Rabu, 28 Oktober 2015

Persib ; Cerita Tentang Persahabatan



Masih terngiang teriakan “Juara! Juara! Juaraaaaa!’ di Gelora Bung Karno, Jakarta malam itu. Ribuan Bobotoh (sebutan untuk pendukung Persib) yang memadati GBK meluapkan kegembiraan bahkan sebelum peluit panjang dibunyikan. Dengan 2 gol di babak pertama dan pertahanan yang solid di babak kedua, kami hari itu yakin Persib akan menjadi juara Piala Presiden 2015. Tuhan bersama tim Maung Bandung. Kami juara di Jakarta.

“Kami”, Persib dan Bobotoh. Sejak kapan aku men-cap diriku bagian dari mereka? Memoriku kembali pada masa kuliah di sebuah universitas negeri di Bandung. Aku seorang gadis yang berasal jauh dari Toraja, Sulawesi Selatan yang datang merantau di Bandung. Aku selalu tertarik pada bahasa dan budaya baru. Hari-hari terlewat dan aku mulai bersahabat dengan para kaum adam teman seangkatanku. Mereka hampir setiap saat menggunakan Bahasa Sunda yang tidak kupahami. Aku mulai belajar bahasa-bahasa ‘kasar’ yang katanya jadi pelajaran wajib bagi seorang pemula. Agak sulit awalnya untuk berbicara dengan benar atau paling tidak menyamakan logat.

Aku sangat suka sepakbola. Hampir setiap saat kami berkumpul kami akan membicarakan tentang sepakbola baik itu tentang pemain, permainan atau bahkan sekedar ledek-ledekan jika tim kesayangan kami kalah. Mereka juga sangat sering membicarakan tentang klub kebanggaan mereka, Persib Bandung. Dari pertama kali mengenal sepakbola, aku tidak pernah tertarik sama sekali pada sepakbola lokal. Sama sekali tidak. Aku jauh lebih menikmati sepakbola Eropa atau Amerika Selatan. Tetapi bersahabat dengan para Bobotoh tidak bisa menghindarkan aku untuk mendengar atau menyimak pembicaraan mereka. Aku sempat bertanya “Emang kalian suka Persib-nya sampe segininya ya?”. Seorang temanku menjawab “Persib itu bukan sekedar klub bola tapi sudah jadi bagian dari budaya dan hidup kami”. 

Aku penasaran. Aku menyambut baik setiap ajakan nonton bareng Persib dan sangat antusias ketika diajak ke stadion untuk menonton Persib langsung. Aku tidak akan melupakan hari itu ketika berdesak-desakan memasuki stadion dan dengan sigap para pria-pria yang kupanggil ‘sahabat” ini membantu, menjaga, membarikade atau apapun namanya agar aku tidak terluka terkena desakan massa yang seperti sedang menunggu antrian sembako. Aku juga tidak akan lupa luapan kekesalan dan kegembiraanku bersama ribuan masyarakat Jawa Barat yang datang mendukung Persib sore itu. Saat itu aku merasa aku jatuh cinta…

Aku mulai tertarik pada sepakbola lokal karena Persib dan karena antusiasme para sahabatku. Aku mulai nimbrung jika ada perbincangan tentang Persib dan mulai menonton pertandingan-pertandingan Persib di layar kaca. Aku juga mulai rajin ke stadion jika ada waktu dan tiket. Seiring dengan itu, Bahasa Sunda-ku juga sudah lancer dan beberapa orang yang kutemui menganggap aku orang Sunda asli. 

Enam tahun berlalu. 7 November 2014 aku tidak bisa datang ke Palembang untuk melihat Persib berlaga di perebutan juara ISL melawan Persipura. Persib memenangkan pertandingan tersebut setelah menunggu dalam waktu yang terbilang lama. Aku hanya datang saat perayaan kemenangan yang berpusat di Gasibu. Akhirnya waktu lain datang. Persib masuk final Piala Presiden 2015. Pertandingan itu diadakan di Stadion Gelora Bung Karno yang terletak di Jakarta. Cerita rivalitas Persib dan Persija Jakarta sudah bukan rahasia lagi. Banyak kabar burung bahwa final itu akan ricuh dan berbagai hal lain terkait keamanan. Aku ragu. Aku meminta pendapat banyak orang terdekat tentang rencana keberangkatanku. Banyak yang menyarankan untuk tidak datang. Aku berpikir keras. Namun ucapan sahabat-sahabatku menguatkan “Percaya ka arurang. Maneh moal nanaon. Arurang pasti ngajagaan maneh kumaha we carana” (Percaya sama kami. Kamu gak bakal kenapa-kenapa. Kami pasti ngejagain kamu gimanapun caranya). Itulah sebuah janji persahabatan yang aku simpan, menguatkan hatiku dan menambah keberanianku. Kemudian berangkatlah aku ke Jakarta pagi itu bersama rombongan bis dan para guardian angel-ku dan doa dari orang-orang tercinta. Dan seperti dongeng, cerita hari itu berakhir indah. Kami berpelukan sambil meneteskan air mata ketika peluit panjang dibunyikan sambil berteriak “Persib juaraaaaaaaaa”.

Persib dan persahabatan bagiku susah untuk dipisahkan. Semua cerita tentang Persib berawal dari sebuah persahabatan seorang wanita dari suku dan daerah lain dengan para pria yang menjadikan klub sepakbola daerahnya menjadi salah satu bagian hidup.
Maraneh dulur aing. Persib nu aing!
Continue Reading...

Selasa, 13 Oktober 2015

Sabtu Bersama Bapak ; Bagi Kalian yang Memutuskan untuk Menikah

Buku ini dianjurkan oleh seorang teman yang sudah hampir 3 tahun menjadi seorang ayah. "Coba baca deh, ra. Sebelum nikah pokoknya harus baca ini", katanya di suatu sore. Akhirnya karena rasa penasaran, saya membeli buku karangan Adhitya Mulya ini. Untuk menambah keasyikan membacanya, saya membacanya pada suatu Sabtu sore sesuai dengan judulnya. 

Buku ini bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari Almarhum ayah, ibu dan 2 anak laki-laki yang umurnya sudah matang. Kakak yang sulung sudah menikah dan sang adik yang sudah berumur dan mapan tetapi belum menikah. Sang ayah sebelum meninggalkan video yang direkam untuk ditonton anak-anaknya pada umur tertentu dan momen tertentu. Buku ini menyingkap realitas kehidupan berkeluarga dan menuturkan lika-liku menjadi orang dewasa yang dituntut untuk bertanggung jawab. Video sang ayah ditujukan agar anak-anaknya tidak kehilangan sosoknya meskipun telah tiada. Saya terhenyut karena apa yang dituliskan di dalam buku ini benar-benar sesuai dengan kenyataan hidup dan berakhir pada gumaman "iya sih emang bener", "tapi emang gitu sih", dan perkataan lain yang membenarkan. Berikut beberapa kutipan yang bisa diambil :

"Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama kuat. Bukan yang saling mengisi kelemahan. Karena untuk menjadi kuat adalah tanggung jawab masing-masing orang bukan tanggung jawab orang lain". Jauh dari kata-kata yang sering kita dengar "kita berdua saling mengisi kelemahan", bukannya "kita berdua harus sama-sama kuat"

"I can't ask for a better you. You, however, deserve a better me". Seringkali kita meminta orang untuk berubah untuk kita atau hubungan kita tetapi kita terkadang tidak sadar di saat kita sibuk meminta orang lain berubah, kita lupa bahwa kita pun belum berubah menjadi orang yang lebih baik. Saya sering begini. Oh, dear...

"Jika ingin menilai seseorang, jangan nilai dia dari bagaimana dia berinteraksi dengan kita, karena itu bisa saja tertutup topeng. Tapi nilai dia dari bagaimana orang itu berinteraksi dengan orang-orang yang dia sayang". Iya juga sih. Seperti yang sering dikatakan orang, jika ingin melihat seorang laki-laki itu baik atau tidak lihat dari caranya memperlakukan ibu dan saudara perempuannya.

"Ketika seorang laki-laki dan perempuan menikah, laki-laki itu meminta banyak dari perempuan.
Saya pilih kamu. Tolong pilih saya untuk menghabiskan sisa hidup kamu. Dan saya akan menghabiskan sisa hidup saya bersama kamu. Percayakan hidup kamu sama saya. Dan saya penuhi tugas saya padamu, nafkah lahir bathin. Pindahkan baktimu. Tidak lagi baktimu kepada orangtuamu, baktimu sekarang pada saya. Bahkan laki-laki saat menikah tidak tahu bahwa mereka meminta ini, banyak juga laki-laki yang bahkan kemudian hari, mencederai tiga hal ini". Couldn't agree more. Dear all men in the world, read this and think carefully before you ask a woman to be your wife. Lalalalala..

Dalam buku ini, sang ayah mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi seorang pria yang bertanggung jawab. Tanggung jawab tersebut berupa nafkah lahir dan batin. Jika salah satunya tidak ada maka kehidupan keluarga tidak akan pernah stabil. Tetapi tidak hanya dari sisi laki-laki, dalam buku ini juga menceritakan tentang sisi perempuan yaitu sang ibu dan istri dari anak sulung. Buku yang ringan tetapi sarat makna bagi kalian yang memutuskan untuk menikah. 

Jadi, kapan nikah? *pura-pura mati*


Continue Reading...

About

Blogroll

About