Minggu, 22 Januari 2017

Pulau Rote, Selatan Yang Terlupakan

"No man is an island, entire of itself; every man is a piece of the continent, a part of the main" -John Donne-

Sepertinya aku pernah menceritakan tentang kebahagiaanku ditempatkan di Nusa Tenggara Timur. Aku rasa semua setuju bahwa daerah timur Indonesia menyimpan banyak keindahan yang tidak banyak diketahui orang. Aku yang berada di Kupang saat itu -tahun 2014- mempunyai banyak waktu luang untuk mengintip sedikit dari keindahan mereka. Pada suatu hari yang cerah akhirnya aku gunakan untuk menyeberang ke pulau paling selatan Indonesia, Pulau Rote -ada yang menyebutnya Pulau Roti-

Aku berangkat bersama teman kerjaku. Kami bersama-sama menghabiskan akhir minggu untuk mengunjungi tempat baru yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Dari Kupang tidak sulit untuk menuju Pulau Rote. Yang perlu dilakukan hanyalah datang ke pelabuhan dan membeli tiket untuk menyeberang. Anda bisa memilih untuk naik kapal cepat -sekitar 2 jam perjalanan- dari Pelabuhan Tenau atau naik kapal lambat -sekitar 4 jam perjalanan- dari Pelabuhan Bolok. Kami memilih naik kapal cepat karena kami tidak ingin menghabiskan waktu kami duduk di kapal tanpa melakukan apa-apa walaupun kami harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk itu. Rote is awaiting.

Dua jam menerjang ombak, aku memilih untuk duduk di luar, yang berarti langsung terkena sengatan matahari. Tetapi pilihan itu sulit untuk untuk disesali karena setimpal dengan apa yang bisa dilihat sepanjang perjalanan. Dalam 2 jam perjalanan tersebut, 30 menit kedua adalah waktu-waktu yang menegangkan karena kapal akan berada di perairan lepas dan merupakan pertemuan arus. Konon dulu di perairan tersebut terdapat kapal yang ditelan ombak karena dihantam gelombang. Tidak ada satupun penumpang ataupun awak yang dapat ditemukan. Cerita tersebut dan goncangan kapal membuat aku mengucapkan doa berkali-kali.

Ketika kapal sudah menerjang ombak seperti seharusnya dan sebuah 'muncung' pulau sudah terlihat, maka perjalanan tinggal setengahnya. Batu-batu karang sepanjang pinggiran pantai akan menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan. Tampak seperti tidak ada kehidupan di pulau ini. Sekitar satu jam aku mengedarkan pandangan di sepanjang pulau dan lautan. Pulau Timor memang memiliki surga yang tersembunyi. Namun kemudian aku menyadari bahwa itu belum ada apa-apanya dibandingkan keindahan di sisi pulau yang lain.

Setelah sekitar 2 jam perjalanan, tibalah kami di sebuah dermaga yang terbilang sepi. Tempat kecil itu mendapatkan statusnya sebagai dermaga dengan bantuan beberapa kapal yang sedang bersandar untuk sesaat serta aktifitas penumpang yang turun dari kapal yang baru saja tiba. Pulau Rote secara administratif berada di Kabupaten Rote Ndao yang beribukota di Ba'a, tepat di mana dermaga yang baru kami pijak berada. Untuk sebuah ibukota kabupaten, Ba'a menurutku terlalu kecil dan sepi. Hanya terlihat beberapa aktifitas warga yang sebagian besar adalah nelayan dan pegadang. Selain itu hanya ada satu bank yang melayani kegiatan perbankan warga, Jadi jangan heran jika hendak mengambil uang melalui mesin ATM, akan terjadi antrian yang sangat panjang. Begitu pula dengan urusan bahan bakar, hanya ada satu SPBU yang melayani masyarakat Pulau Rote untuk pengisian bahan bakar. Harga bahan bakar di sini lebih mahal dua kali sampai tiga kali lipat harga bahan bakar di Kupang, ibukota provinsi.

Sore itu kami langsung memacu motor menuju pantai yang tidak jauh dari dermaga. Air sedang surut jadi pantai terlihat lebih luas. Pantai ini terdiri dari pasir putih yang sangat bersih tanpa sampah. Beberapa meter dari bibir pantai, berdiri batu-batu karang berukuran besar berukuran 3-5 meter tingginya. Kami berfoto sepuasnya karena tidak ada orang lain di pantai itu. Matahari segera terbenam, kami memacu kembali motor kami untuk pulang dan tidak lupa singgah di sebuah perbukitan yang penuh rumput untuk melihat matahari menuju peraduannya. Malam itu kami tidur di rumah kontrakan salah satu teman kami yang bertugas di sana.

Umek Bubu, rumah khas yang berfungsi untuk menyimpan hasil panen atau hasil laut

Pagi hari kami sudah bersiap-siap untuk melihat sisi lain pulau. Perjalanan itu tidak akan terlupakan karena kami menaiki sebuah motor merk RX-King yang mengangkut kami bertiga. Aku tidak bisa berhenti tertawa karena kekonyolan itu. Perjalanan kami jauh ke timur dengan melewati padang rumput luas tempat sapi dan kuda sedang mencari makan. Sangat jarang terlihat rumah. Jarak rumah satu ke rumah lainnya bisa lebih dari satu kilometer. Tapi jangan tanya, jalan raya sepanjang pulau ini sangat mulus. Mungkin dikarenakan jarangnya kendaraan besar yang lewat.

Setelah memacu motor selama satu setengah jam danberistirahat untuk memakan bekal yang kami bawa di sebuah rawa laut yang sangat tenang, tibalah kami di sebuah pantai yang sangat sepi. Aku tidak bisa mendeskripsikan birunya air laut hari itu dan betapa indah pemandangan yang terbentang di depan mata kami. Ada beberapa kapal nelayan yang parkir di pinggir pantai yang bergoyang-goyang kecil diterpa angin laut. Tidak ada orang lain selain kami bertiga. Nelayan pemilik kapal pun tak nampak batang hidungnya sama sekali. Setelah puas menikmati, kami memacu motor kembali dengan formasi yang sama. Tidak jauh dari situ kami tiba di lagi di sebuah teluk kecil yang juga sangat sepi. Hanya ada sekitar 2 atau 3 penduduk yang sedang duduk santai. Ternyata mereka adalah para pencari rumput laut untuk dijual ke Ba'a. Begitu ditanya apakah mereka sering ke Kupang, mereka mengatakan bahwa hanya dari beberapa penduduk desa itu yang pernah menyeberang dan menginjak Kota Kupang. Bahkan untuk ke Ba'a pun bisa dihitung dengan jari. Mereka juga bercerita bahwa tidak banyak wisatawan yang datang ke pantai itu. Hanya beberapa wisatawan asing yang singgah untuk mengambil gambar kemudian melanjutkan perjalanan ke Pantai Bo'a untuk berselancar. Pantai Bo'a adalah sebuah pantai yang konon adalah pantai pribadi milik Panji Soeharto, cucu dari mantan presiden Soeharto. Memang Nusa Tenggara Timur adalah salah satu saksi bisu kedigdayaan keluarga mantan orang satu di Indonesia itu.

Puluhan kerbau sedang berendam di rawa laut tempat kami beristirahat
Rumput laut yang dikeringkan yang kemudian dijual ke tengkulak

Matahari semakin condong ke barat. Kami berjalan sedikit ke balik tebing tidak jauh dari teluk tersebut dan kami menemukan sebuah pantai yang cukup luas yang didominasi oleh batu bukannya pasir seperti pantai yang lainnya. Aku duduk dan kembali tidak bisa berkata-kata karena tidak ada kata yang bisa menggambarkan birunya laut dan langit sore itu. Sejauh mata memandang hanya laut yang sangat bersih dan jauh dari jamahan manusia. Sebuah surga kecil yang tersimpan di pulau paling selatan Indonesia.

Pantai yang didominasi batu
Surga kecil di pulau paling selatan Indonesia


Aku pulang ke Ba'a dengan senyum yang sangat lebar. Perjalanan ini adalah sebuah perjalanan yang akan membekas di hati dan pikiranku di mana aku bertemu dengan bergitu banyak hal baru. Semakin aku mengingatnya semakin aku yakin bahwa Tuhan menitipkan surga-surga kecil yang Tuhan titipkan di dunia ini. Salah satunya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

Continue Reading...

About

Blogroll

About