Senin, 23 September 2013

Menghargai Perbedaan : Asshole!

Siang ini, aku melihat sebuah gambar yang diposting oleh teman di media sosial tentang penolakan adanya gereja di sebuah kawasan di Jakarta. "Anjing-anjing gereja bertobatlah kalian", "Harga mati tutup gereja', dll. Yang saya tahu, hal ini dibuat oleh sebuah forum yang mengatasnamakan sebuah agama mayoritas. Kejadian penolakan terhadap pembangunan gereja ini bukan untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Disebut anjing hanya karena beda keyakinan dan tentunya karena minoritas, itu di INDONESIA! Yang katanya menjunjung tinggi perbedaan dan menghargai setiap perbedaan. Tak habis pikir dengan mereka yang merasa paling benar. Siapa kalian yang bisa menilai tingkat keimanan seseorang dan mencap seseorang berdosa di saat dia hanya menyembah Tuhan yang kalian anggap tidak sama? Toh, kami tidak melakukan hal-hal buruk. Kami tidak membunuh, memperkosa, mencuri dsb. Kami hanya ingin beribadah dengan tenang dan sedapat mungkin tidak menganggu orang lain. 

Begitu cepatnya sang presiden yang terhormat ketika ada kejadian berkaitan dengan agama dan kemanusiaan di negara lain. Caper. Sok mengurusi bangsa lain padahal bangsanya sendiri sedang ditindas oleh sesamanya. Sungguh lelah hidup di negeri ini. Negeri yang katanya menunjung tinggi perbedaan tapi nyatanya omong kosong dan hanya jadi slogan. Penguasa tamak dan orang - orang bodoh tak toleran yang membuatnya hanya sebagai pajangan. 

Alkitab menulis "Tetapi Aku berkata kepadamu : Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Matius 5:44). Itulah yang diajarkan kepada kami untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Walaupun sesungguhnya hati dan darah ini panas ingin meremukkan kepala orang-orang yang menginjak-injak kami. Semoga Tuhan mengampuni kalian dan saya yang kurang sabar.
Continue Reading...

Minggu, 15 September 2013

Para Lelaki Perkasa dari Rinjani

"Over every mountain there is a path, although it may not be seen from the valley" - Theodore Roethke



Seorang senior di Palawa Unpad pernah berkata "Kamu belum naik gunung kalau belum naik Gunung Rinjani". Keindahannya memang bisa membuat banyak orang terpikat. Bukan hanya untuk pendaki gunung, orang yang tidak senang berpetualang di alam bebas pun sangat ingin menginjakkan kaki dan menikmati pelataran Dewi Anjani ini. 

Pesona Gunung Rinjani inilah yang membuat saya memendam impian untuk mendakinya, sehingga saya langsung setuju saat ada ajakan untuk mendaki gunung ini. Bagi kami yang Non Muslim, libur Lebaran merupakan waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan, baik untuk sekedar travelling ke sebuah kota atau melakukan petualangan di alam bebas. Waktu ajakan pendakian itu datang dalam waktu yang singkat, saya tidak ragu untuk menyetujuinya karena ada kepuasan tersendiri bila berhasil melakukan perjalanan dengan persiapan singkat meskipun harus berakhir dengan kantong kosong, kering dan gersang.

Mendaki gunung bukan hanya masalah tiba di puncak atau mengambil foto untuk kemudian dipamerkan. Ada hal - hal yang lebih daripada itu. Tetapi hal ini tergantung pada filosofi pendaki gunung itu sendiri. Setiap gunung mempunyai cerita dan keunikannya masing - masing. Bahkan Gunung Geulis atau Gunung Manglayang pun yang tingginya tidak seberapa bisa mempunyai cerita yang menakjubkan jika kita bisa memahami sepenuhnya makna sebuah perjalanan.

Gunung Rinjani menyediakan banyak cerita untuk diserap, gunung ini bukan hanya memberi landscape yang indah bagi para penikmat pemandangan, tetapi gunung ini juga menjadi tempat agung untuk para peziarah. Selain itu gunung ini juga menjadi ladang pendapatan bagi para lelaki lokal yang menyediakan jasa sebagai porter.

Pengurus Taman Nasional Gunung Rinjani menyediakan porter dan guide bagi mereka yang tidak ingin capek – capek membawa carrier, membangun tenda atau memasak. Fasilitas ini biasa digunakan oleh mereka yang memang jarang naik gunung dan sekedar ingin berwisata. Pada perjalanan ini, kami tidak menggunakan porter ataupun guide. Selain karena tidak punya uang lebih, kami juga merasa masih kuat untuk membawa barang sendiri walaupun pendakian ini pun disebut “ekspedisi ngesot”. Lebih tepatnya lagi sih, gengsi!

Kami berjalan dengan ritme santai, menghibur diri bahwa kami berjalan lambat karena ingin menikmati perjalanan padahal kenyataannya, barang bawaan yang lumayan berat dan tenaga yang tidak seperti dulu lagi menjadi salah satu alasan. Di sepanjang perjalanan kami bertemu dengan puluhan porter yang berjalan cepat sambil memikul tenda, air, kayu bakar dan bahan makanan yang sangat berat. Mereka harus cepat tiba di tempat tujuan sesuai dengan program yang disepakati dengan tamu. Sampai di tempat tujuan tugas mereka adalah membuat tenda yang nyaman dan memasak makanan yang enak. Memasak pun tidak boleh sembarangan karena harus sesuai dengan keinginan tamu serta makanan yang tidak boleh sama dalam satu program tersebut. Hal ini bukan masalah besar karena mereka mempunyai sertifikasi untuk menjadi porter termasuk di dalamnya keahlian dalam memasak. Para porter ini merupakan masyarakat Suku Sasak yang tinggal di Desa Sembalun Lawang dan Desa Senaru, dua jalur umum pendakian Gunung Rinjani yang paling sering digunakan. Umur mereka bervariasi, ada yang masih muda dan sebagian sudah separuh baya. Siapapun bisa menjadi porter asal memenuhi syarat dan tentunya masih kuat untuk memikul beban berat. Dengan bayaran normal Rp. 125.000,-/hari dan naik dua kali lipat pada high season, mereka menaiki Rinjani sekitar 2 kali seminggu dengan sendal jepit atau bahkan tanpa alas kaki. Saya terkesan dengan kekuatan dan keperkasaan mereka yang dapat melewati tebing-tebing terjal (khususnya jalur dari Danau Segara Anakan ke Plawangan Senaru atau ke Plawangan Sembalun) dengan barang bawaan mereka tanpa terpeleset. Yang lebih mengagumkan lagi adalah mereka yang tetap berpuasa sepanjang hari saat melakukan pendakian.

Tepat pada Hari Idul Fitri 1943 H kemarin, masih banyak porter yang melakukan pekerjaan mereka. Bahkan ada yang masih melayani tamu pada malam takbiran. Untuk mereka, Lebaran di Rinjani sudah menjadi hal yang biasa. Tak ada ketupat atau bahkan opor ayam seperti yang biasanya ada. Mereka memilih untuk bercengkrama dengan gunung yang sudah seperti halaman bermain bagi mereka, gunung yang sudah menjadi sumber penghidupan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari para lelaki perkasa ini. Entah siapa yang lebih beruntung, apakah kita yang menikmati makanan enak sambil berkumpul dengan keluarga atau mereka yang asik “bermain” dalam terjalnya jalanan dan dinginnya kabut Rinjani demi sesuap nasi. Saya juga tidak berani berspekulasi.


NB : 
Telah diedit oleh tim website Palawa Unpad dan telah dipublikasikan di www.palawaunpad.com

Continue Reading...

Kupang : Tak Seperti Yang Dibayangkan Sebelumnya

Flobamora, begitu kota ini sering disebut. Kupang merupakan ibu kota Propinsi Nusa Tenggara Timur, propinsi yang “didaulat” sebagai propinsi termiskin di Indonesia saat ini. Masyarakat Kupang mayoritas beragama Kristen dan Katolik. Itulah salah satu pertimbangan mengapa saya ditempatkan di sini oleh Lembaga Swadaya Masyarakat tempat saya bekerja sekarang. Tidak ada keraguan pada saat saya menerima tawaran ini karena di samping suka mendatangi tempat – tempat baru, saya rasa  saya akan cocok dengan kultur masyarakat di sini yang tidak beda jauh dengan kampung saya, Toraja.

Kota Kupang tidak seramai ibukota di Jawa bahkan Sulawesi. Jika dibandingkan, mungkin sama ramainya dengan Kota Garut di Jawa Barat. Di lihat dari udara, pemandangan hanya akan didominasi oleh ilalang dan pohon – pohon yang  tidak seberapa tinggi. Bangunan di kota ini berdiri di atas karang – karang yang keras sehingga jarang ada bangunan tinggi. Di samping itu, harus diakui bahwa Kupang dan daerah di sekitarnya memiliki garis pantai yang panjang dan indah. Selain indah, pantai – pantai ini masih jarang terjamah sehingga keindahannya masih asli. Kita tidak akan bosan dengan pemandangan pantai, sunset dan aktifitas nelayan. Dialek yang lucu juga membuat saya sangat tertarik untuk mempelajari bahasa di sini. Mereka berbicara seperti rapper karena cepat dan susah untuk ditangkap jika belum terbiasa. Di Kupang atau di NTT secara umum, ada banyak sekali suku daerah. Suku Timor, Suku Flores, Suku Rote, Suku Manggarai, Suku Sumba Barat, Suku Sumba Timur dan masih banyak lagi. Tiap suku walaupun di propinsi yang sama, mempunyai karakter dan kebiasaan yang berbeda. Suatu kesenangan tersendiri mendengar teman – teman baru di sini jika menceritakan tentang karakter masing – masing suku karena selalu dibumbui dengan humor yang bisa membuat kami tertawa terpingkal – pingkal.

Walaupun fasilitas hiburan di kota ini terbilang sedikit, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu. Salah satunya dengan nongkrong di Taman Nostalgia. Taman ini berada di jalan menuju Bandara El Tari, diresmikan pada tahun 2011 bersamaan dengan Gong Perdamaian Nusantara yang berada di tengah – tengahnya. Taman ini disediakan bagi warga Kupang untuk melakukan aktifitas bersantai seperti lari sore, main basket, menikmati live music yang diadakan hampir setiap Hari Sabtu malam atau sekedar duduk sambil menikmati kopi dan jajanan salome. Saya tertawa ketika pertama kali mendengar kata “salome” merupakan nama sebuah peganan favorit di Kupang. Artiny agak jorok bagi mereka yang pernah mendengar sebelumnya. Salome berbentuk bulat, kecil, terbuat dari terigu dan daging. Bentuk dan rasanya mirip bakso. Yang membedakan hanya “bakso” kecil ini digoreng lagi setelah dilumuri telur dan ketika akan disantap dilumuri lagi dengan bumbu kacang. Bisa menambahkan kecap atau sambal sesuai dengan selera. Jajanan ini bisa dibilang yang paling top di Kupang di samping gorengan. Masyarakat Kupang tidak terlalu kreatif dalam hal makanan.

Masih berbicara tentang makanan, bagi mereka yang Non Muslim jika ke Kupang harus merasakan se’i babi. Saya menganggap bahwa olahan daging babi di Toraja adalah yang terbaik. Tetapi itu sebelum saya memakan se’i babi. Rasanya nikmat tiada dua. Se’i adalah daging asap yang sampai saat ini rahasianya belum saya ketahui. Yang saya tahu, bumbunya meresap dan sangat pas. Jika bukan karena ancaman kolesterol, saya tidak akan bosan untuk memakannya setiap hari. Se’i ada yang dijual per porsi dan kiloan. Paket kiloan ini biasanya digunakan sebagai oleh – oleh.

Banyak yang menganggap Kupang adalah daerah tertinggal dengan sumber daya manusia yang juga terbelakang secara pengetahuan. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu. Sebagian besar masyarakat Kota Kupang sudah mengenal teknologi. Itu bisa dilihat dari gadget yang mereka gunakan dan pergaulan remajanya. Menurut beberapa teman yang asli Kupang, pergaulan sebagian besar remaja di sini agak bebas. Itu dapat dilihat dengan banyaknya gadis yang hamil di luar nikah dan cara berpakaian. Salah satu hal yang menarik adalah para remaja di Kupang mengadopsi “American Style” dalam hal pesta seperti pesta ulang tahun. Bagi mereka yang mampu dan ingin eksis, cukup mengadakan pesta sepanjang malam tanpa membatasi undangan. Silahkan datang bagi yang ingin datang. Tamu akan disuguhi dengan makanan dan minuman serta musik seperti di klub malam. Ramai atau tidaknya pesta akan berpengaruh pada pengakuan dalam lingkungan sosial. Jika pesta itu ramai, maka besok sang pembuat pesta akan terkenal dan menjadi perbincangan.


Bagaimanapun keadaannya, datang dan tinggal di tempat ini merupakan suatu pengalaman luar biasa yang pernah terjadi dalam hidup saya. Kadang saya harus melawan jenuh dan rindu akan kebisingan Kota Bandung serta suasana nyaman bersama keluarga di Toraja. Tetapi inilah resiko sebuah pekerjaan, sebuah zona tidak nyaman yang telah saya pilih. Tidak ada cara lain selain menikmati dan mengeksplor Tanah Timor yang menyimpan banyak cerita dan keindahan.
Continue Reading...

About

Blogroll

About