Rabu, 28 Oktober 2015

Persib ; Cerita Tentang Persahabatan



Masih terngiang teriakan “Juara! Juara! Juaraaaaa!’ di Gelora Bung Karno, Jakarta malam itu. Ribuan Bobotoh (sebutan untuk pendukung Persib) yang memadati GBK meluapkan kegembiraan bahkan sebelum peluit panjang dibunyikan. Dengan 2 gol di babak pertama dan pertahanan yang solid di babak kedua, kami hari itu yakin Persib akan menjadi juara Piala Presiden 2015. Tuhan bersama tim Maung Bandung. Kami juara di Jakarta.

“Kami”, Persib dan Bobotoh. Sejak kapan aku men-cap diriku bagian dari mereka? Memoriku kembali pada masa kuliah di sebuah universitas negeri di Bandung. Aku seorang gadis yang berasal jauh dari Toraja, Sulawesi Selatan yang datang merantau di Bandung. Aku selalu tertarik pada bahasa dan budaya baru. Hari-hari terlewat dan aku mulai bersahabat dengan para kaum adam teman seangkatanku. Mereka hampir setiap saat menggunakan Bahasa Sunda yang tidak kupahami. Aku mulai belajar bahasa-bahasa ‘kasar’ yang katanya jadi pelajaran wajib bagi seorang pemula. Agak sulit awalnya untuk berbicara dengan benar atau paling tidak menyamakan logat.

Aku sangat suka sepakbola. Hampir setiap saat kami berkumpul kami akan membicarakan tentang sepakbola baik itu tentang pemain, permainan atau bahkan sekedar ledek-ledekan jika tim kesayangan kami kalah. Mereka juga sangat sering membicarakan tentang klub kebanggaan mereka, Persib Bandung. Dari pertama kali mengenal sepakbola, aku tidak pernah tertarik sama sekali pada sepakbola lokal. Sama sekali tidak. Aku jauh lebih menikmati sepakbola Eropa atau Amerika Selatan. Tetapi bersahabat dengan para Bobotoh tidak bisa menghindarkan aku untuk mendengar atau menyimak pembicaraan mereka. Aku sempat bertanya “Emang kalian suka Persib-nya sampe segininya ya?”. Seorang temanku menjawab “Persib itu bukan sekedar klub bola tapi sudah jadi bagian dari budaya dan hidup kami”. 

Aku penasaran. Aku menyambut baik setiap ajakan nonton bareng Persib dan sangat antusias ketika diajak ke stadion untuk menonton Persib langsung. Aku tidak akan melupakan hari itu ketika berdesak-desakan memasuki stadion dan dengan sigap para pria-pria yang kupanggil ‘sahabat” ini membantu, menjaga, membarikade atau apapun namanya agar aku tidak terluka terkena desakan massa yang seperti sedang menunggu antrian sembako. Aku juga tidak akan lupa luapan kekesalan dan kegembiraanku bersama ribuan masyarakat Jawa Barat yang datang mendukung Persib sore itu. Saat itu aku merasa aku jatuh cinta…

Aku mulai tertarik pada sepakbola lokal karena Persib dan karena antusiasme para sahabatku. Aku mulai nimbrung jika ada perbincangan tentang Persib dan mulai menonton pertandingan-pertandingan Persib di layar kaca. Aku juga mulai rajin ke stadion jika ada waktu dan tiket. Seiring dengan itu, Bahasa Sunda-ku juga sudah lancer dan beberapa orang yang kutemui menganggap aku orang Sunda asli. 

Enam tahun berlalu. 7 November 2014 aku tidak bisa datang ke Palembang untuk melihat Persib berlaga di perebutan juara ISL melawan Persipura. Persib memenangkan pertandingan tersebut setelah menunggu dalam waktu yang terbilang lama. Aku hanya datang saat perayaan kemenangan yang berpusat di Gasibu. Akhirnya waktu lain datang. Persib masuk final Piala Presiden 2015. Pertandingan itu diadakan di Stadion Gelora Bung Karno yang terletak di Jakarta. Cerita rivalitas Persib dan Persija Jakarta sudah bukan rahasia lagi. Banyak kabar burung bahwa final itu akan ricuh dan berbagai hal lain terkait keamanan. Aku ragu. Aku meminta pendapat banyak orang terdekat tentang rencana keberangkatanku. Banyak yang menyarankan untuk tidak datang. Aku berpikir keras. Namun ucapan sahabat-sahabatku menguatkan “Percaya ka arurang. Maneh moal nanaon. Arurang pasti ngajagaan maneh kumaha we carana” (Percaya sama kami. Kamu gak bakal kenapa-kenapa. Kami pasti ngejagain kamu gimanapun caranya). Itulah sebuah janji persahabatan yang aku simpan, menguatkan hatiku dan menambah keberanianku. Kemudian berangkatlah aku ke Jakarta pagi itu bersama rombongan bis dan para guardian angel-ku dan doa dari orang-orang tercinta. Dan seperti dongeng, cerita hari itu berakhir indah. Kami berpelukan sambil meneteskan air mata ketika peluit panjang dibunyikan sambil berteriak “Persib juaraaaaaaaaa”.

Persib dan persahabatan bagiku susah untuk dipisahkan. Semua cerita tentang Persib berawal dari sebuah persahabatan seorang wanita dari suku dan daerah lain dengan para pria yang menjadikan klub sepakbola daerahnya menjadi salah satu bagian hidup.
Maraneh dulur aing. Persib nu aing!
Continue Reading...

Selasa, 13 Oktober 2015

Sabtu Bersama Bapak ; Bagi Kalian yang Memutuskan untuk Menikah

Buku ini dianjurkan oleh seorang teman yang sudah hampir 3 tahun menjadi seorang ayah. "Coba baca deh, ra. Sebelum nikah pokoknya harus baca ini", katanya di suatu sore. Akhirnya karena rasa penasaran, saya membeli buku karangan Adhitya Mulya ini. Untuk menambah keasyikan membacanya, saya membacanya pada suatu Sabtu sore sesuai dengan judulnya. 

Buku ini bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Almarhum ayah, ibu dan 2 anak laki-laki yang umurnya sudah matang. Kakak yang sulung sudah menikah dan sang adik yang sudah berumur dan mapan tetapi belum menikah. Sang ayah sebelum meninggalkan video yang direkam untuk ditonton anak-anaknya pada umur tertentu dan momen tertentu. Buku ini menyingkap realitas kehidupan berkeluarga dan menuturkan lika-liku menjadi orang dewasa yang dituntut untuk bertanggung jawab. Video sang ayah ditujukan agar anak-anaknya tidak kehilangan sosoknya meskipun telah tiada. Saya terhenyut karena apa yang dituliskan di dalam buku ini benar-benar sesuai dengan kenyataan hidup dan berakhir pada gumaman "iya sih emang bener", "tapi emang gitu sih", dan perkataan lain yang membenarkan. Berikut beberapa kutipan yang bisa diambil :

"Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling mengisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang bukan tanggung jawab orang lain". Jauh dari kata-kata yang sering kita dengar "kita berdua saling mengisi kelemahan", bukannya "kita berdua harus sama-sama kuat"

"I can't ask for a better you. You, however, deserve a better me". Seringkali kita meminta orang untuk berubah untuk kita atau hubungan kita tetapi kita terkadang tidak sadar di saat kita sibuk meminta orang lain berubah, kita lupa bahwa kita pun belum berubah menjadi orang yang lebih baik. Saya sering begini. Oh, dear...

"Jika ingin menilai seseorang, jangan nilai dia dari bagaimana dia berinteraksi dengan kita, karena itu bisa saja tertutup topeng. Tapi nilai dia dari bagaimana orang itu berinteraksi dengan orang-orang yang dia sayang". Iya juga sih. Seperti yang sering dikatakan orang, jika ingin melihat seorang laki-laki itu baik atau tidak lihat dari caranya memperlakukan ibu dan saudara perempuannya.

"Ketika seorang laki-laki dan perempuan menikah, laki-laki itu meminta banyak dari perempuan.
Saya pilih kamu. Tolong pilih saya untuk menghabiskan sisa hidup kamu. Dan saya akan menghabiskan sisa hidup saya bersama kamu. Percayakan hidup kamu sama saya. Dan saya penuhi tugas saya padamu, nafkah lahir bathin. Pindahkan baktimu. Tidak lagi baktimu kepada orangtuamu, baktimu sekarang pada saya. Bahkan laki-laki saat menikah tidak tahu bahwa mereka meminta ini, banyak juga laki-laki yang bahkan kemudian hari, mencederai tiga hal ini". Couldn't agree more. Dear all men in the world, read this and think carefully before you ask a woman to be your wife. Lalalalala..

Dalam buku ini, sang ayah mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi seorang pria yang bertanggung jawab. Tanggung jawab tersebut berupa nafkah lahir dan batin. Jika salah satunya tidak ada maka kehidupan keluarga tidak akan pernah stabil. Tetapi tidak hanya dari sisi laki-laki, dalam buku ini juga menceritakan tentang sisi perempuan yaitu sang ibu dan istri dari anak sulung. Buku yang ringan tetapi sarat makna bagi kalian yang memutuskan untuk menikah. 

Jadi, kapan nikah? *pura-pura mati*


Continue Reading...

Kamis, 23 April 2015

Yogyakarta ; Padamu Ku Sudah Jauh Terjatuh

"Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu. Masih seperti dulu tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna. Terhanyut aku akan nostalgia saat kita sering luangkan waktu nikmati bersama suasana Jogja"

Suara merdu Katon Bagaskara terdengar di speaker laptop baruku yang cicilannya belum lunas. Lagu ini dirilis pada tahun 1991, paling tidak itulah tulisan di artikel yang aku baca. Sudah lama sekali ya. Buatku, lagu yang bagus adalah lagu yang selalu enak didengar berapapun 'umur'nya. Dan lagu yang dibawakan oleh KLa Project ini adalah salah satunya. Pasti banyak yang setuju denganku. Siapa yang tak jatuh cinta dengan Yogyakarta? Aku rasa yang tidak jatuh cinta hanya ada 2 jenis orang. Pertama adalah orang yang datang dan tidak berinteraksi sama sekali dengan manusia, di mana itu mustahil dan yang kedua adalah orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di Jogja. 

Kunjungan pertamaku kulakukan pada tahun 2008 saat aku ikut dalam rombongan pemuda gereja yang sedang melakukan pelayanan. Cerita tentang Jogja sendiri sudah aku dengar ketika aku duduk di bangku SMA karena banyak alumni sekolah kami yang melanjutkan pendidikan ke kota yang memang dijuluki Kota Pelajar itu. Dalam kunjungan mereka ke sekolah, mereka menceritakan tentang nyamannya hidup sebagai mahasiswa perantau di Jogja. Jogja menawarkan banyak hal yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Makanan beragam yang enak dengan harga yang murah, masyarakat yang santun dengan adat Jawa-nya serta tempat wisata yang pesonanya tidak usah ditanyakan lagi.

Bagi yang sudah sering ke Jogja dan mungkin sudah bosan ke Malioboro, bisa mencoba tempat wisata yang lain. Jogja adalah sebuah lanskap lengkap bagi mereka yang mencari kepuasaan bermain dan bertualang. Jika ingin bermain di ketinggian atau sekedar mengeluarkan keringat dengan hiking bisa ke Gunung Merapi. Bisa juga sedikit keluar kota menuju Gunung Merbabu, Gunung Slamet, Sindoro, Sumbing dan Dataran Tinggi Dieng. Yang ingin menikmati pasir pantai di sela jari - jari kaki bisa berkendara ke Pantai Parangtritis, Pantai Indrayanti, atau Pantai Sundak melewati kawasan Gunung Kidul. Tak hanya itu, bagi yang suka gua, bisa menelusuri gua sambil bermain air di Gua Pindul dan jika ingin sedikit lebih ekstrim bisa ke Gua Jomblang. Masih kurang? Yang ingin berwisata sejarah tentu sudah tahu harus ke mana. Jogja dan sekitarnya menyediakan tempat - tempat bersejarah untuk dikunjungi. 

Jogja bagiku banyak menyimpan cerita dan kenangan. Tak perlu jauh - jauh, bahkan dengan duduk menikmati secangkir kopi atau teh sambil bercerita banyak hal dengan sahabat sudah lebih dari cukup. Syahdu. Entah sudah berapa kali aku menaiki kereta Bandung - Yogyakarta - Bandung hanya untuk melepas rindu. Sudah tak terhitung. Tetapi rasanya selalu kurang. Aku mungkin sudah jauh terjatuh
Continue Reading...

Selasa, 21 April 2015

21 April ; Tak Hanya Kebaya dan Konde

"I think women are foolish to pretend they are equal to men. They are far superior and always have been" - William Golding -

Bagi perempuan Indonesia, tanggal 21 April adalah suatu hari yang bermakna. 21 April merupakan hari lahirnya Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional yang dianggap sebagai pejuang emansipasi wanita pada jamannya. RA Kartini adalah seorang keturunan priyayi (bangsawan jawa) yang merupakan putri dari Bupati Jepara pada saat itu. Pada umur yang masih belia, Kartini hanya tinggal di rumah dan dipingit. Dengan kemahirannya berbahasa Belanda, Kartini mulai melakukan korespondensi dengan teman - temannya di Belanda. Dia menceritakan tentang keadaan wanita pribumi yang tidak mendapat pendidikan dan perlakuan yang sama dengan kaum pria. Kartini mendambakan kebebasan serta kesetaraan dengan kaum pria dalam hal pendidikan. Hasil korespondensi ini dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Mengapa harus Kartini? Bukankah sebelumnya lebih banyak pejuang wanita sebelum dia yang tanggal lahirnya bisa dijadikan "harinya perempuan" Indonesia? Banyak perdebatan mengenai hal ini. Terutama mereka yang tidak suka dengan hubungan erat Kartini dengan Belanda yang disebut sebagai penjajah. Juga mereka yang menganggap ada yang lebih pantas untuk dijadikan "icon" daripada hanya seorang Kartini yang hanya menulis dari balik kamarnya, hanya punya ide tetapi tidak diimplementasikan di lapangan. Saya? Tidak pada pihak manapun. Bukan karena cari aman, tetapi siapapun yang menjadi tokohnya, yang diusung tetap tentang perjuangan untuk merdeka bukan? Merdeka yang bisa berarti banyak.

Wanita selalu diidentikkan dengan 3 hal yaitu kasur, dapur dan sumur. Ketiga hal tersebut  merupakan istilah dan pandangan lama tentang tempat atau posisi wanita di dalam masyarakat dan keluarga. Pandangan itu telah banyak didobrak oleh wanita yang berani keluar karena sadar bahwa peran mereka tidak hanya sekedar tinggal di rumah dan hanya mengurus tetek bengek rumah tangga. Mereka berani melakukan hal - hal yang selama ini dianggap hanya bisa dilakukan oleh kaum pria.

Kalaupun ada yang memilih untuk hanya tinggal di rumah untuk mengurus suami dan anak, hal itupun bukan pilihan yang salah. Toh kesuksesan suami dan anak ditentukan dari bagaimana istri atau seorang ibu membimbing dan mendidik. Ibu jaman sekarang pun harus cerdas dan berpendidikan karena pendidikan yang paling mendasar berasal dari keluarga sedangkan tuntutan jaman semakin berat.

Ketika seorang wanita memahami peran pentingnya dalam keluarga dan masyarakat dan berani mengambil langkah untuk mendapatkan pendidikan yang layak serta berkarya di luar kungkungan pendapat tentang kemampuannya, itulah semangat yang diinginkan oleh para pejuang wanita di masa lampau. Wanita harus tetap santun, menghormati pria tetapi bukan berarti harus mau diinjak - injak atau diremehkan. Jika kita menyadari, tanpa ditunjukkan pun kekuatan wanita sudah bisa terlihat dari seorang istri yang patuh dan melayani suaminya dengan baik dan seorang ibu yang mengandung anaknya selama 9 bulan dan melahirkan dengan penuh rasa sakit. Kekuatan tersebut adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan pada ciptaan-Nya yang menurut-Nya paling indah.

Tak peduli itu Hari Kartini, Hari Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika, yang penting adalah semangat perjuangannya. Paling tidak ada satu hari dalam satu tahun, hari di mana wanita Indonesia merenungi kedudukan dan perannya. Hari di mana perempuan Indonesia bisa merenungi pentingnya dirinya dan betapa kuat dirinya telah melewati banyak hal. Seperti tulisan di artikel yang tadi pagi saya baca, "Tak banyak perempuan yang membaca buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Hari Kartini dirayakan dengan lomba memakai konde dan kebaya saja", yang kira - kira maksudnya : memaknai hari untuk perempuan ini harus lebih dari itu. Harus memahami isi dan merenungi makna, tidak hanya sekedar memakai kebaya dan konde.

Selamat Hari Kartini bagi seluruh perempuan Indonesia. Selamat merenungi hari ini.
Continue Reading...

Selasa, 31 Maret 2015

Caving Gombong ; Untold Story

"It is only in adventure that some people succeed in knowing themselves - in finding themselves" - Andre Gide

Perjalanan ini sudah lama. Sekitar beberapa tahun yang lalu. Saya agak lupa detailnya dan tak ada foto dokumentasi satu pun. Tetapi saya akan menceritakan apa yang saya ingat.

Hari itu, hari Jumat seperti biasanya, kami harus melaksanakan masa bimbingan bagi Anggota Muda Palawa Unpad. Salah satu proses yang harus kami lalui untuk menuju jenjang selanjutnya. Tibalah operasional penelusuran gua atau yang dikenal dengan istilah caving. Menelusuri gua bukan sesuatu yang asing untuk saya. Saya sering masuk gua yang dipenuhi peti dan mayat hanya menggunakan lampu petromak atau senter di kampung saya, Toraja. Tetapi caving kali ini tentunya berbeda dengan yang biasa saya lakukan. Kegiatan ini lebih luas cakupannya dengan mengaitkannya dengan ilmu  speleologi. Setelah persiapan selesai, angkutan umum berwarna coklat membawa kami yang berjumlah 9 (sembilan) orang ke stasiun Kiaracondong malam itu. Kami tidak banyak membawa peralatan karena peralatan sudah dibawa oleh Tim Pengembaraan Maros yang sudah berada di Gombong beberapa hari sebelumnya untuk simulasi. Malam semakin gelap dan kereta kelas ekonomi itu membawa kami jauh ke timur. 

Pagi merekah dan saat saya membuka mata, kami sudah berada di daerah Jawa Tengah dan sebentar lagi akan tiba di Stasiun Gombong. Kami turun dan mengikuti langkah Margo, salah satu teman kami yang merupakan orang asli Gombong. Jadi kami tidak akan tersesat. Kami menikmati sarapan di depan stasiun sambil bernegoisasi dengan sopir elf (kendaraan semi bis) untuk mengantar kami ke tempat tujuan. Negoisasi berhasil dan kami melaju menuju Kawasan Karst Gombong Selatan di Kecamatan Ayah. Kegelapan abadi, kami datang.

Turun dari elf ternyata bukan perjalanan terakhir. Kami harus berjalan sekitar 1 kilometer untuk mencapai rumah Pak Saji, tempat kami akan menginap. Pak Saji, seorang pria paruh baya adalah petugas Perhutani yang mengetahui seluk beluk kawasan karst tersebut. Pak Saji bersedia untuk ditumpangi rumahnya oleh kami selama di sana. Hubungan ini terus terjalin sampai sekarang. Jadi kami sudah punya basecamp jika kami datang ke sini. Saya sendiri punya cerita kenangan pada kedatangan saya kali ini dengan Pak Saji dan istrinya sehingga pada tahun 2011 saya kembali ke Gombong, mereka masih mengingat saya. Mereka orang baik. Semoga mereka selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang.

Tidak ada waktu untuk bersantai, setibanya kami langsung berganti pakaian dan akan melakukan eksplorasi mulut gua sebelum kami melakukan penelusuran dan pemetaan gua keesokan harinya. Panas siang itu sangat menyengat. Saya tidak ingat berapa tepatnya mulut gua yang kami temui sebelum kami memutuskan untuk pulang dan beristirahat. 

Hari kedua kami melakukan penelusuran gua - gua yang sudah kami temukan sebelumnya. Wear pack, sepatu boot, helm dan penerangan berupa headlamp sudah kami kenakan. Tak lupa kami membawa peralatan untuk menuruni gua vertikal dan untuk memetakan gua. Kami dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok. Kami memasuki sebuah gua yang dialiri air. Gua tersebut bernama Gua Banyu (banyu berarti air). Airnya mengalir tenang keluar gua. Semakin masuk, kami semakin melawan arus air. Setelah berjalan dan beberapa kali berenang, kami menemukan sebuah kolam dan air terjun. Tidak terlalu besar tetapi sangat bagus. Kami ingin berenang di dalam kolam andai kami tidak melihat ular berwarna hitam yang bergerak cepat di atas permukaan air. 

Gua kedua yang kami masuki adalah Gua Jebulan. Gua tersebut adalah sebuah gua yang cukup panjang dengan ornamen berupa stalagtit, stalagmit dan goursdam yang berkilauan seperti permata. Setelah berjalan sekitar setengah jam, kami bertemu dengan seseorang yang sedang menangkap burung walet. Dia adalah salah satu penduduk desa yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pencari burung walet. Ternyata gua ini menyambung dengan Gua Petruk yang dijadikan sebagai gua wisata. Tak heran jika mengingat ornamennya yang bagus dan menarik. 

Gua selanjutnya adalah Gua Langsa. Tak ada yang menarik dari gua ini apalagi dengan bau guano yang sangat menyengat. Guano adalah kotoran kelelawar, binatang yang paling sering dijumpai di dalam gua. Selain bau guano, tanahnya yang becek juga mengharuskan kami menggunakan tenaga ekstra untuk berjalan apalagi ketika boot kami terjebak di dalam lumpur.

Hari sudah mulai gelap. Masih ada satu gua lagi yang kami telusuri sebelum menutup hari itu. Sebuah gua vertikal yang tidak terlalu dalam tetapi sangat berguna untuk latihan SRT (Single Rope Technique) kami. Pantang pulang sebelum latihan selesai, begitu slogannya. Entah slogan buatan siapa.

Pukul 2 pagi, kami semua selesai melakukan percobaan untuk turun ke dalam gua. Waktunya untuk kembali ke rumah Pak Saji. Langit malam itu tampak lebih terang daripada di dalam gua. Kami pulang dengan pakaian basah dan berlumuran lumpur. Sambil menunggu giliran mandi, kami membereskan alat dan mulai packing. Kami memang berencana untuk pulang saat matahari terbit. Hal ini bertentangan dengan keinginan para pembimbing yang mengusulkan untuk pulang esok harinya. Kami tetap berkeras kepala.

Pagi berkabut kami tembus dengan berjalan kaki ke jalan raya untuk naik angkutan umum menuju Stasiun Gombong. Kereta menuju Bandung akan berangkat pada pukul 9 pagi. Kami tidak ingin ketinggalan kereta. Sekitar pukul 7 kami sudah tiba di stasiun dan menunggu kereta ekonomi yang akan menuju Bandung. Tanpa sepengetahuan kami, pembimbing juga pulang dengan menggunakan kereta yang sama.

Yang menguntungkan dari kereta ekonomi hanya satu yaitu harganya yang terjangkau. Selebihnya tidak ada. Perjalanan pagi itu adalah perjalanan terburuk saya menggunakan kereta api seumur hidup saya. Kereta penuh sesak, segala bau bercampur jadi satu dengan kapasitas kipas angin yang tidak memadai sama sekali.  Dua pertiga dari perjalanan tersebut kami habiskan dengan berdiri di lorong dan membawa carrier yang tak ringan karena tidak mendapatkan tempat duduk.PT. KAI kala itu masih menjual tiket tanpa tempat duduk. Siapa cepat, dia dapat. Pedagang berlalu lalang dengan teriakannya dan menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Betul - betul seperti tempat pengumpulan tahanan yang siap dieksekusi mati.

Kami tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Begitu kereta tiba di Stasiun Gede Bage dan melambat, kami melompat satu persatu dari kereta dengan memanfaatkan pelampung sebagai bantalan. Hal itu sebenarnya tidak diperbolehkan karena stasiun tersebut bukan untuk penumpang tapi barang. Selain itu, kereta tidak benar - benar berhenti. Son yang sudah melompat dari kereta menyadari bahwa carriernya masih tertinggal di dalam kereta. Dia langsung mengejar kereta yang sudah mulai bergerak cepat. Dengan skill panjat tebing yang cukup mumpuni, hal tersebut tidak terlalu sulit buatnya. Kami berjalan keluar stasiun untuk mencari angkutan umum sedangkan Son melanjutkan perjalanan ke Stasiun Kiaracondong bersama para pembimbing yang berbeda gerbong dengan kami.

Tindakan kami adalah sebuah pelanggaran yang berkaitan dengan keselamatan. Tidak untuk diulangi dan tidak untuk dicontoh (jika tidak terdesak). Masa muda memang masa yang berapi - api. Saya sarankan untuk sekali - kali melanggar aturan untuk belajar dan juga untuk mengisi masa muda agar tidak sekedarnya.
Continue Reading...

Kamis, 26 Maret 2015

Sebuah Ramalan Bintang

Siang hari yang cerah di Kota Bandung, tidak seperti kemarin yang penuh dengan kabut. Saya membuka blog untuk sekedar mengecek dan iseng membuka aplikasi yang menampilkan ramalan horoskop dalam bahasa inggris. Menurut horoskop, aku berzodiak Scorpio yang tentunya dilambangkan dengan binatang kalajengking. Kira - kira begini bunyi ramalan hari ini :

"Ask yourself in what ways you can be a service to others and then act on the suggestions you come up with yourself. You don't have to do anything to change the world, but you can do a few favors that could a make a big difference in someone's else life. Think of the members of your immediate family or your best friends. If you have something or can do something to help them, by all means, do. If you don't want to be embarrased by public or extravagant thank-yous, do your good deeds anonymously. No one but you has to know that you're the one behind the seemingly random acts of kindness"

Tidak usah jauh - jauh untuk mengubah dunia. Apa yang sudah kamu lakukan untuk orang - orang terdekat dan di sekitarmu? Plak! Berasa ditampar lagi. Kita kadang tidak sadar bahwa kebaikan yang kita berikan kepada orang lain sekecil apapun itu, dapat mengubah hidup seseorang. Ajaran agama Kristen sendiri mengajarkan untuk selalu saling mengasihi dan tidak menahan kebaikan yang dapat kita lakukan bagi orang lain. Selain itu, jika melakukan kebaikan baiknya tersembunyi dan tidak digembor - gemborkan kepada orang lain. Semoga menjadi renungan buat saya dan kamu. Kebaikan kecil bisa menjadi awal bagi kebaikan - kebaikan besar.

Rara' lagi waras...
Continue Reading...

Rabu, 04 Maret 2015

Kupang ; The Unexpected and Debts


"Especially on unexpected journeys, you have time; you can figure certain deeper things out, like who you are and what you want" - Imtiaz Ali -

Pesawat yang berguncang serta hujan yang disertai angin menemani saya dalam pendaratan pertama di Tanah Timor dua tahun silam. Banyak pertanyaan terlintas dalam pikiran saya kala itu. Namun pertanyaan – pertanyaan tersebut tidak mengurangi gairah saya yang selalu muncul jika mendatangi tempat baru. Kedatangan saya ke Kupang, ibukota Nusa Tenggara Timur ini didasarkan pada urusan pekerjaan. Saya bekerja pada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sedang memulai kerja sama dengan Pemerintah Kota Kupang. Untuk kerja sama itu, saya diharuskan untuk tinggal dalam waktu lama di Kupang. Februari 2013, saya memulai kehidupan baru saya di tempat yang sangat jauh dari rumah dan jauh dari teman – teman saya.

Saya mempunyai seorang teman di sebuah komunitas fans klub Manchester United  yang juga ditugaskan di Kupang. Kami mempunyai nasib yang hampir sama. Jauh dari rumah dan teman. Kami kemudian bersepakat untuk membuat komunitas sepakbola. Singkat cerita, komunitas ini kemudian terbentuk dengan anggota yang bertambah setiap bulannya. Kami melakukan kegiatan seperti nonton bareng, futsal, kopi darat dan lain – lain. Anggota yang bergabung mulai dari anak sekolah, mahasiswa bahkan orang yang sudah berkeluarga. Mereka pun berasal dari suku – suku yang berbeda. Sebagai informasi. NTT adalah propinsi dengan sebaran etnis terbanyak di Indonesia. Tiap – tiap suku ini pun mempunyai karakter dan bentuk fisik yang berbeda. Sangat beragam. 

Hampir setiap hari saya menghabiskan waktu dengan mereka. Awalnya sulit untuk berdiskusi banyak hal dengan mereka karena cara pandang yang sangat berbeda. Ada kebiasaan yang tidak bisa saya mengerti dan tidak sesuai dengan nalar saya. Tetapi itulah yang terjadi. Hubungan yang awalnya kaku dengan keadaan di mana mereka masih menganggap kami orang luar yang harus menyesuaikan segala sesuatunya dengan kebiasaan mereka. Setelah melewati banyak konflik yang menguras tenaga dan air mata, saya akhirnya bisa memahami mereka dan sebalinya. Mereka menjadi pelipur lara saya di tengah kesepian dan dalam terpaan rindu yang menggebu – gebu. Mereka dapat diandalkan dalam banyak kondisi. Saya hampir tak pernah merasa sendiri. Mereka tak pandai dalam berkata – kata, tetapi semua apa yang mereka lakukan mengungkapkan semuanya. Mereka menjadi sahabat di kala senang dan menjadi saudara dalam kesukaran. Saya tidak akan melupakan mimik muka mereka yang polos dan candaan mereka yang bisa membuat saya tertawa terpingkal – pingkal. Tidak hanya itu, mereka membawa saya menikmati keindahan alam di daerah yang dipenuhi karang itu. Matahari terbit yang megah, langit biru yang sangat bersih, pantai yang begitu indahnya, angin sepoi - sepoi yang membelai lembut, matahari terbenam yang membuat saya terdiam karena tidak bisa dijelaskan keindahannya. Hal - hal tersebut tidak akan pernah saya temui di tempat lain. Waktu satu setengah tahun di Kupang menjadi sangat singkat jika mengingat semua yang sudah saya alami di sana.


Di sinilah saya yang telah kembali ke hiruk pikuk kota besar. Tempat di mana mencari persahabatan sejati seperti mencari jarum dalam jerami. Hidup tak pernah habis dengan segala kejutannya. Siapa yang tahu saya bisa mengalami kehidupan yang begitu luar biasa di tempat antah berantah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Hidup memang tidak pernah berhenti memberi kejutan. Semoga Tuhan membalas segala kebaikan mereka karena saya berhutang banyak atas setiap tawa bahagia dan pelajaran yang telah mereka berikan.
Continue Reading...

Sabtu, 21 Februari 2015

Mungkin Saya Sedang Malas

Saya terhentak membaca status seorang teman kemarin. Berikut statusnya :
"Orang lain bisa, kamu gak bisa. Cuma ada 2 hal. Petama, orang lain berusaha lebih keras. Kedua, Kamu malas. Karena gak ada yang namanya hoki, semua pake usaha. Mikir! Jangan Santai!"
Jleb! 

Saya kadang - kadang berpikir, kenapa teman - teman saya bisa sedangkan saya tidak bisa. Kenapa teman - teman saya bisa sukses sedangkan saya begini - begini saja. Baiklah, berikut sebuah cerita nyata tentang kondisi saya sekarang. 

Jadi, selama dua tahun terakhir saya bekerja di sebuah LSM di Bandung. Pekerjaannya asik, menarik dan sangat sesuai dengan passion saya. Pekerjaan yang saya idamkan sebelumnya. Tugas di lapangan di luar kota dan bisa pulang dalam waktu tertentu, tidak terlalu banyak tekanan dan memberi saya banyak waktu untuk melakukan hobi saya yaitu jalan - jalan. Gajinya juga lumayan untuk saya yang masih sendiri. Dari awal saya menyadari bahwa saya tidak akan selamanya di situ. Begitu proyek yang saya kerjakan selesai, saya berencana untuk keluar dengan maksud untuk mencari tantangan baru. Tentunya saya akan keluar jika sudah ada pekerjaan di tempat lain. Selama saya bekerja, saya mengerjakan segala sesuatunya dengan sebisa saya. Tetapi apa yang kamu bisa terkadang belum maksimal. Akan selalu kurang. Memasuki tahun 2015 dengan berbagai resolusi dan harapan, saya dihadapkan pada keadaan saya harus keluar dari pekerjaan saya karena kontrak yang habis. Hal itu sesuai dengan rencana saya sebelumnya tetapi dalam keadaan yang tidak saya harapkan. Kondisi di sekitar saya sedang tidak baik. Alam sedang berkonspirasi untuk menguji saya. 

Saya mulai berputus asa sambil memandang iri kepada orang - orang yang sudah melaju kencang di depan saya. Saya tiba pada titik di mana saya tidak punya kepercayaan diri untuk melangkah maju. Kemudian saya kembali ada status teman saya. Saya seperti ini karena saya malas (?) Bisa jadi. Orang diberikan kemampuan yang berbeda - beda tetapi dengan kekurangan dan kelebihan masing - masing berarti semua orang punya kesempatan yang sama untuk mencapai sesuatu. Benar, usaha yang membedakan. Semakin keras usaha, semakin terbuka kesempatan untuk mencapai sesuatu. Segala sesuatu di dunia ini bukan lotere yang sedang menunggu pemenang dengan mengharapkan keberuntungan.

Ah, entah apalah teori ini. Kamu bukan tidak beruntung, Rara. Mungkin kamu sedang malas saja

Continue Reading...

About

Blogroll

About