Catatan yang tertinggal...
Thaekek, 4 Desember 2011
"If you don't know where are you going, Any road will get you there" - George Harrison
Pagi hari ini Thaekek cerah
seperti pertama kali kamu datang ke sini. Setelah sarapan dan pindah ke hotel
yang lebih luas dan mempersiapkan segala sesuatu untuk tim yang baru akan
datang, kami menyewa motor untuk jalan-jalan hari itu. Kami berencana mengunjungi
gua-gua wisata yang ada di sekitar Thaekek. Gua di dalam bahasa Laos disebut
“Tham”. Ada yang menyebutnya “Than”. Kami menyusuri jalan raya yang cukup besar
ke arah Maahaxay. Pemandangan yang sangat luar biasa kami lihat di sepanjang
jalan. Kanan kiri jalan dipenuhi tebing karst yang menjulang tinggi dengan
gagahnya. Saya hanya bisa ternganga melihat gunung batu yang tampak tak
tersentuh sehingga kemegahannya masih sangat terasa. Akan sangat jauh berbeda
jika menyusuri jalan Padalarang, Jawa Barat yang gunung-gunungnya sudah tidak
berbentuk bahkan habis dikarenakan eksploitasi besar-besaran perusahaan meubel.
Perhentian pertama kami jatuh
pada sebuah gua yang merupakan tempat ibadah umat Budha di sekitar daerah
tersebut. Gua itu juga dibuka untuk para wisatawan. Gua tersebut berada di
bawah sebuah tebing yang jika dilihat sekilas akan tampak seperti tebing yang
tersusun dari batuan andesit. Namun, kata Anto, sang Geologist, itu merupakan
batuan karst. Kami menanyai penjaga berapa yang harus kami bayar untuk masuk ke
dalam gua tersebut. Tetapi lagi-lagi kendala bahasa. Bahasa isyarat pun tak
mempan. Jadi kami terus berjalan mengikuti tangga tanpa diinterupsi oleh sang
penjaga. Sepanjang tangga dipenuhi kain warna warni sehingga saya menebak,
sebelum kami ke sana ada perayaan keagamaan. Mulut gua tersebut besar dan di
dalamnya terdapat patung Budha yang sangat besar. Untuk mendekati patung
tersebut, kami harus melepaskan alas kaki. Setelah berfoto dan melihat-lihat,
kami meneruskan perjalanan ke gua selanjutnya.
Gua ini kami temukan berkat
penunjuk jalan bertuliskan “Phan Ya In Cave”. Guanya tampak sudah lama tak
dikunjungi karena jalan menuju ke sana ditutupi semak belukar. Di depan mulut
gua terdapat sebuah patung Budha yang warnanya masih cerah namun sudah berdebu.
Seperti biasa, rasa penasaran membawa kamu untuk melangkah ke dalam gua tanpa
penerangan. Tapi tak perlu khawatir karena
chamber di dekat mulut gua masih sedikit diterangi matahari. Jika berjalan
sedikit ke bawah, kita akan melihat sebuah aliran sungai. Wah, nanti Tham Khoun
Xe juga begini bentuknya, pikir kami. Fariz yang berjalan paling depan langsung
memperlihatkan muka iseng dan
memberikan ide untuk kembali mengambil pelampung. Tapi usulan itu kami tolak
dengan alasan jarak tempuh dan memutuskan untuk datang lagi esok harinya dengan
membawa pelampung.
Perjalanan kami lanjutkan jauh ke
arah Mahaxay. Jalan ini merupakan jalan yang bisa dilalui jika ingin ke
Vietnam. Di kiri kanan jalan masih didominasi oleh tebing-tebing dan rumah
penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari kayu dan sangat sederhana.
Semakin jauh, pemandangan masih sama sehingga kami memutar balik dan kembali ke
arah menuju Thaekek. Di tengah perjalanan, kami tertarik (lagi-lagi) pada
sebuah penunjuk kalan besar tentang keberadaan sebuah gua wisata. Namanya
pernah saya dengar dari Mr. Mee, orang asli Laos yang akan menjadi guide kami
nantinya. 8 km? Tidak terlalu jauh, pikir kami. Kami berempat, saya, Fariz,
Anto, Fia, mempercepat laju motor di atas jalan berdebu tebal. Karena saat itu
musim kemarau, maka tak ayal seluruh debu beterbangan menyambut deru mesin
motor sewaan kami sore itu. Setelah bergulat dengan debu sekitar 20 menit,
tibalah kami di sebuah tempat yang dikelilingi gunung-gunung batu, tempat yang
rasanya pernah saya lihat di sebuah adegan film mandarin. Kami memarkir motor
dan berjalan di sepan sebuah toko souvenir kemudian berjalan menuju gua. Jalan
menuju gua tersebut adalah jembatan kayu yang dibuat di atas sebuah rawa yang
ditumbuhi banyak tumbuhan liar. Makin mirip dengan tempat syuting film,
pikirku. Ternyata rawa tersebut tersambung dengan genangan sungai yang
melintasi gua tersebut. Melihat sebuah perahu kayu usang diparkir di pinggir
rawa, dapat disimpulkan bahwa dulu bada service melalui aliran sungai menaiki
perahu.
Gua ini juga ternyata merupakan
tempat ibadah umat Budha. Untuk masuk ke dalam gua, para wanita harus
menggunakan sarung yang disewakan seharga 5000 kip. Sudah ada tangga permanen
yang dibuat menuju mulut gua tempat orang beribadah. Mulut guanya agak sempit.
Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat pemandangan dalam gua. Gua
tersebut seperti disulap menjadi kuil mini dengan lilin dan instrumen-instrumen
ibadah di sekelilingnya. Di tengah-tengah gua yang cukup luas itu juga digelar
karpet dan di atasnya ada sekitar 7 orang yang sedang berkeliling untuk makan
dan sebagian lagi menghitung uang. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan
karena mereka tampak biasa-biasa saja dengan kedatangan kami. Salah seorang
hanya berseru memberikan isyarat tidak boleh ketika kami mengeluarkan kamera.
Di dalam gua itu tidak boleh memotret. Singkat dan kami memutuskan untuk keluar
meninggalkan tempat itu. Pemandangan di luar gua jauh lebih menakjubkan dan
bukan main indahnya. Kami akan berlama-lama di situ andai saja tidak memikirkan
jalan kembali yang agak jauh sedangkan hari semakin sore.
Debu kembali mengepul. Beberapa
kali yang dibonceng harus keluar turun di motor karena kondisi jalan yang buruk
dan hari sudah mulai gelap ketika kami tiba di jalan raya menuju Thaekek.
Petualangan kami akan dilanjutkan besok. Hari ini cukup karena saudara-saudara
kami yang lain akan segera tiba di Thaekek setelah menempuh perjalanan panjang
dari Vientiane.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar