Jumat, 17 Mei 2013

Perjalanan ke Selatan dan Elvi Sukaesih

Share it Please
Catatan yang tertinggal..
Thaekek, 1 Desember 2011 

"Aku memuja mereka para pencipta nada indah yang membawaku terlelap tidur di atas kursi robek yang tidak empuk sama sekali.."

Kami bangun agak pagi hari ini karena kami berencana untuk mendatangi Kedutaan Besar Indonesia di Laos. Masih menggunakan sepeda yang kami sewa semalam, kami menyusuri pusat kota Vientiane dengan berboncengan. Sebelumnya, kami menuju morning market untuk mencari sarapan. Lagi-lagi sulit untuk menemukan makanan yang tidak mengandung babi sehingga kami hanya membeli peganan-peganan kecil (yang kami yakini tidak ada babinya) untuk mengganjal perut. Saya adalah seorang Kristen yang tidak ada masalah dengan babi, hanya saja rasanya tidak toleran jika saya makan daging babi dengan lahap di hadapan ketiga teman yang beragama Muslim.

Morning market

Dengan bermodalkan peta dan bertanya pada orang yang kami temui, akhirnya kami menemukan KBRI di Laos. Senang rasanya bertemu orang sebangsa di negara orang lain. Kami tidak perlu capek-capek untuk berbahasa Inggris atau menggunakan bahasa isyarat seperti yang kami lakukan kemarin. Salah satu petugasnya bernama Heni, merupakan salah satu alumni Universitas Padjadjaran Jurusan Hubungan Internasional FISIP sehingga dia langsung tahu ketika kami menyebutkan Palawa Unpad. Setelah berbincang dan mengutarakan maksud kedatangan kami, kami menyerahkan fotocopy paspor yang (katanya) akan sangat berguna jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Salah satu petugas KBRI menyayangkan tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu akan kedatangan kami sehingga mereka bisa bersiap-siap. Kami juga dipesankan untuk berhati-hati karena wilayah tempat gua yang akan kami telusuri masih terisolasi dan sulit bagi penduduknya untuk menerima kedatangan orang baru. Kami berfoto dengan para petugas KBRI dan kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang karena kami akan segera bertolak ke Thaekek, ibukota Propinsi Khammuoane yang akan menjadi titik temu kami dengan anggota tim lain yang akan datang dari Indonesia beberapa hari ke depan. Dengan diantarkan oleh sopir taksi yang sama saat pertama kali kami menginjakkan di Laos, kami tiba di South Terminal dan menuju Thaekek pukul 1 siang menggunakan bis VIP bertingkat 2 seharga 80.000 kip.

KBRI di Laos
South Terminal dan Bus VIP menuju Thaekek
Perjalanan dari Vientiane menuju Thaekek memakan waktu sekitar 7 sampai 8 jam. Sama dengan jarak tempuh dari Makassar menuju ke kampung saya, Toraja. Pemandangan sepanjang jalan cukup menarik. Perumahan penduduk yang banyak menjual makanan berupa daging babi, daging ayam serta ikan yang ditusuk dengan kayu tebal sekitar 15 cm. Makanan tersebut akan dipanaskan dengan dipanggang jika ada yang membeli dan akan dijual bersama nasi ketan atau sticky rice. Orang-orang Laos tidak suka makan nasi yang dikukus (steamed rice) seperti orang Indonesia . Perjalanan berkelok-kelok dan jauh itu tidak bisa mengalahkan rasa kantuk saya. Saya tertidur sepanjang sisa perjalanan.

Barang-barang diturunkan dari tuk-tuk
Kami tiba pada pukul 8.30 malam di terminal Thaekek dan langsung mencari penginapan dengan menggunakn tuk-tuk, kendaraan umum khas yang bentuknya seperti delman, hanya saja kudanya diganti dengan motor. Makan malam kami ramai dengan adanya Mr. Mee, lelaki berumur 32 tahun bertubuh kecil dan pendek, guide yang akan mengantarkan kami menuju Gua Khoun Xe, gua besar yang hendak kami telusuri dalam kegiatan World Gigantic Cave Expedition. Dengan bahasa inggris yang terbilang lancar, Mr. Mee menjelaskan tentang akses, perijinan dan dana untuk menuju ke gua tersebut sambil bercanda sesekali.

Setelah makan malam, saya dan Fariz bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Phakse di sebelah selatan Kota Thaekek. Phakse merupakan ibukota Propinsi Champasak. Menggunakan tuk-tuk ke terminal Thaekek dan kami pun berangkat menuju Phakse pada pukul 11 malam dengan menggunakan bis ekonomi yang sesak oleh penumpang dan barang-barang bawaan mereka. Kami beristirahat panjang sambil mendengarkan lagu dangdut versi Thailand yang sengaja diputar keras-keras oleh sopir bis agar tidak mengantuk. Saat itulah saya benar-benar menyadari bahwa dangdut Indonesia jauh lebih bagus Berbanggalah kita memiliki Elvi Sukaesih, Ikke Nurjana, Iis Dahlia dan penyanyi dangdut Indonesia lainnya. Paling tidak cengkokan dan suara mendayu-dayu mereka lebih enak didengar. Hail dangdut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About