Thaekek, 1 Desember 2011
"Aku memuja mereka para pencipta nada indah yang membawaku terlelap tidur di atas kursi robek yang tidak empuk sama sekali.."
Kami bangun agak pagi hari ini
karena kami berencana untuk mendatangi Kedutaan Besar Indonesia di Laos. Masih
menggunakan sepeda yang kami sewa semalam, kami menyusuri pusat kota Vientiane
dengan berboncengan. Sebelumnya, kami menuju morning market untuk mencari
sarapan. Lagi-lagi sulit untuk menemukan makanan yang tidak mengandung babi
sehingga kami hanya membeli peganan-peganan kecil (yang kami yakini tidak ada
babinya) untuk mengganjal perut. Saya adalah seorang Kristen yang tidak ada
masalah dengan babi, hanya saja rasanya tidak toleran jika saya makan daging
babi dengan lahap di hadapan ketiga teman yang beragama Muslim.
Dengan bermodalkan peta dan
bertanya pada orang yang kami temui, akhirnya kami menemukan KBRI di Laos.
Senang rasanya bertemu orang sebangsa di negara orang lain. Kami tidak perlu
capek-capek untuk berbahasa Inggris atau menggunakan bahasa isyarat seperti
yang kami lakukan kemarin. Salah satu petugasnya bernama Heni, merupakan salah
satu alumni Universitas Padjadjaran Jurusan Hubungan Internasional FISIP
sehingga dia langsung tahu ketika kami menyebutkan Palawa Unpad. Setelah
berbincang dan mengutarakan maksud kedatangan kami, kami menyerahkan fotocopy paspor
yang (katanya) akan sangat berguna jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Salah satu petugas KBRI menyayangkan tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu
akan kedatangan kami sehingga mereka bisa bersiap-siap. Kami juga dipesankan
untuk berhati-hati karena wilayah tempat gua yang akan kami telusuri masih
terisolasi dan sulit bagi penduduknya untuk menerima kedatangan orang baru.
Kami berfoto dengan para petugas KBRI dan kembali ke penginapan untuk mengambil
barang-barang karena kami akan segera bertolak ke Thaekek, ibukota Propinsi
Khammuoane yang akan menjadi titik temu kami dengan anggota tim lain yang akan
datang dari Indonesia beberapa hari ke depan. Dengan diantarkan oleh sopir
taksi yang sama saat pertama kali kami menginjakkan di Laos, kami tiba di South
Terminal dan menuju Thaekek pukul 1 siang menggunakan bis VIP bertingkat 2
seharga 80.000 kip.
Perjalanan dari Vientiane menuju
Thaekek memakan waktu sekitar 7 sampai 8 jam. Sama dengan jarak tempuh dari
Makassar menuju ke kampung saya, Toraja. Pemandangan sepanjang jalan cukup
menarik. Perumahan penduduk yang banyak menjual makanan berupa daging babi,
daging ayam serta ikan yang ditusuk dengan kayu tebal sekitar 15 cm. Makanan
tersebut akan dipanaskan dengan dipanggang jika ada yang membeli dan akan
dijual bersama nasi ketan atau sticky rice. Orang-orang Laos tidak suka makan
nasi yang dikukus (steamed rice) seperti orang Indonesia . Perjalanan
berkelok-kelok dan jauh itu tidak bisa mengalahkan rasa kantuk saya. Saya
tertidur sepanjang sisa perjalanan.
Barang-barang diturunkan dari tuk-tuk |
Kami tiba pada pukul 8.30 malam
di terminal Thaekek dan langsung mencari penginapan dengan menggunakn tuk-tuk,
kendaraan umum khas yang bentuknya seperti delman, hanya saja kudanya diganti
dengan motor. Makan malam kami ramai dengan adanya Mr. Mee, lelaki berumur 32
tahun bertubuh kecil dan pendek, guide yang akan mengantarkan kami menuju Gua
Khoun Xe, gua besar yang hendak kami telusuri dalam kegiatan World Gigantic
Cave Expedition. Dengan bahasa inggris yang terbilang lancar, Mr. Mee
menjelaskan tentang akses, perijinan dan dana untuk menuju ke gua tersebut
sambil bercanda sesekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar