Jumat, 30 Desember 2011

Catatan Akhir Tahun

Sebuah renungan, sebuah pengakuan

Waktu, salah satu hal yang tidak dapat kembali di dunia ini. Tak terasa setahun lagi telah aku lewati. Dalam beberapa jam ke depan, aku dan seluruh dunia akan memasuki tahun baru. Apa yang istimewa dari sebuah tahun baru? Mengapa semua orang membicarakan tahun baru? Aku sampai hampir bosan mendengar rencana-rencana orang-orang yang akan merayakan malam pergantian tahun. Bukan berarti aku tidak senang dengan pergantian tahun, tapi terus terang aku iri karena mereka merayakan hari bahagia itu dengan orang-orang yang mereka sayangi, sedangkan aku hampir pasti merayakan malam pergantian tahun jauh dari keluarga. Ya sudahlah, aku tahun ini mungkin kurang beruntung.

"Jangan pernah menoleh ke belakang", kata seorang teman kepadaku. Kawan, ijinkan aku sekali ini melihat ke belakang. Aku ingin melihat apa yang telah aku lakukan selama setahun ke belakang. Dengan mengingat-ingat apa yang telah aku lewati, aku banyak belajar.

Aku belajar bahwa hidup tidak selamanya senang dan tidak selamanya sedih. Mereka berjalan berdampingan yang walaupun berlawanan selalu berjalan seiring tanpa pernah terpisah.

Aku belajar bahwa apa yang kita miliki sekarang suatu saat akan hilang tanpa kita tahu waktunya kapan.

Aku belajar bahwa kehilangan seseorang yang kita cintai akan merobek relung hati yang paling dalam dan dihantui duka yang sangat menyakitkan.

Aku belajar bahwa ikhlas adalah cara yang paling tepat untuk menerima kepergian seseorang walaupun itu sangat sulit.

Aku belajar bahwa hidup penuh dengan kejutan. Ada saat di mana kita akan mengalami hal yang paling mustahil sekalipun dan terlintas dalam pikiranpun tidak pernah.

Aku belajar bahwa persaudaraan yang erat tidak tergantung dari hubungan darah. Sahabat adalah keluarga yang kita pilih yang bisa lebih dekat daripada keluarga sedarah.

Aku belajar bahwa seorang yang kamu anggap sahabat bisa menjatuhkanmu dan menjadi musuhmu. Sebaliknya musuh terbesarmu bisa menjadi teman terbaikmu.

Aku belajar bahwa sesulit apapun keadaan keluargamu, mereka akan selalu ada di sampingmu untuk mendukungmu dan selalu mengirim doa untukmu.

Aku belajar bahwa perbedaan tetaplah perbedaan. Ada perbedaan yang sama sekali tidak dapat disatukan karena semuanya di luar kemampuanmu.

Aku belajar bahwa tidak ada yang mustahil jika kita bermimpi, berharap dan berusaha.

Aku belajar bahwa menyia-nyiakan waktu yang ada akan membawamu kepada penyesalan mendalam pada saatnya nanti.

Aku belajar bahwa apa yang ada pada kita saat ini tidak pernah menjadi milik kita. Dari awal kita memang tidak punya apa-apa dan nantinya kita tetap tidak punya apa-apa. Sang Penciptalah pemilik semuanya.

2011. Kehidupan yang luar biasa. Banyak hal yang membuatku menangis sampai tidak bisa mengeluarkan air mata lagi dan juga banyak hal yang membuatku tertawa sampai aku tidak bisa menahan air mataku yang ingin mengalir. Syukur yang tidak pernah berhenti untuk Tuhanku atas segala yang telah aku dapatkan dan segala yang telah diambil dariku. Semoga aku dan kamu menjadi manusia yang lebih baik. Manusia yang tidak jatuh pada lubang yang sama. Manusia yang tahu caranya bersyukur. Manusia yang berkenan di hadapan Tuhan.

Thank you, 2011. Welcome 2012. Cheers !!
Continue Reading...

Phakse, Kota Persinggahan Nafas Champasak

Catatan Yang Tertinggal
Phakse, 2 Desember 2011

"Kesempatan tidak datang dua kali.. Explor terusss sampe mampuusss.. "

Hari masih gelap ketika kami dibangunkan oleh kondektur local bus jurusan Thakek-Pakse. Dia memberitahu kami bahwa kami telah sampai di Kota Pakse. Bis tersebut seharga 60.000 kip/orang dan dipesan langsung di terminal Thaekek. Hari itu sekitar pukul 05.30, kami turun dan melihat sekeliling. Ini adalah pertama kalinya kami menginjak kota ini. Hari itu tanggal 2 Desember 2011, hari ketiga kami berada di Laos untuk mengurus segala hal yang akan kami butuhkan untuk ekpedisi ini. Sebelumnya ada 2 (dua) orang yang menuju ke utara tepatnya ke Kota Udom Xai dan 2 (dua) orang lagi stay di Thaekek untuk mengurus hal-hal yang belum beres. Kami ditugaskan menuju ke selatan. Hal yang pertama kami pikirkan adalah penginapan. Tanpa ragu-ragu kami memanggil tuktuk (angkutan umum khas Laos) dan menyuruh sopirnya untuk mengantarkan kami ke penginapan yang sesuai dengan kantong kami. Setelah kami tiba di salah satu penginapan yang tidak terlalu mahal tetapi nyaman, kami segera merebahkan badan dan tertidur sampai tengah hari karena perjalanan panjang yang kami lalui dari Vientiane ke Thaekek dan dari Thaekek ke Pakse.  

Setelah cukup beristirahat, kami mencari makan siang dan pilihan kami jatuh kepada rumah makan di depan penginapan. Karena teman saya seorang Muslim maka, kami makan makanan yang mengandung ayam. Aman. Kemudian, kami memulai berkeliling kota dengan berjalan kaki dan diteruskan dengan menyewa motor. Kota Pakse merupakan ibu kota dari Propinsi Champasak. Kota ini tidak terlalu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Banyak terdapat guest house dan hotel di pusat kota serta banyak wisatawan yang berkeliaran. Pakse merupakan kota persinggahan bagi wisatawan-wisatawan yang ingin melakukan perjalanan wisata di kawasan selatan negara Laos. Dari Pakse ada beberapa kawasan pariwisata andalan yang dapat diakses dengan mudah seperti Bolaven Plateau, 4000 island, Wat Phou dan lain-lain. Beberapa di antaranya menyediakan perjalanan wisata menyusuri Sungai Mekong dengan menggunakan perahu. Kawasan-kawasan pariwisata tersebut tidak menyediakan penginapan dan dapat dinikmati dalam 1 (satu) hari jadi mau tidak mau, wisatawan harus menginap di Pakse. Di Pakse hampir setiap guest house atau hotel berhubungan langsung dengan travel agent yang menyediakan trip-trip wisata sehingga sangat mudah untuk mengunjungi kawasan pariwisata yang diinginkan. Wisatawan hanya tinggal bilang mau ke mana dan kapan, maka resepsionis akan segera menelpon travel agent dan kita akan dijemput pada waktu yang telah ditentukan. Pembayaran dapat dilakukan langsung di guest house atau hotel. Selain itu, jika kita datang ke warung internet atau tempat penyewaan motor maka petugas akan memberikan kita peta kota kepada wisatawan agar mudah untuk berkeliling kota. Keren!

Sepanjang barat Kota Pakse dilalui oleh Sungai Mekong. Sore itu kami menyebrangi sungai Mekong melalui sebuah jembatan yang disebut Lao-Japan Bridge. Disebut demikian karena jembatan tersebut merupakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Jepang sebagai tanda persahabatan dengan pemerintah Laos. Selain jembatan tersebut, ada beberapa bangunan di Laos yang dibangun oleh pemerintah Jepang. Jika dari Kota Thaekek setelah menyebrangi Friendship Bridge maka di seberangnya adalah wilayah Thailand, berbeda dengan menyeberang Lao-Japan Bridge. Setelah menyeberang, maka daerah seberang Sungai Mekong tersebut masih merupakan wilayah negara Laos. Daerah perbatasan Laos dan Thailand masih sekitar 68 km lagi dari jembatan. 
Champasak Shangha College. A college for monks

A bridge over Mekong river, a present from Japan's government for Laos
Pada malam hari, suasana Kota Pakse hampir mirip dengan Kota Vientiane karena banyak wisatawan asing yang memenuhi jalan, rumah makan dan kafe-kafe. Tetapi hal tersebut hanya sampai sekitar pukul 23.00 karena pada tengah malam, jalanan mulai sepi dan hanya terlihat beberapa pemuda yang duduk di depan rumah mengitari meja untuk mengobrol sambil meneguk bir. Hal ini bisa dibilang sebuah tradisi di Laos.

Masih Phakse, 3 Desember 2011 

Pagi tepat pada pukul 8.00 kami dijemput oleh mobil travel yang akan membawa kami ke Bolaven Plateau. Cukup membayar 160.000 kip/orang, kami akan dibawa berkeliling dari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore menyusuri dataran tinggi Bolaven yang merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup terkenal di Laos. Perjalanan kami dimulai dari sebuah perkebunan teh yang disebut Ongya Tea Plantation. Perkebunan teh tersebut adalah milik sepasang suami istri yang sudah terbilang tua. Setiap hari perkebunan mereka dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan yang akan menikmati dataran tinggi Bolaven. Walaupun tidak terlalu luas, perkebunan tersebut menyajikan pemandangan yang bagus dan udara yang sangat segar. Selain itu, di perkebunan tersebut juga memperlihatkan proses pembuatan teh. Setiap wisatawan juga dipersilahkan untuk menikmati segelas teh yang diproses langsung di tempat tersebut. Segelas teh hangat dan baunya wangi sangat pas untuk udara yang cukup dingin khas perkebunan teh. Dari Ongya Tea Plantation, kami dibawa menuju Tad Fane Waterfall. Air terjun yang disebut air terjun kembar ini setinggi hampir 120 meter. Disebut air terjun kembar karena terdiri dari dua air terjun yang terbentuk dari dua aliran air yang berbeda dan membentuk satu aliran yang kemudian menuju ke Sungai Mekong. Air terjun Tad Fane hanya bisa dinikmati dari jauh karena untuk mencapainya, kita harus menuruni tebing dan memakan waktu yang agak lama sedangkan travel agent sendiri telah menetapkan harus berapa lama kita berada di situ. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang lainnya. Gnenuang Waterfall merupakan tujuan selanjutnya. Berbeda dengan Tad Fane, Gnenuang Waterfall dapat dinikmati dari dekat. Disediakan tangga untuk turun ke tempat aliran air tersebut jatuh. Di sekelilingnya terdapat taman dan hutan yang dapat digunakan bersantai. Tidak hanya wisatawan asing, saat kunjungan kami, banyak wisatawan lokal yang datang untuk menikmati keindahan air terjun ini. Setelah cukup lama menikmati Gnenuang Waterfall, kami menyusuri jalan terus ke timur melewati daerah bernama Pa Xong. Tibalah kami di Pa Xong coffee plantation, sebuah perkebunan kopi yang cukup besar. Di sana kami melihat puluhan orang membagi tugas untuk mengolah kopi yang baru dipetik. Kopi yang baru dipetik ditumpuk kemudian dilepas kulitnya dengan menggunakan mesin sederhana, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bak dan di sana ada beberapa orang yang bertugas untuk membersihkan kopi tersebut sampai benar-benar bersih. Setelah bersih dari kulitnya, maka kopi tersebut kemudian dijemur di bawah terik matahari lalu disangrai (digoreng tanpa minyak) dan digiling menghasilkan kopi bubuk yang rasanya sangat enak. Kami dipersilahkan mencicipi kopi yang langsung diolah di Pa Xong Coffee Plantation. Kopinya enak dan wangi. Tidak heran jika kopi tersebut juga diekspor ke negara-negara lain. 
Ongya Tea Plantation
Gnenuang Waterfall
Tujuan terakhir kami sebelum makan siang adalah Khok Pung Thai Ethnic Village. Desa ini terletak sekitar 103 km dari Kota Pakse. Desa yang ditinggali oleh suku Katou ini terletak di pinggir jalan tetapi yang unik, masyarakatnya tidak bisa menggunakan bahasa Laos yang sehari-hari dipakai oleh masyarakat Laos pada umumnya. Mereka menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Ada satu orang yang lancar berbahasa Inggris sehingga ia ditunjuk untuk menjadi local guide bagi wisatawan yang datang. Di Desa Khok Pung Thai ini, terdapat satu sekolah alternatif di mana guru-gurunya didatangkan dari Thailand, Singapura, Prancis dan beberapa negara yang bekerja sama dengan pemerintah Laos. Desa ini merupakan salah satu desa yang sedang dalam proses pengembangan yang ditinjau langsung oleh pemerintah Laos. Masyarakat Katou masih sangat menjaga adat istiadat mereka. Mereka hampir semuanya menganut kepercayaan kepada roh-roh. Pada umur 30-40 masyarakat di desa ini sudah harus membuat peti mati untuk persiapan. Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, maka orang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam peti karena dianggap mendatangkan sial. Jenazahnya akan diletakkan di dalam hutan sampai waktu di mana sial yang dibawa sudah hilang. Yang unik lagi, di desa ini perempuanlah yang bekerja di ladang dan menjadi petani sedangkan kaum laki-laki tinggal di rumah untuk merebus air untuk istri-istri mereka. Menurut local guide yang menemani kami, inilah salah satu alasan mengapa di desa tersebut perempuan lebih berumur panjang daripada laki-laki. Perempuan juga dari umur sekitar 14 tahun sudah merokok. Rokok yang mereka gunakan adalah tembakau yang dibakar pada sebuah bambu yang berdiameter sekitar 2 cm. Setiap laki-laki dari masyarakat Katou boleh mempunyai maksimal 4 orang istri. Bahkan ada sebuah rumah yang dihuni oleh 68 orang. Wow! Rumah mereka adalah rumah panggung yang dibuat untuk mencegah binatang masuk ke dalam rumah. Makanan mereka ada nasi ketan yang diolah masih dengan cara tradisional yaitu ditumbuk. Sisa-sisa dari padi yang ditumbuk akan diberikan kepada peliharaan mereka seperti babi dan ayam yang bebas berkeliaran di sekitar rumah. Lauk mereka adalah daging babi dan daging anjing. Mereka sangat jarang makan daging ayam karena ayam menurut mereka lebih baik untuk dipelihara. Untuk mengambil air mereka mempunyai satu sumur terbuka yang digunakan untuk masyarakat desa untuk mencuci pakaian dan mandi. Ketika saya menanyakan di mana toilet, dengan senyum local guide tersebut “In the forest”. Seperti anak Palawa Unpad juga ternyata. Hahahaha.. 
Salah satu wanita dari Desa Khok Pung Thai
Binatang peliharaan
Perut kami sudah lapar ketika kami meninggalkan desa Khok Pung Thai. Betapa tidak, dari awal perjalanan sampai tengah hari kami belum makan. Kami hanya diberi air putih oleh sang sopir yang juga sekaligus guide kami hari itu karena guide yang sering menemani wisatawan tidak bisa pada hari itu. Itulah sebabnya biaya yang sebelumnya 170rb kip dikurangi menjadi 160rb kip. Ada salah pengertian antara kami dengan travel. Kami mengira uang yang kami bayarkan sudah termasuk makan siang, ternyata tidak. Kami dibawa semakin ke timur ke kawasan wisata bernama Ban Xean Fang. Di kawasan ini ada sungai yang mengalir yang merupakan anak Sungai Mekong. Di tengah-tengahnya ada air terjun yang lebarnya sekitar 10 meter tetapi tingginya mungkin hanya sekitar 5 meter. Air terjun ini bernama Tad Hang Waterfall dan merupakan pemandangan yang sangat indah saat kami menikmati makan siang dari restaurant yang berada persis di pinggir sungai. Sungai tersebut cukup lebar dan terdapat banyak jeram. Sungai ini mengingatkan saya kepada Sungai Citarum karena anak-anak kecil yang menikmati sore itu dengan berenang dan ada jembatan kayu yang sudah “ditambal” sana sini. Selain itu, kita juga melihat beberapa gajah yang bisa ditunggangi mengelilingi padang rumput dengan membayar 25rb kip.
Restoran dengan pemandangan sungai

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 ketika kami dipanggil oleh sopir karena sudah waktunya kami kembali ke Pakse. Saya dan Fariz diantarkan sampai ke terminal untuk naik bis menuju kembali ke Thaekek dan bergabung dengan tim advance yang lain serta menunggu tim United yang akan tiba keesokan harinya. Kembali duduk di atas bis seharga 60rb kip ditemani lagu pop bernuansa dangdut yang tidak satupun bahasanya bisa saya mengerti.
Continue Reading...

Takut atau Pesimis? Keduanya.

Sore ini, aku menangis di depan seorang dosen. Kenapa aku menangis? Takut. Kenapa takut? Tidak yakin. Kenapa tidak yakin? Menyadari kesalahan dan kekurangan. Kenapa menyadari kesalahan dan kekurangan harus menangis? Karena aku orang bodoh yang berpikir bahwa aku pintar. Karena aku orang malas yang selalu menyia-nyiakan waktu dan tidak pernah menghargainya. Karena aku orang yang hanya bisa berbicara tetapi tidak melakukan. Karena aku sebenarnya tidak bisa tapi terlalu percaya diri bahwa aku bisa. Penyesalan datang di akhir, memang selalu benar. Aku pernah mengatakan bahwa suatu saat aku akan menyesali semua waktu yang terbuang percuma. Sekarang waktunya di mana aku mengingat-ingat kembali kesalahanku, menyadarinya, kemudian hanya bisa tertunduk lesu sambil meneteskan air mata. Sekarang waktunya di mana aku benar-benar tidak bisa memandang ke depan karena menurutku semua yang di depan itu sangat abu-abu bahkan tiba-tiba bisa menjadi hitam. Aku takut. Tak pernah setakut ini. Bahkan kata-kata penyemangat yang aku tempelkan di seluruh dinding kamar tidak berguna. Kemana semangatku? Kemana rasa optimisku? Mungkin sedang hilang ditelan gelapnya masa depan. Aku harap dia segera kembali.
Continue Reading...

Kamis, 15 Desember 2011

Indonesia Padjadjaran Gigantic River Cave Expedition, Laos 2011

"Berawal dari ruangan bercat warna kuning berukuran sekitar 3x5 meter, dibumbui dengan silang pendapat dan perdebatan panjang, dan inilah kami PALAWA UNPAD, sebagai tim Asia pertama yang telah telah menyusuri Gua Khoun Xe di Propinsi Khammouane, Republik Laos demi perhimpunan, almamater dan bangsa"

- Lao PDR, 29 November - 13 Desember 2011 -
Continue Reading...

About

Blogroll

About