Sabtu, 15 Juni 2013

Are You Strong Enough?

Share it Please
"You'll never know if you never try". Kalimat yang sering saya dengarkan dan kadang-kadang menjadi pemicu semangat saat ragu. Dulu sekali ketika saya masih SMA, saya melihat iklan di tv di mana seorang wanita muda menggunakan sarung di dalam hutan lebat Pegunungan Bukit Dua Belas, Jambi. Beliau adalah pendiri Sokola Rimba, sebuah sekolah alternatif untuk anak-anak rimba di Suku Anak Dalam. Saya mengagumi wanita tersebut dan ingin menjadi sepertinya suatu saat nanti. Wanita, di hutan menjadi seorang guru dan pendiri sekolah bagi anak-anak yang mungkin bahasa indonesia saja tidak mengerti, bagi saya merupakan sesuatu yang sangat keren.

Takdir mendukung. Siapa sangka, saya masuk ke sebuah organisasi pecinta alam kampus yang ternyata dulu juga merupakan bagian kehidupan mahasiswa beliau. Dalam prosesnya, saya mendengar banyak cerita tentang pengalaman senior-senior saya ketika berada di pedalaman untuk waktu yang lama dan bagaimana mereka bertahan dalam pergaulan masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan budaya. Dalam beberapa perjalanan saya juga sempat mengalami hal-hal tersebut tetapi tidak dalam waktu yang lama. Saya merasa bahwa jika nanti saya bekerja, saya tidak akan betah duduk di dalam sebuah ruangan selama berjam-jam dan melakukan hal tersebut berulang-ulang setiap hari. Saya selalu yakin bahwa saya bisa bertahan jika saya ditempatkan di pedalaman dan bergaul dengan masyarakatnya. Saya berpikir bahwa hidup dengan masyarakat dan jauh dari peradaban akan memberi saya pelajaran yang berharga tentang kesederhanaan dan bagaimana bersyukur atas semua nikmat Tuhan dalam kehidupan saya.

Tetapi kenyataan berkata lain. Saya yang baru dua bulan berada di sebuah ibukota propinsi termiskin di Indonesia ternyata tidak bisa menghalau kebosanan dan kejenuhan. Baru dua bulan  dan itu terasa sudah dua tahun. Saya merasa sudah sangat lama berada di sini sambil setiap malam memikirkan kapan saya akan pulang ke rumah atau ke tempat yang ramai dengan banyak hiburan. Lemah sekali. Kemudian saya berpikir lagi, ini kota bro, bukan desa terpencil tanpa sinyal dan jaringan internet. Berada di sini saja sudah tidak tahan luar biasa, bagaimana jika saya tinggal berbulan-bulan di daerah yang jauh dari kota dan tidak terjangkau oleh alat komunikasi. Mungkin setiap malam saya akan menangis memanggil ibu saya.

Hidup di kota besar selama 5 tahun lebih membuat saya terbiasa dengan hal-hal yang bersifat praktis. Saya sudah terbiasa dengan hal-hal yang bisa dengan cepat mengusir kebosanan dan rasa jenuh. Saya kadang-kadang keluar dari zona nyaman dengan mendaki gunung, menyusuri gua, bepergian ke kampung adat dan perjalanan-perjalanan lainnya tetapi hanya dalam hitungan hari dan minggu. Setelah itu saya akan kembali ke kasur empuk dan makan makanan yang ingin saya makan saat itu. Daya tahan saya ternyata baru benar-benar diuji sekarang. Ujian-ujian yang pernah saya lewati ternyata belum seberapa. 

Seseorang pernah berkata "The most dangerous zone is comfort zone". Bagi sebagian orang mungkin ini adalah zona nyaman. Tetapi bagi saya ini adalah zona nyaman yang seringkali tidak nyaman di mana kebosanan dan kejenuhan jadi musuh utama yang sampai sekarang masih saya pikirkan cara untuk menyingkirkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About