Rabu, 10 Juli 2013

Kami, Para Turis Gasruk

Share it Please
Catatan yang tertinggal...
Thaekek, 4 Desember 2011 

"If you don't know where are you going, Any road will get you there" - George Harrison

Pagi hari ini Thaekek cerah seperti pertama kali kamu datang ke sini. Setelah sarapan dan pindah ke hotel yang lebih luas dan mempersiapkan segala sesuatu untuk tim yang baru akan datang, kami menyewa motor untuk jalan-jalan hari itu. Kami berencana mengunjungi gua-gua wisata yang ada di sekitar Thaekek. Gua di dalam bahasa Laos disebut “Tham”. Ada yang menyebutnya “Than”. Kami menyusuri jalan raya yang cukup besar ke arah Maahaxay. Pemandangan yang sangat luar biasa kami lihat di sepanjang jalan. Kanan kiri jalan dipenuhi tebing karst yang menjulang tinggi dengan gagahnya. Saya hanya bisa ternganga melihat gunung batu yang tampak tak tersentuh sehingga kemegahannya masih sangat terasa. Akan sangat jauh berbeda jika menyusuri jalan Padalarang, Jawa Barat yang gunung-gunungnya sudah tidak berbentuk bahkan habis dikarenakan eksploitasi besar-besaran perusahaan meubel.


Perhentian pertama kami jatuh pada sebuah gua yang merupakan tempat ibadah umat Budha di sekitar daerah tersebut. Gua itu juga dibuka untuk para wisatawan. Gua tersebut berada di bawah sebuah tebing yang jika dilihat sekilas akan tampak seperti tebing yang tersusun dari batuan andesit. Namun, kata Anto, sang Geologist, itu merupakan batuan karst. Kami menanyai penjaga berapa yang harus kami bayar untuk masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi lagi-lagi kendala bahasa. Bahasa isyarat pun tak mempan. Jadi kami terus berjalan mengikuti tangga tanpa diinterupsi oleh sang penjaga. Sepanjang tangga dipenuhi kain warna warni sehingga saya menebak, sebelum kami ke sana ada perayaan keagamaan. Mulut gua tersebut besar dan di dalamnya terdapat patung Budha yang sangat besar. Untuk mendekati patung tersebut, kami harus melepaskan alas kaki. Setelah berfoto dan melihat-lihat, kami meneruskan perjalanan ke gua selanjutnya.




Gua ini kami temukan berkat penunjuk jalan bertuliskan “Phan Ya In Cave”. Guanya tampak sudah lama tak dikunjungi karena jalan menuju ke sana ditutupi semak belukar. Di depan mulut gua terdapat sebuah patung Budha yang warnanya masih cerah namun sudah berdebu. Seperti biasa, rasa penasaran membawa kamu untuk melangkah ke dalam gua tanpa penerangan. Tapi tak perlu khawatir karena chamber di dekat mulut gua masih sedikit diterangi matahari. Jika berjalan sedikit ke bawah, kita akan melihat sebuah aliran sungai. Wah, nanti Tham Khoun Xe juga begini bentuknya, pikir kami. Fariz yang berjalan paling depan langsung memperlihatkan muka iseng dan memberikan ide untuk kembali mengambil pelampung. Tapi usulan itu kami tolak dengan alasan jarak tempuh dan memutuskan untuk datang lagi esok harinya dengan membawa pelampung.


Perjalanan kami lanjutkan jauh ke arah Mahaxay. Jalan ini merupakan jalan yang bisa dilalui jika ingin ke Vietnam. Di kiri kanan jalan masih didominasi oleh tebing-tebing dan rumah penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Semakin jauh, pemandangan masih sama sehingga kami memutar balik dan kembali ke arah menuju Thaekek. Di tengah perjalanan, kami tertarik (lagi-lagi) pada sebuah penunjuk kalan besar tentang keberadaan sebuah gua wisata. Namanya pernah saya dengar dari Mr. Mee, orang asli Laos yang akan menjadi guide kami nantinya. 8 km? Tidak terlalu jauh, pikir kami. Kami berempat, saya, Fariz, Anto, Fia, mempercepat laju motor di atas jalan berdebu tebal. Karena saat itu musim kemarau, maka tak ayal seluruh debu beterbangan menyambut deru mesin motor sewaan kami sore itu. Setelah bergulat dengan debu sekitar 20 menit, tibalah kami di sebuah tempat yang dikelilingi gunung-gunung batu, tempat yang rasanya pernah saya lihat di sebuah adegan film mandarin. Kami memarkir motor dan berjalan di sepan sebuah toko souvenir kemudian berjalan menuju gua. Jalan menuju gua tersebut adalah jembatan kayu yang dibuat di atas sebuah rawa yang ditumbuhi banyak tumbuhan liar. Makin mirip dengan tempat syuting film, pikirku. Ternyata rawa tersebut tersambung dengan genangan sungai yang melintasi gua tersebut. Melihat sebuah perahu kayu usang diparkir di pinggir rawa, dapat disimpulkan bahwa dulu bada service melalui aliran sungai menaiki perahu.



Gua ini juga ternyata merupakan tempat ibadah umat Budha. Untuk masuk ke dalam gua, para wanita harus menggunakan sarung yang disewakan seharga 5000 kip. Sudah ada tangga permanen yang dibuat menuju mulut gua tempat orang beribadah. Mulut guanya agak sempit. Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat pemandangan dalam gua. Gua tersebut seperti disulap menjadi kuil mini dengan lilin dan instrumen-instrumen ibadah di sekelilingnya. Di tengah-tengah gua yang cukup luas itu juga digelar karpet dan di atasnya ada sekitar 7 orang yang sedang berkeliling untuk makan dan sebagian lagi menghitung uang. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan karena mereka tampak biasa-biasa saja dengan kedatangan kami. Salah seorang hanya berseru memberikan isyarat tidak boleh ketika kami mengeluarkan kamera. Di dalam gua itu tidak boleh memotret. Singkat dan kami memutuskan untuk keluar meninggalkan tempat itu. Pemandangan di luar gua jauh lebih menakjubkan dan bukan main indahnya. Kami akan berlama-lama di situ andai saja tidak memikirkan jalan kembali yang agak jauh sedangkan hari semakin sore.



Debu kembali mengepul. Beberapa kali yang dibonceng harus keluar turun di motor karena kondisi jalan yang buruk dan hari sudah mulai gelap ketika kami tiba di jalan raya menuju Thaekek. Petualangan kami akan dilanjutkan besok. Hari ini cukup karena saudara-saudara kami yang lain akan segera tiba di Thaekek setelah menempuh perjalanan panjang dari Vientiane.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About