikutin standar zaman sebelumnya. Standar paten yang gue maksud ini adalah urutan yang harus dilalui oleh seorang manusia yaitu lahir - sekolah - kuliah - kerja - nikah - punya anak - punya cucu - mati. Kalo kelewat satu aja, udah dianggap gak normal terutama bagi tetangga-tetangga yang suka nyinyir. Iya di abad ini, hidup kita ditentuin oleh omongan tetangga dan netizen. Mowgli gak bakal ngalamin hal kayak gini karena gak pake sosial media dan tinggal di hutan. Yang ngomongin paling ibu-ibu monyet yang lagi gelantungan nyari buah. Itu juga kalo bisa ngerti omongannya apa.

Omongan orang lain ini yang kemudian membentuk stigma dan menjadi tekanan tersendiri dalam menjalani hidup yang fana ini. Contohnya gue pada umur segini belum nikah akan dianggap gak normal karena menurut standar (yang dipasang orang-orang) gue harusnya udah nikah. Padahal hukum aja cuma ngatur batas umur minimal orang boleh nikah gak ada batas maksimalnya. Tapi apa mau dikata, omongan citizen dan netizen sekarang lebih tinggi kedudukannya daripada Undang-Undang Dasar 1945. Belum lagi liat foto-foto pernikahan impian di media sosial dan kehidupan orang-orang setelah menikah lengkap dengan hashtag #relationshipgoals. Menurut pengamatan awam gue, tekanan sosial ini yang kemudian mendorong banyak anak-anak muda yang belum melihat kejamnya dunia untuk buru-buru naik ke pelaminan. Kalo kasusnya hamidun gak termasuk di sini ya.

Pengalaman orang-orang dekat gue bikin gue sedikit paham bahwa pernikahan tak seindah yang digambarkan secara visual di media sosial. Pernikahan jauh lebih kompleks daripada itu. Banyak orang di sekitar gue mengalami kegagalan dalam pernikahan karena berbagai alasan. Beberapa juga masih bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia karena berbagai tekanan internal maupun eksternal. Walaupun banyak juga yang tampak bahagia-bahagia aja. Cerita kehidupan orang kan emang beda-beda. Yang gue pengen tekanin adalah membuat keputusan untuk menikah itu sulit bagi beberapa orang. Kesulitan ini dilatarbelakangi oleh berbagai alasan pula. Bisa jadi itu keluarga, keuangan, lingkungan atau bahkan faktor dalam diri sendiri. Sebagian besar orang tentu ingin menikah dan merasakan kehidupan 'normal'. Belum lagi keinginan untuk mempunyai keturunan dari jalur yang halal karena dipanggil 'ayah' atau 'ibu' adalah suatu kenikmatan luar biasa, katanya. Walaupun di sisi lain kepala lagi pusing mikirin harga susu, popok dan pendidikan yang makin menggila. Yang terakhir gak berlaku buat Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie.

Ada juga beberapa orang yang memutuskan untuk tidak menikah dan memilih untuk menjalani hidup sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Orang-orang kayak gini kemudian di-judge 'tidak normal'. Sesungguhnya pengatur hidup ini hanyalah diri sendiri dan Tuhan semata wahai saudara-saudaraku sekalian. Berhentilah mengurusi hidup gadis dan pemuda lajang seperti kami karena timeline tiap orang beda-beda, latar belakang dan keadaan tiap orang pun beda-beda. Kecuali para citizen dan netizen yang budiman mau ngasih duit semilyar dua milyar buat resepsi nikahan dan milyar-milyaran selanjutnya buat menjalani kehidupan setelah pernikahan. Paling gak bisa ngejamin hidup kami minimal kayak Syahrini-lah. Mungkin omongannya bisa dipertimbangkan.
Continue Reading...

Kamis, 22 November 2018

Long Live The Queen, Long May Freddie Reign

"I won't be a rock star. I will be a legend" - Freddie Mercury

Ketebak ya dari judulnya mau ngomongin apa. Iya mau ngomongin film Bohemian Rhapsody yang fenomenal itu loh. Biar blog gue ini ada gunanya dikit. Tapi sebelumnya gue minta maaf kalo ngomongin filmnya ya seadanya karena pengetahuan musik gue gak seberapa dan bukan fans Queen. Gue cuma suka denger lagunya terutama kalo nonton penyerahan piala pasti lo bakal denger lagu "We Are The Champions" menggelegar.

Dalam lakon 'Senja di Langit London'
Nama Freddie Mercury udah gak asing banget pasti buat kita. Bahkan pecinta musik pop atau genre lain di luar rock pasti pernah denger nama ini. Gue sih taunya dia vokalis dari grup band yang jadi legenda. Tau namanya gak inget rasanya (apa sih?). Siapa yang gak tau Queen? Salah satu grup band rock terbaik sepanjang masa yang lagunya masih didengarkan sampe sekarang oleh semua kalangan. Sebagai orang yang bukan fans Freddie maupun Queen dengan pengetahuan musik yang minim, gue cuma suka denger lagu-lagunya. Itupun lagu-lagu yang populer aja kayak "I Want To Break Free", "Don't Stop Me Now", "We Will Rock You", 'Love of My Life" dan tentunya the legendary "Bohemian Rhapsody". Yang terakhir ini khusus gue suka banget sejak dinyanyiin sama Pan!c At The Disco sebagai soundtracknya Suicide Squad. Iya film DC yang overrated itu. Gue gak terlalu peduli proses pembuatan dan arti dari lagunya. Kayak cowok yang taunya cuma pake abis itu ga peduli lagi (pake apa coba?). Lalu muncullah film ini...

tatapanmu maz

kumismu maz
Walaupun gue bukan penggemar Freddie atau Queen, gue ngerasa harus nonton film ini entah kenapa. Kayaknya menarik gitu. Apalagi salah satu castnya Rami Malek, yang tahun 2016 dapat penghargaan Golden Globes Best Performance by Actor in A Television Series dalam perannya di Mr Robot. Jadi aktingnya gak usah diraguin lagi. Dan ternyata penghargaannya gak sia-sia. He should get Oscar in the future. Ditambah lagi mereka ini kan band Britania Raya, udah pasti bakal penuh dengan aksen-aksen British yang suka banget gue dengerin.


ini rami malek loh sodara-sodara. kok sama ama yang di atas. ini pasti konspirasi illuminati!
Dari film Bohemian Rhapsody gue tau kalo Freddie Mercury bukan nama asli dan dia adalah seorang imigran. Cerita tentang dia seorang gay dan mengidap penyakit AIDS lebih sering muncul. Gue juga baru nyadar kalo Freddie se-tonggos dan se-nyentrik itu. Gue paling suka pas Bryan May dan Roger Taylor (anggota Queen yang lain) ragu dia bisa nyanyi dengan gigi kayak gitu, trus dia bales "more teeth more voices". Juara banget deh pedenya mas yang satu ini. Film ini nyeritain dengan mulus gimana Queen mulai eksis di panggung musik rock dan gimana lagu-lagu hits yang ada di playlist gue bertahun-tahun dihasilkan. Siapa yang gak excited coba. Belum lagi liat aksi-aksi panggung Freddie yang fenomenal dan nyentrik bikin kita ngerasa lagi nonton konser indoor sambil duduk dan tanpa teriak atau ngerekam (ya iyalah kan lagi di bioskop, malih). 


kenapa sama? kenapa sama? tim castingnya siapa sik. gemes!
Gue pengen tau deh yang jadi tim castingnya siapa. Kok bisa sih nemu pemeran-pemeran yang mirip banget sama aslinya. Gak cuma pemeran Freddie Mercury, pemeran Bryan May, Roger Taylor dan John Deacon juga gak kalah mirip sama aslinya. Serius deh. Gue juga baru tau kalo buat peran ini Rami Malek kudu les vokal beberapa bulan dan ada tim koreografi khusus buat adegan aksi-aksi Freddie Mercury di panggung. Wajar sih soalnya nyawa filmnya ada di situ. 

Dengan alur yang udah bisa ditebak, merintis karir - sukses - masa kejatuhan - bangkit lagi, (which is gue ga terlalu peduli), film ini ngasih ending yang spektakuler menurut gue. Endingnya adalah penampilan Queen di Live Aid 1985, konser rock termegah sepanjang masa, sebuah konser amal yang ditujukan untuk mengumpulkan dana buat ngebantu penduduk kelaparan di Ethiopia. Live Aid diadakan di Stadion Wembley dan Stadion JFK dengan jumlah penonton puluhan ribu dan berhasil mengumpulkan dana sekitar 200an juta dollar. Sebelum nonton Bohemian Rhapsody gue nyempetin buat nonton penampilan Queen di Live Aid lewat youtube. Gila sih atmosfirnya. Gak kalah kalo Manchester United maen di Wembley. Kalo Man City sih gak mungkin segitu ramenya (tetep). 

And you know what? Beberapa menit terakhir Bohemian Rhapsody jadi salah satu menit-menit terbaik di hidup gue selama nonton film di bioskop. Adegan Rami Malek dkk tampil di Live Aid bikin merinding disko. Settingan film sama asli hampir ga ada bedanya. Gerak gerik mereka di panggung juga hampir sama. Sampe jumlah dan tata letak gelas pepsi di atas piano juga sama. Yang beda adalah feeling yang gw dapet. Gue kan sebelumnya ngeliat pertunjukan itu di youtube trus ngeliat pertunjukan 'yang sama' lagi dengan layar gede dan speaker 'all around you'. Gak tau lagi deh ngegambarinnya. Keren banget. Berasa ada di sana. Pengen ikut nyanyi dan teriak tapi gue takut di 'sssttt-in' sama penonton lain trus dibikinin thread di twitter sama selebtwat trus dihakimi sama netijen (futuristik)

di pilem
aslinya

Jadi begitulah. Hail Freddie Mercury! Long live the Queen!


ps. poto-potonya ambil dari google
Continue Reading...

Stuck In The Middle of Nowhere

"Which way are you gonna take? To the left one where there is nothing right. Or the right one where there is nothing left" - Anynomous

Stuck mungkin bukan kata yang pas buat menggambarkan kondisi gue saat ini. Agak sulit ngejelasinnya. Sesulit Ahmad Dhani kembali ke masa keemasan ketika bersama Dewa 19. Atau sesulit ngomong sama orang yang lagi jatuh cinta padahal udah tau kalo pasangannya itu brengsek. Trus kenapa judulnya gitu? Biar keren aja gitu. Ya udahlah ya.


Di antara pilihan dan kondisi yang sulit mungkin yang paling mendekati. Gue pribadi adalah orang yang jarang memperlihatkan kondisi sulit gue di depan orang apalagi di media sosial. Emang gue siape? Artis? Lagian ya, katanya kalo nyeritain masalah di media sosial itu 30 persen orang mungkin akan bersimpati tapi 70 persen akan ngetawain. I choose not to. Gue akhirnya lebih memilih buat nulis diary (tapi bukan yang dikunci kayak jaman SMP), atau sharing dengan orang-orang dekat gue yang gue yakin 100 persen bakal mendengarkan gue dan paling gak bakal menyemangati gue ngelewatin semuanya. It really helps.

Menyemangati diri sendiri juga jadi cara yang efektif. Berusaha berpikir logis dan mengatakan semuanya baik-baik saja bisa membantu pikiran tetap waras walaupun agak sulit. Tapi apalah hidup tanpa kesulitan. Tsah

Gue juga mencoba melakukan apa yang gue suka. Nonton film yang udah gak terhitung jumlahnya, nonton serial dengan berpuluh-puluh episode, nonton youtube yang konten-kontennya menghibur (thanks to telkomsel yang lagi tumben baik hati jual paket data gede dengan harga murah), maen sosmed, chatting dengan teman-teman terdekat ngomongin hal-hal menarik dan lain sebagainya. Nah di titik ini, you know what i feel? I'm feeling exhausted. Irony isn't it? Hal-hal yang gue suka itu jadi gak menarik lama kelamaan. Semuanya jadi hambar. Paling betenya gue coba nonton film/serial yang genrenya bikin mikir eh gue bisa dong nebak plotnya dengan mudah. Apakah jangan-jangan aku menjadi mastermind dengan kecerdasan yang tiba-tiba meningkat pesat? (efek kebanyakan nonton film).

Gue pikir hobby atau melakukan hal yang disukai itu bisa membawa kesenangan abadi ternyata yang abadi hanyalah ketidakpastian. Hal yang dilakukan berulang-ulang walaupun itu menyenangkan lama kelamaan akan menjadi biasa aja. Ketika bersenang-senang menjadi kegiatan yang rutin dilakukan ternyata bikin gak senang juga. Apa sih maunya manusia ini? Ribet amat.

Benarlah kata para perangkai kata-kata dan filsuf kehidupan bahwa dalam hidup harus ada jeda. Bahwa dalam menulis sesuatu perlu spasi. Menarik diri untuk mengambil napas. Dalam kasus gue mengambil napas dari godaan duniawi yang banyak bikin gue gak bernapas dengan baik apalagi ketika liat Tom Ellis telanjang dada dan cuma pake sempak di serial Lucifer. 

Gue akhirnya mengambil jeda dari kesenangan dengan melanjutkan tesis yang rasanya gak selesai-selesai. Gue mempekerjakan otak lebih keras yang selama ini dimanjakan oleh otot-otot Stephen Amell saat jadi Green Arrow ataupun dunia nyata (Guys, you must see his muscles. So damn perfect!). Selama ini gue ngerasa gak menggunakan secara maksimal otak gue mengingat pernyataan Einstein kalo manusia belum menggunakan kapasitas otaknya secara maksimal. Masih banyak space yang belum kepake (kecuali sebagian pendukung capres yang otaknya kopong ataupun kalo ada gak mau dipake. Dijadiin aksesoris doang). Dan kalian tau gimana hasilnya? Tesis gue belum beres-beres juga padahal deadline-nya udah deket. Pengetahuan gue nambah dikit-dikit tapi gak signifikan. Trus gue merasa exhausted lagi. Gitu aja terus sampe Ariana Grande nyanyi koplo dari panggung ke panggung. 

Lelah gak sih dalam lingkaran setan begini? Kalian yang baca aja mungkin lelah apalagi kalo ngalamin. Ada beberapa pilihan sih yang muncul di kepala gue biar gak terkungkung dalam ke-stuck-an yang tak berguna ini. Mungkin gue butuh piknik ke luar angkasa. Atau nginep di rumah David Beckham semalam, tidur-tiduran dan bicara dari hati ke hati. Bisa juga ke Korea Utara buat liat proses pembuatan nuklir sambil ngopi-ngopi cantik sama Kim Jong Un. Pilihan lain masih gue pikirin. Buat sementara gue kuat-kuatin dulu buat menjalani lingkaran setan ini dengan sepenuh hati dan senyuman. Gue kan anaknya positive thinking banget, yang lama-lama exhausted dan akhirnya suka negative thinking. Lah? 
Continue Reading...

Senin, 08 Oktober 2018

Haters Gonna Hate

"Hate is a weak emotion, a sign of failure" - Anonymous

Gue lagi suka-sukanya nonton drama korea. Iya drama korea. Kalian gak salah baca kok. Nontonnya berbagai genre, mulai dari rom-com sampe yang thriller. Dulu gue skeptis kirain drakor itu alay dan gak bermutu tapi ternyata gue salah besar. Kalo pemilihan dramanya bener gue yakin kalian bakalan pada suka. Banyak yang nonton drakor karena pemainnya tapi gue lebih ngeliat jalan ceritanya. Gak apa-apa tampang pemeran utamanya biasa aja yang penting ceritanya seru. Tapi gue gak bakalan ngomongin drakor di sini. Gue cuma teringat salah satu judul episode dari drakor yang gue tonton yang bilang "Kita tidak bisa melakukan apa-apa terhadap orang yang kita benci". Iya, bahkan bukan judul dramanya tapi judulnya episodenya. Gue emang terkadang detail di saat-saat tertentu. Lebih banyaknya sih engga.

Menurut salah satu blog yang gue baca kebencian itu sudah jadi bagian dari sejarah manusia. Bahkan sudah dimulai sejak awal peradaban manusia dalam cerita Alkitab. Salah satu yang menjadi pemicu kebencian adalah kecemburuan. Buat yang baca Alkitab pasti tau cerita Kain dan Habel, anak dari Adam dan Hawa. Kain tega membunuh adiknya Habel karena cemburu. Gak salah kalo akhirnya kebencian dibilang sebagai penyakit hati dan penyakit itu ada sampai sekarang. Selain kecemburuan, ketidaksamaan pandangan dan berdiri atas kebenaran yang kita pegang tanpa melihat fakta yang ada kadang juga menjadi sumber kebencian. Kita pada dasarnya ingin didengarkan dan berharap orang lain setuju dengan jalan pikiran maupun tindakan kita. Pada saat orang tersebut tidak sepakat atau tidak sejalan kita akan mudah untuk tidak suka. Ketidaksukaan inilah yang kemudian berkembang menjadi kebencian.

Siapa yang pengen dibenci? Kayaknya gak ada. Kecuali publik figur yang nyari kontroversi biar tenar kali ya. Mereka lebih suka dibenci biar banyak yang ngomongin dan akhirnya mereka dapat untung dari situ. Makin banyak yang benci, makin tenar, makin tebal kantongnya. Begitu plot twist-nya. Tetapi gue yakin dalam hati kecil mereka juga ada rasa gak enak saat dicaci dan dimaki. Pasti banget.  Karena sifat dasar manusia kan pengen disukain banyak orang. Ini pendapat awam gue. Gue aja yang baca komenan netijen di sosmed ngehina dan ngecaci tokoh yang gak disukain kadang mikir "kok bisa sih manusia ngeluarin ujaran kebencian sampe segitunya". Kebayang kan mereka yang diserang dengan komen-komenan kayak gitu. Masa iya sih gak nancep sama sekali di hati? Kecuali mereka milih buat gak baca. 

Trus gimana kalo kita ngerasa udah biasa-biasa aja tapi masih ada yang benci? Ya bisa jadi balik ke poin pertama tentang akar kebencian paling umum, kecemburuan. Kita ngerasa biasa-biasa aja tapi ada orang yang ngerasa itu gak biasa-biasa aja. Apalagi kita sama sekali gak ngusik kehidupan dia dan apa yang kita lakukan gak pernah ngerugiin hidup dia secara materi ataupun moral. Kalo udah gini tapi tetep ada yang ngebenci ya bisa jadi orangnya emang punya penyakit mental.

Gue pribadi gak pernah kebayang sih bakal punya haters. Tapi nyatanya kehidupan yang gue jalani selama hampir dua puluh sembilan tahun ini emang gak mulus dan gue bukan orang sempurna yang bisa bikin semua orang senang. Gue juga pasti pernah punya salah dan bikin orang gak suka. Menurut gue masih wajar. Kalo ada orang yang benci karena alasan-alasan gak jelas dan gak bisa diterima akal sehat, ya mau gimana. Ngapain harus mikirin orang yang punya penyakit mental, ye kan. 

Kalo di atas bilang "kita tidak bisa melakukan apa-apa terhadap orang yang kita benci", buat gue "kita tidak bisa melakukan apa-apa terhadap orang yang benci pada kita". Susah buat sembuhin penyakit hati dan mental orang lain. Kecuali orangnya dapat hidayah trus langsung punya hati kayak malaikat. 

Terus terang, kadang gak enak hati kalo denger omongan haters. Tapi kita mau ngapain? Ngelabrak? Udah gak jaman sih. Apalagi kalo orangnya emang gak penting dan alasan dia ngebenci juga gak jelas. Jadi harus gimana? Tetap jalani hidup, semaksimal mungkin berbuat baik, berusaha yang terbaik biar jadi orang sukses dan fokus sama orang-orang yang sayang sama kita. Haters gonna hate.


Continue Reading...

Senin, 24 September 2018

Menemui Tuhan di Gunung Lawu

"Mountains are the cathedrals where I practice my religion" - Anatoli Boukreev

Sekitar tiga tahun sejak terakhir saya mendaki gunung. Ada beberapa kali rencana untuk mendaki gunung tapi dibatalkan karena kalah oleh kemalasan dan berbagai alasan. Dari dulu saya memang lebih memilih naik gunung bersama orang-orang yang sudah saya percaya. Tempat saya bisa mempercayakan kenyamanan dan nyawa saya selama perjalanan selain tentunya kepada Yang Kuasa. Di lain pihak, saya juga sudah tidak membeli perlengkapan kegiatan outdoor. Yang tersisa hanya perlengkapan-perlengkapan pribadi yang dibeli beberapa tahun lalu dengan harga yang terhitung mahal namun masih awet sampai sekarang. Hal ini tentu saja karena pertimbangan di masa lalu bahwa mungkin saja saya masih akan naik gunung sewaktu-waktu jadi harus beli perlengkapan yang tahan lama.

Tim pengkor. Pengkor karena turunan edan
 Ajakan naik gunung kemudian datang di awal bulan April dari seorang senior saya di Palawa Unpad (organisasi pecinta alam mahasiswa Unpad) ke Gunung Lawu, gunung yang katanya paling angker se-Indonesia. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Alasan utamanya tentu saja karena saya butuh piknik dan sudah lama saya tidak mendaki gunung. Masalah kuat atau tidak kuat masalah nantilah, kata saya meyakinkan diri sendiri. Selidik punya selidik ternyata ajakan senior saya ini juga karena penasaran setelah membaca buku karangan Dewi Lestari yang terbaru berjudul "Aroma Karsa". Buku yang memang saya rencanakan untuk dibaca jauh sebelum ajakan ini. Ajakan ini mempercepat saya menyelesaikan buku ini. Tidak butuh waktu lama untuk membaca buku-buku Dewi Lestari. Cara bercerita dan diksi-diksinya membuat saya membaca bukunya tidak lebih dari dua hari. Dewi Lestari memang jenius. Review bukunya bisa dilihat di banyak tulisan. Tapi yang paling penting, Gunung Lawu menjadi salah satu pusat cerita dalam buku ini dan memang mengundang rasa penasaran. Kami bergurau bahwa perjalanan ini akan menjadi sebuah perjalanan spiritual. Candaan itu tidak sepenuhnya salah.

Jika banyak orang naik melalui jalur Cemoro Sewu, kami (berjumlah enam orang) naik melalui jalur Cemoro Kandang yang lebih santai meskipun memakan waktu yang lebih lama. Perjalanan ini bukan untuk berlomba mencapai puncak. Perjalanan ini adalah piknik jadi kudu dinikmatin. Ye gaaa?

Cemoro Kandang. Pehape. Kirain jalannya gini semua

Puncaknya terlihat dekat tapi nyatanya jauh. Semangat tuan!
Pada teman-teman yang budiman saya ingatkan bahwa olahraga memang sangat penting jika masih ingin berkegiatan di alam bebas. Baru sekitar dua jam perjalanan, saya rasanya sudah ingin balik badan dan pulang. Capek gila! Walalupun saya akui bahwa berat badan yang terus-terusan bertambah ditambah beban di carrier juga berpengaruh pada kelelahan ini. Belum lagi kedua kaki saya bergantian keram selama perjalanan naik ke tempat kami akan membangun tenda hari itu. Untunglah saya pernah ikut pelatihan dasar pecinta alam yang selalu mengingatkan saya bahwa segala sesuatu pasti ada akhirnya oleh karena itu saya harus tabah dan terus melangkahkan kaki. Terlalu dramatis? Iya sih. Tapi bener deh, jarang olahraga bisa separah ini efeknya. Saya sepanjang jalan berjanji dalam hati akan sering olahraga begitu saya pulang. Kenyataannya? Kalian bisa tebak sendiri hahahaha.

Butuh sekitar delapan jam untuk tiba di tempat peristirahatan kami yang pertama. Agak meleset sedikit dari target tapi tidak jadi masalah besar. Kami bisa melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Jalur yang kami pilih ini memang tidak salah digunakan sebagai jalur santai. Selain tidak terlalu terjal, pemandangan sepanjang jalannya luar biasa bagus. Kami sangat beruntung diberikan cuaca bagus sore itu. Mulut saya juga sempat menganga ketika melihat pemandangan spektakuler saat matahari terbenam. Bagaimana ya menggambarkannya. Cakrawala tampak sangat jelas menjadi pemisah antara langit dan yang di bawahnya. Matahari juga tidak malu-malu untuk memperlihatkan perpaduan warna oranye, kuning dan coklat yang terang sebelum digantikan malam. Sementara angin tidak malu-malu bertiup seakan bersorak mengiringi tenggelamnya surya. Sore itu serasa magic dan saya merasa beruntung.

Tuhan Maha Besar
Sepanjang jalan kami juga diikuti oleh dua ekor burung jalak Lawu yang katanya hanya hidup di gunung itu. Kembali ke Aroma Karsa, menurut cerita Dewi Lestari burung tersebut adalah penjelmaan Banaspati, yaitu mereka yang menjadi pengawal penjaga sebuah desa tersembunyi bernama Dwarapala. Masyarakat sekitar percaya bahwa burung tersebut adalah penunjuk jalan sehingga tidak boleh diganggu. Sepanjang jalan saya tersenyum membayangkan mereka berbicara dan mengawasi tindak tanduk kami serta bereaksi jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Terik matahari yang mengiringi langkah ke puncak tidak menyurutkan tekad kami untuk tiba di atas dan berfoto. Sebuah keharusan tidak tertulis dalam dunia petualangan jaman now sebagai bukti eksistensi. Puas berfoto kami kembali untuk mengambil barang dan mulai turun menggunakan jalur yang lain yaitu jalur Candi Cetho. Perjalanan pulang terasa lebih lama. Menuruni gunung tidak lebih mudah daripada naik karena semuanya tergantung pada kekuatan lutut. Didominasi oleh hutan, jalan menuju kaki gunung terasa sangat panjang dan suasana terasa mistis. Dekat dari pos terakhir di jalur ini, ada sebuah dataran yang dipenuhi batu-batu tersusun rapi ke atas. Bau kemenyan sangat menyengat dan beberapa dari antaranya masih baru. Pemeluk Hindu banyak melaksanakan kegiatan spiritual di puncak Gunung Lawu dan Candi Cetho sendiri merupakan salah satu jejak peninggalan umat Hindu di masa lalu.

Foto pembuktian kepada netijen kalo udah tiba di puncak
Di salah satu tempat kami beristirahat menjelang maghrib, kabut tiba-tiba muncul di antara  pohon-pohon dan sempat membuat kami merinding sesaat. Saya sempat berpikir jika saya melewati kabut itu, mungkin saja saya sudah tiba di dunia 'lain'. Pikiran yang saya dapat karena membaca beberapa tulisan dan mendengar cerita-cerita tentang Lawu. But don't try this. It's dangerous. Dalam pendakian gunung, akal sehat adalah hal yang paling penting agar bisa pulang dengan selamat.  Berdoa dan menyebut nama Sang Pencipta juga ampuh untuk menenangkan hati.

Jalur Candi Cetho. Awal dari segala ke-pengkor-an
It's a long road beibeh
Saya mengalami cedera kaki saat melakukan perjalanan turun sehingga perjalanan tersebut terasa semakin lama. Perjalanan yang dimulai sore hari itu berakhir tengah malam. Tanpa mempedulikan dingin yang menusuk tulang, saya mengguyur badan dan membersihkannya malam itu. Kami beristirahat malam itu di pos pendaftaran yang memang kebetulan menyiapkan tempat peristirahatan untuk para pendaki yang baru tiba ataupun yang sudah turun melalui jalur Cetho. Pagi hari saat hendak kembali ke Solo, kami melewati beberapa candi yang dipenuhi oleh wisatawan maupun umat Hindu yang sedang berdoa. Rasanya seperti sedang berada di Bali. Siapa sangka ternyata Lawu menyimpan banyak cerita menarik.

Apakah saya menyesal? Tentu saja tidak. Perjalanan tersebut adalah salah satu perjalanan yang menakjubkan. Perjalanan yang membawa saya kembali pada memori masa lalu, perjalanan yang dipenuhi prasangka dan perasaan yang tidak biasa. Perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan melalui kata-kata. Satu hal yang pasti, saya tahu Tuhan ada di Gunung Lawu hari itu.

Continue Reading...

Senin, 07 Mei 2018

Infinity War; Perang Patah Hati

"No one can win every battle. But no man should fall without a struggle" - Peter Parker

Gue suka nonton film tapi kayaknya gak pernah se-excited ini nungguin film. Kayaknya loh ya. Seinget gue ini mah. Seingat gue juga, gue baru kali ini nonton film di bioskop di hari pertama penayangan di jam pertama pulak! Demi kalian dan si buah hati wahai mas mas superhero. Gue paling males harus 'berdesak-desakan' di bioskop demi film yang lagi hype biar dibilang up to date apalagi kalo bela-belain nonton di hari pertama dengan resiko dapet tempat duduk di row depan. Let me tell you, i have once nonton di row depan dan itu gak ada enak-enaknya! Yang ada pulang-pulang sakit mata dan sakit leher. Untungnya niat mulia kali ini diberkati dan gue dapet duduk di row paling belakang. Jodoh emang gak ke mana. Niat mulia ini juga didorong kondisi dunia jaman sekarang di mana orang ngerasa dirinya gaul kalo update adegan film lewat instastory atau fitur media sosial lainnya pas di bioskop. Gue gak pernah masalah kalo kena spoiler tapi buat yang ini gue gak mau.

Movie of the decade
Setelah 10 tahun sejak penampilan pertama Robert Downey Jr jadi Iron Man, Marvel Cinematics Universe bikin film tentang perang besar yang di dalamnya gak cuma enam anggota Avengers tapi hampir semua jagoan MCU. Yang paling bikin excited lagi, kapan lagi gue liat triple Chris (Evans, Hemsworth, Pratt) dalam satu film trus liat Benedict Cumberbatch (Doctor Strange) adu akting sama bos songong RDJ (Iron Man). Belum habis kegaguman gw sama tokoh Black Panther dan Wakanda things-nya, ini mau gabung juga. Baru baca berita-beritanya aja udah heboh gak karuan deh. Belum lagi gue diracunin sama anggota grup freak gue (yang gak abis-abis bahan obrolannya kalo ngomongin film) buat nonton video-video youtube interview cast-cast-nya yang bikin ngakak, gemes dan horny dalam satu waktu. Pembahasan tentang Avengers; Infinity War ini hebohnya cuma bisa disaingi sama berita Donald Trump jadi presiden USA gue rasa. Perang besar lawan musuh terkuat, Thanos, yang cuma muncul seiprit-iprit di post credit scene, dan jagoannya ngumpul banyak bangeeettt. SIAPA YANG GAK EXCITED COBAAAA...

Nikmat Tuhan mana yang hendak kau dustakan
Jadi penonton udah dikasih tau tentang jalan cerita Infinity War ini. Kalo yang nonton film-film Marvel dari awal pasti udah bisa ngebaca dari awal kalo ada penjahat kuat berwarna ungu yang lagi ngumpulin Infinity Stones (batu yang punya kekuatan beda-beda dan luar biasa) buat nguasain dunia (tujuan tidak kreatif dari sebagian besar villain). Tapi ternyata tujuannya bukan itu hahaha. Gue yang emang gak kreatif, lupa bahwa setiap orang punya tujuan berbeda-beda dalam hidupnya, termasuk Thanos. Jadi doi ngumpulin Infinity Stones biar punya kekuatan buat memusnahkan setengah dari semesta secara acak demi keseimbangan. Mantap djiwa! Sungguh villain yang sangat peduli kepada semesta dan isinya. Bravo.

Bintang utama kita
Gue ama temen-temen setelah nonton film ini becanda kalo judulnya gak cocok sama filmnya. Film ini cocoknya diganti judul jadi "The Life Story of Thanos" atau "The Perks of Being Thanos" atau "Keeping Up With Thanos". Kenapa begitu? Karena dia yang paling banyak muncul di film ini dalam usahanya buat ngumpulin Infinity Stones. Belum lagi sisi emosional dia yang dimunculin. Menurut gw sih ini beda banget. Kapan lagi liat villain muka serem warna ungu netesin air mata. Gila  deh pokoknya.

Obrolan-obrolan sebelum film ini juga tayang berkisar tentang siapa jagoan yang bakal mati. Gue sebagai penggemar Captain America dan Thor, dua dari Trinity Avengers, gue udah menyiapkan hati kalau-kalau mereka nantinya mati. Prediksi gue anggota-anggota Avengers 'old' bakal banyak yang mati dan tugas mereka digantikan sama anggota-anggota 'new' kayak Black Panther, Spiderman, Scarlet  dan lain-lain. Tapi Russo bersaudara yang jadi sutradara film ini gak sedangkal gue pikirannya. Prediksi gue banyak yang melenceng walaupun ada yang bener (seiprit). Orang-orang yang gue kira bakal bertahan buat menjaga dunia dan semesta ternyata ada yang mati. Kan kampret. Patah hati eike.

Adegan lucu khas MCU sih masih ada beberapa dan bikin ketawa apalagi bagian Thor ketemu sama Guardian of the Galaxy, kumpulan orang-orang tolol yang lebih cocok jadi pelawak daripada superhero hahaha. Adegan berantemnya gak usah ditanya. Banyak (ya iyalah kalo gak banyak berantemnya bukan war namanya). Porsi tiap jagoannya muncul juga berimbang. Gak ada yang mendominasi atau lebih banyak daripada yang lain. Yang lebih banyak dari yang lain ya mas Thanos tadi itu.

Mas captain, sini aku cukurin jenggotnya ❤
Kalo gue pribadi sih puas banget sama film ini, gak tau kalo Bunda Maia. Keren walaupun menyisakan shock dan patah hati. Gak cuma itu, film ini juga menyisakan rasa penasaran panjang karena ternyata ada lanjutannya di Avengers 4 yang kabarnya bakal dirilis tahun 2019. Bangkek. Padahal awalnya gue pikir Infinity War ini udah yang terakhir. Lagi-lagi pikiran gue dangkal banget. Bangkek.

Tatapan yang menertawakan kedangkalan pikiran gw *tabok*



Continue Reading...

Rabu, 04 April 2018

Bertemu Idola Tak Selamanya Indah

"He is just a person you love but will never be yours"

Awal tahun 2000an merupakan tahun-tahun penting dalam fase kehidupan saya. Bisa dibilang itu masa-masa perubahan saya dari anak-anak menjadi remaja tanggung. Dalam istilah kerennya disebut puber. Saat itu saya sudah mulai mengenal cinta walaupun masih cinta(nya) monyet dan mulai ngefans sama artis atau pun tokoh-tokoh terkenal. Tahun 2000 juga awal saya mulai suka nonton bola karena pada tahun itu ada perhelatan kompetisi sepakbola se-daratan Eropa yang dikenal dengan Euro. Prancis sebagai tuan rumah keluar jadi pemenang. Tapi bukan Zinedine Zidane yang menjadi perhatian saya, namun kapten timnas Inggris berkepala botaklah yang mencuri hati saya dengan umpan lambung dan tendangan bebasnya. Saat itu saya hanyalah seorang remaja polos yang suka pada seorang pemain sepakbola yang sangat enak dipandang. David Beckham, menjadi cinta pertama saya dalam dunia lapangan hijau ini.

Cinta pertamaque
Tahun berlalu, saya menjadi fans Juventus dan sekarang setia menjadi fans Manchester United. Yang terakhir tentu saja karena faktor Si Cinta. Man United kemudian menjadi persinggahan hati lain dan tidak bisa saya tinggalkan begitu saja walaupun Si Cinta sudah berpindah klub tidak lama sejak pandangan pertama itu. Perpindahan klub Si Cinta juga tentu saja tidak menyurutkan hasrat saya padanya. Saya akui cinta pertama saya ini berbasis pada nafsu (memiliki dan nasfsu yang lainnya). Dan saya sependapat dengan jutaan wanita maupun pria di luar sana, bahwa semakin tua, Si Cinta semakin gagah saja. Seperti buah mangga berwarna kekuningan menggantung di pohon yang semakin matang semakin bikin ngiler. Bikin rahim ini bergetar setiap memandangnya (lewat layar tv ataupun hp).

Menjadi seorang fans seorang pesohor tingkat internasional, pastilah berharap suatu saat idolanya datang ke negara sendiri karena kalau mau mengejar Si Cinta sedikit sulit. Hal ini tentu saja disebabkan kondisi kantong dan tabungan yang tak sinkron dengan keinginan. Tahun 2011, harapan itu terkabul. Si Cinta dan timnya LA Galaxy akan datang melakukan pertandingan persahabatan di Indonesia. Sayangnya saya tidak bisa datang menemui Si Cinta karena ada tugas negara ke negeri seberang yang tidak bisa saya tahan godaannya. Inilah hidup, penuh pilihan sulit dan akhirnya sayapun harus menahan sakit hati melihat tangan seorang artis Indonesia menyentuh wajah Si Cinta dengan tidak senonoh. Namun, harapan tidak pernah pupus. Saya yakin suatu saat Si Cinta akan datang lagi ke negeri yang orangnya lucu-lucu ini.

Awal tahun ini, kabar kedatangan Si Cinta mulai ramai lagi dan saya berdoa di dalam hati semoga tidak dihadapkan lagi pada pilihan sulit. Kemudian takdir berkata inilah saatnya melihat idola saya dari dekat, syukur-syukur kalau bisa foto bareng buat dipamerkan di media sosial dan kepada ibu saya yang dulu menolak keras pemasangan poster Si Cinta berpose seksi tanpa baju di dinding kamar. Syukur-syukur juga kalau saya kalau bisa dipeluk atau bahkan dicium di bagian mana saja (Ini mah bukan syukur-syukur lagi tapi rejeki nomplok).

Kali ini Si Cinta datang sebagai brand ambassador sebuah perusahaan asuransi dan kabarnya akan bermain bola dengan timnas di GOR Soemantri, Kuningan Jakarta. Padahal peduli setan sih dia mau datang sebagai apa yang penting bisa ketemu *nyolot*. Saya bersama beberapa sahabat yang sudah punya tiket masuk menunggu dengan harap-harap cemas, tentunya dengan setelan jersey maupun kaos yang berbau Si Cinta. Di lain pihak, ternyata bukan hanya kami yang excited akan bertemu idola. Ratusan orang juga tampak nervous padahal sekedar foto bareng saja rasanya bakal sulit.

Kemudian waktu itu tiba.....

Seorang pria tampan dengan badan atletis turun dari mobil mewah hanya menggunakan t-shirt hitam polos dan celana serta sepatu yang tampak biasa-biasa saja. Tapi dalam kacamata saya itulah ciptaan Tuhan paling sempurna yang pernah ada *duh nulis ini kok deg-degan sendiri ya ngingetnya*. Dia berjalan dengan gagah dan pasti sambil melempar senyum pada orang-orang yang meneriakkan namanya. What can i say, guys. Senyumnya seperti mantra sihir yang bikin perasaan saya tidak karuan dan tidak bisa mengucapkan apa-apa. Senyuman Si Cinta mengandung senyawa yang bisa membuat jantung berdegup kencang, tangan gemetaran, lidah kelu dan bagian-bagian sensitif ikut berdenyut. Sungguh, Si Cinta tak ada bandingannya dengan manusia lain di muka bumi ini. Beruntunglah Victoria Adams yang bisa memeluknya kapan saja dia mau. Oh that lucky bast*rd. I hate her. 

So close. Tapi tanganku tak mampu menggapainya
Tapi hasrat tetaplah hasrat. Pertemuan sore itu menyisakan lubang besar di hati saya. Sepertinya ada yang kurang. Rencana gila saya untuk berlari ke lapangan dan memeluk Si Cinta walaupun beresiko diamankan petugas tinggallah rencana. Ternyata bertemu idola tidak selamanya indah. Gimana sih rasanya saat hanya berjarak sekian meter tapi memegang sehelai rambutnya saja tidak bisa. Pedihnya terasa sampai ulu hati dan otak. Apalagi setelah itu beberapa artis memamerkan foto bareng dengan Si Cinta pada acara keesokan harinya. Juga ada foto ibu-ibu dan seorang siswa SMP bernama Sripun yang langsung viral karena bisa bersentuhan dengan Si Cinta. Saat itu saya merasa hanyalah sebutir debu yang nempel di sepatu dek Sripun. Debu yang pengen nempel di sepatu Mas David saja tak bisa.

Beraninya mereka tertawa di atas penderitaanku!
Bhay david bhay!!
 (pic by : saingan berat dlm dunia per-beckham-an)
Continue Reading...

Rabu, 21 Februari 2018

Black Panther; Superhero dengan Kearifan Lokal

"Guns... so primitive" - Okoye

Setelah kemarin pengen review Thor Ragnarok trus gak jadi karena gue (sok) sibuk, sekarang gue pengen menumpahkan perasaan gue setelah nonton Black Panther. Maafkan aku ya mas Thor. Bukan berarti ku tak mencintaimu tapi apa daya kemalasan ini menguasaiku.

Black Panther di layar lebar seinget gue pertama kali dikenalkan pas film Captain America: Civil War. Di situ diceritain Raja Wakanda (salah satu negara di Afrika), T'Chaka, meninggal dalam serangan bom di depan anaknya sendiri, T'Challa. Serangan yang dituduhkan sama 'Bucky' Barnes, sahabatnya abang ganteng gue Steve Rodgers aka Captain America. Serangan ini salah satu penyebab retaknya hubungan Tony Stark dan mas Steve, ya tentunya ditambah cerita suram masa lalu mereka. Dari awal sih gue udah jatuh cinta sama kostumnya mas Black Panther. Menurut gue salah satu kostum terbaik di antara kostum superhero Marvel. Yes, black is beautiful. Bukan cuma kostum Black Panthernya tapi juga baju kokonya T'Challa. Coba dicek, gue yakin udah ada di Tanah Abang itu. Bisa buat persiapan lebaran, bro.

open order sist kostumnya
udah ada yang jual online. Damn, i love indonesia!
Film Black Panther sengaja dikeluarin sebelum Avengers: Infinity War gue rasa sih buat perkenalan, buat ngasih liat jagoan-jagoannya Wakanda yang bakal ikut perang besar lawan Thanos (duh nulis ini aja udah super excited, gak sabar). Gue akuin, filmnya Marvel gak ada yang ngecewain sih dan pasti jadi box office. Black Panther jadi film superhero antimainstream karena hampir semua pemerannya berkulit hitam. Meskipun ada Martin Freeman yang berperan sebagai John Watson eh Agent Ross yang diselipin buat jadi pemanis biar keliatan kalo ini film Hollywood (suudzon). Jadi kita nonton filmnya bukan karena pemerannya cakep atau cantik tetapi karena mereka emang keren. Salut deh ama tim castingnya yang berhasil ngumpulin aktor/aktris kulit hitam sebanyak itu dan mantap-mantap.

Diceritakan kalo Wakanda di masa lalu dapat berkah kejatuhan vibranium (logam terkuat di dunia) di seluruh wilayahnya yang bikin negara ini super kaya raya. Tapi karena gak mau ketauan dan dijajah sama bangsa lain jadi negaranya disembunyiin gitu. Kamuflase jadi hutan belantara. Kebayang kalo jalan-jalan ke sana gak bisa foto-foto. Kalopun udah foto-foto gak bisa update di instagram. Gak recommended buat penggiat sosmed. Pas dikasih liat kondisi Wakanda yang makmur, gue jadi ngebayangin seandainya semua negara Afrika kayak gitu. This world will be a better place for them.

african dreams
african that we used to know
Diceritain juga kalo Wakanda punya teknologi paling canggih sedunia. Ya karena punya sumber daya berupa vibranium itu. Ngeliat teknologi yang dipakai di Wakanda, lo bakal mikir, USA who? Kita juga bakal dibikin jatuh cinta sama kostum-kostum khas Afrika yang unik-unik banget. Kita juga disuguhi sama ritual-ritual khas Afrika yang juga unik. Kerennya lagi, jenderal sama pasukan elitenya semua cewek! Jarang-jarang kan. CGI-nya gak usah ditanyalah ya. Marvel udah jagonya bikin adegan berantem jadi kayak beneran padahal itu gak beneran. Oi, DC Studios, denger tuhh. 

Plotnya juga oke dan buat gue sih gak membosankan, gak tau kalo mas anang. Walaupun gue udah bisa nebak pas T'Challa berantem sama Erik Killmonger di air terjun, T'Challa bakal kalah trus tahtanya direbut. Skill nebak plot gue udah mulai terasah akhir-akhir ini. Coba skill nebak gue kepake buat tau isi kepala dosen pas bimbingan tesis (yailah, curhat). Udah pernah gue bilang sebelumnya kalo cerita superhero pada dasarnya sama kayak film Bollywood, jagoan kalah duluan.

Peran yang menarik juga buat gue itu adeknya T'Challa, Princess Shuri. Karakternya iseng, lucu dan jenius. Siapa sangka laboratorium Wakanda yang super canggih itu otaknya ada di dia. Nanti gedean dikit bisalah ngalahin om Tony Stark. Moga aja ntar Infinity War muncul lebih banyak ya dek. Kakak suka.
good job, dek *sok akrab*
Apalagi ya... hmm... film Black Panther, si superhero dengan kearifan lokal ini layak banget ditonton kok. Bagus banget. Bikin pengen ke Afrika. Abis ini cek coba siapa tau ada open trip ke Wakanda. Tapi ya itu tadi gak bisa foto-foto apalagi upload di sosmed. Gak bisa eksis deh. Bhay!
Continue Reading...

About

Blogroll

About