Jumat, 15 November 2013

Media Sosial Adalah Ratjun Dunia

Share it Please
"We have more knowledge but less judgement. We built more computers to hold more information, to produce more copies than ever, but have less communication" - Dalai Lama

Sekitar 2000an teman di facebook, 1200an follower di twitter dan 150 teman di path. Begitulah kira-kira gambaran kehidupan media sosial saya. Ini sama sekali bukan tentang pamer keeksisan di dunia maya. Bukan. Lebih kepada perspektif yang lain. Perspektif nilai guna dari media-media sosial kampret ini. Kenapa saya bilang kampret? Karena media sosial begitu besar pengaruhnya dan bisa merubah kepribadian orang secara temporer bahkan permanen. Saya yakin bahwa awal orang bermain media sosial untuk mencari kesenangan, melampiaskan emosi, mencurahkan perasaan, dan mempererat hubungan dengan teman baik yang dekat maupun jauh. 

Jaman facebook masih merajai dunia per-media sosial-an, online bisa dilakukan tiap hari hanya untuk sekedar meng-update status, meng-upload foto dan mengomentari postingan-postingan teman. Awalnya hanya menerima pertemanan dengan mereka yang dikenal tetapi lama-lama menjadi bosan dengan permintaan pertemanan dan dengan cuek menekan tombol accept. Sekarang facebook isinya kebanyakan orang-orang yang setengah kenal dan yang hampir tidak kenal sama sekali.

Update status di facebook juga bukan sesuatu "keharusan" lagi setelah munculnya twitter. Di twitter, kita bisa bercceloteh apa saja yang kita inginkan. Tak ada yang membatasi. Sampai ketika semakin banyak pengguna twitter yang mendadak menjadi "hakim" yang memberi penilaian dan judgement terhadap kicauan seseorang. Muncullah slogan-slogan "I tweet what I want", "Don't judge me by my tweets", dll. Memang, hak setiap orang untuk menuliskan apa saja dan hak setiap orang juga untuk memberi penilaian atau komentar atas apa yang dituliskan. Orang-orang yang takut atau tidak mau menerima kritikan atau komentar buruk, menjadi pasif dan tidak lagi menuliskan ide-ide bebas dalam pikirannya. Penilaian orang di media sosial bisa mempengaruhi psikis dan pergaulan sehari-hari. This is the world, nowdays.

Bermain di media sosial harus bijak, katanya. Harus bisa memilih-milih dengan baik apa yang ingin kita ungkapkan. Dengan pandangan ini, orang akan memberikan pencitraan yang baik-baik saja misalnya memposting kata-kata bijak padahal dia sedang ingin mengumpat, menulis hal-hal yang lucu padahal dia sedang meneteskan air mata, mengomentari kebahagiaan teman dengan hal-hal yang menunjukkan dia sedang bahagia padahal dalam hati iri dengan hal tersebut. Namun, saat mengatakan hal sesuai dengan kondisi sebenarnya, orang-orang akan mulai membicarakan dan mengatakan bahwa kita terlalu ekspresif, lebay dan bisa jadi ilfeel. Media sosial dapat mempengaruhi mood dan perasaan. Bisa senang kemudian berganti menjadi sedih atau marah. Kadang-kadang juga iri atas pencapaian seseorang. Ada banyak juga pertengkaran bahkan perkelahian karena saling bertukar komentar pedas di media sosial. Media sosial menjadi baik atau buruk tergantung dari perasaan dan kondisi psikologis orang pada saat itu. Bercanda bisa jadi serius, sebaliknya hal serius bisa menjadi candaan. Sayangnya, kita tidak bisa mengetahui dan memastikan kondisi orang lain yang sebenarnya karena kita hanya melihat dari apa yang ditulisnya.

Saya termasuk orang yang aktif di media sosial dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam menatap gadget untuk melakukan itu. Hal itu akan sangat mungkin bagi orang-orang yang berada di tempat jauh dari "peradaban" dan teman-teman dekat. Media sosial menjadi salah satu sarana untuk menghilangkan kebosanan. Sekarang tidak perlu menatap tv atau membaca koran karena semua berita terbaru ada di media sosial. Saya bisa menjadi orang yang bercitra baik juga bisa menjadi orang yang lebay dan berlebihan jika bermain media sosial. Semuanya tergantung perasaan saat itu.

Dunia nyata kadang tidak menyenangkan. Dunia maya pun juga begitu. Kita mulai harus mulai bertanya lagi pada diri kita sendiri, hidup mana yang sebenarnya kita hidupi? Saya selalu setuju tentang pernyataan bahwa pergaulan di kehidupan nyata jauh lebih berharga daripada pergaulan di dunia maya. Keeksisan di media sosial tidak selalu menjamin keeksisan di dunia nyata. Walaupun harus diakui juga tidak sedikit orang yang "karir"nya sukses di dua kehidupan yang berbeda ini. Kalau saya tetap akan hidup di  dua dunia itu tetapi akan memilih mana yang harus lebih sering saya "singgahi". Dunia nyata sudah pasti selalu menjadi prioritas karena media sosial itu ratjun dunia!

NB :
Tulisan ini membutuhkan waktu lama dalam penulisan karena penulisnya keasikan menatap gadget (baca : main di media sosial)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About