Perahu sudah terlipat rapi.
Begitu juga dengan pelampung dan dayung milik Palawa Unpad. Hari itu kami
bersiap untuk berarung jeram di Sungai Citarum, Bantar Caringin, Cipatat, Jawa
Barat. Seperti biasa, kegiatan alam bebas selalu menimbulkan gairah yang lebih
apalagi ini untuk pertama kalinya saya akan melakukan arung jeram. Sungai
Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat yang melewati banyak daerah.
Kebetulan yang sering dipakai untuk berarung jeram adalah bagian Sungai Citarum
yang berada di Bantar Caringin, Cipatat. Dari Jatinangor, Bantar Caringin dapat
dicapai dengan menggunakan bis yang menuju ke Sukabumi atau Cianjur dengan
harga Rp. 8000,- pada waktu itu. Dari jalan raya, masih harus menggunakan
kendaraan menuju jembatan yang dekat dengan pembibitan coklat. Untuk yang
membawa banyak barang bisa menyewa mobil bak terbuka yang harganya sekitar Rp.
150.000,- dan masih bisa ditawar. Tiba di Bantar Caringin, saya melihat riak
air dan suaranya yang bertalu-talu seakan menyambut kedatangan kami sambil
berkata “Are you ready for this?”.
Karena kami tiba sore menjelang malam, kami memutuskan untuk melakukan
pengarungan keesokan harinya.
Matahari menyembur dari ufuk
timur dan suara jeram adalah hal pertama yang saya dengar pagi itu. Suara jeram
yang memanggil untuk diarungi dan menantang untuk ditaklukkan. Baju kaos,
celana tiga perempat, sepatu, pelampung dan helm sudah terpasang dengan dayung
masing masing di tangan. Hal yang paling menyebalkan dari kegiatan ini hanya
satu yaitu
portagging, yaitu kegiatan
untuk mengangkut perahu ke titik start yang tidak dekat dan harus melalui jalan
berbatu serta semak-semak. Jika tidak ingin tersiksa, sebaiknya memilih orang
yang mempunyai tinggi yang hampir sama sehingga kekuatan untuk mengangkat
perahu bisa terbagi rata. Tiba di titik start, kami menurunkan perahu dan
kemudian memeriksa lagi perlengkapan dan kondisi perahu sebelum memulai
pengarungan. Titik start yang kami pakai adalah titik start yang sering dipakai
oleh penggiat arung jeram di situ. Tidak masalah jika ingin membuat titik start
sendiri. Dengan mengucap doa dan dengan keyakinan, saya menaiki perahu. Saya
duduk di sebelah kanan paling depan. Perahu tersebut bermuatan 7 orang sudah
termasuk
skipper.
Skipper merupakan orang yang duduk
paling belakang dan bertugas untuk mengendalikan laju perahu dan segala gerakan
penumpang ditentukan olehnya apakah itu mendayung ke depan atau ke belakang,
berhenti, bahkan jika
skipper
menyuruh untuk lompat dari perahu maka itu harus dilakukan. Salah satu senior
saya menjadi
skipper hari itu karena
belum ada dari kami yang bisa menjadi
skipper.
Kami hanya pemula dan kegiatan ini dalam rangka latihan. Perahu melaju
and here we go. Perahu meliuk-liuk
mengikuti gerakan jeram diiringi teriakan skipper yang menyuruh kami untuk
mendayung kuat saat memasuki jeram. Hanya sekitar 5 menit kami sudah tiba di
jembatan dan melipir ke
eddies di
pinggir sungai, menarik nafas,
portagging
lagi dan mengarungi jeram yang sama beberapa kali. Badan sudah lemas dan
rasanya berat badan saya turun beberapa kali karena kegiatan itu. Hari sudah
mulai gelap ketika kami memutuskan untuk menyudahi kegiatan hari itu dan akan
melanjutkannya besok pagi. Malam ini pasti tidur nyenyak setelah seharian
memperbudak otot dan memakan ayam goreng dengan sambal
super enak Mak Ude, wanita paruh baya yang rumahnya kami tumpangi.
Setelah sarapan pagi itu, kami
memulai lagi dengan mengenakan semua perlengkapan. Hari ini kami akan melakukan
pengarungan panjang menuju jembatan baru. Dari jembatan lama, tempat kami
latihan menuju jembatan baru akan memakan waktu setidaknya dua jam. Tapi kami
melakukan beberapa pengarungan pendek terlebih dahulu dan latihan menaiki
perahu yang
flip atau terbalik.
Keadaan perahu terbalik bisa terjadi kapan saja dan yang perlu diperhatikan
adalah bagaimana untuk naik ke perahu lagi dan membalikkannya ke posisi normal.
Selain itu, kita juga harus tahu bagaimana untuk menolong orang yang gagal naik
perahu kembali. Dari awal perasaan saya sudah tidak nyaman. Takut lebih
tepatnya. Bukan hanya karena jeram yang sedikit lebih besar hari itu tetapi
juga karena ukuran badan yang membuat saya susah mengangkat badan naik ke atas
perahu. Hal ini sudah saya latih berkali-kali dan belum berhasil. Tapi jika
kita takut, apakah itu berarti kita tidak akan pernah mencobanya?, kata seorang
yang saya kagumi dalam bukunya. Baru beberapa detik di atas perahu,
skipper meneriakkan kepada kami untuk
membalikkan perahu. Sontak kami semua kaget dan pindah ke
boeing kanan sambil menarik tali di pinggir perahu karet tersebut. Sepersekian
detik dan perahu dalam keadaan terbalik. Saya panik dan terjebak di bawah
perahu terbalik yang terus terbawa arus sungai. Saya minum banyak air sungai
dan pikiran saya tidak terkontrol untuk beberapa saat. Bagaimana kalau saya
mati di sini? Di sungai saat arung jeram? Saya tidak bisa membayangkan reaksi
orang tua saya yang berulang kali menyatakan ketidaksetujuan mereka saya masuk
organisasi pecinta alam. Hal yang pertama yang saya lakukan adalah harus keluar
dari jebakan perahu. Saya meraba-raba dan memegang tali yang ada di perahu dan
menolak kuat-kuat ke arah luar perahu. Saya berhasil keluar tapi permasalahan
lain muncul. Karena sempat berpijak dan menendang perahu, perahu malah semakin
menjauh dari saya. Sungai yang terlalu lebar dan arus yang kuat tidak
memungkinkan saya untuk berenang ke tepian. Saya kemudian mengikuti arus dengan
mempraktekkan renang
defensive.
Renang
defensive di mana kita
menghadap ke hilir dan menyandarkan kepala pada pelampung. Baru kali itu saya
merasakan fungsi pelampung yang sebenarnya. Arus sungai menampar-nampar muka
saya dan tak sedikit masuk ke dalam mulut saya. Sakit rasanya. Beberapa lama
saya tidak tahu apa yang harus dilakukan sementara teman-teman saya sudah
beberapa yang berhasil berenang ke pinggir sungai. Sisanya melihat saya dan
berusaha melemparkan tali
rescue.
Tapi percuma tali
rescue yang kurang
dari 2 meter itu tidak bisa menjangkau saya. Di depan ada sebuah
hole besar yang menurut teori yang saya
pelajari, setelah masuk ke dalamnya badan kita akan diputar-putar sedemikian
rupa dan bukan tidak mungkin bisa terkurung di situ dalam waktu yang lama jika
posisi badan salah. Ada cara untuk lepas dari hole yaitu dengan melakukan
cannon ball. Cara ini dengan menekuk
lutut dan merapatkannya dengan badan sehingga badan berbentuk bola. Saya panik.
Saya tidak bisa berpikir lagi untuk melakukan teori. Saya pasrah dan saat itu
menengadah ke langit dan berkata dalam hati “Ya Tuhan, kalau hari ini saya
mati, tolong ampuni dosa-dosa saya dan orang tua saya”. Rasanya kematian itu
begitu dekat. Saya takut.
Hole
menyambut saya sebelum saya sempat melakukan
cannon ball. Dua kali saya berputar di dalamnya kemudian keluar
walaupun air sungai semakin banyak yang masuk ke mulut saya. Saya bahkan lupa
kalau air Sungai Citarum mengandung limbah hampir semua masyarakat Jawa Barat.
Who cares? Keluar dari sungai dan minum
air putih yang sudah direbus lebih penting sekarang. Sementara saya berpikir,
saya melihat ada
hole besar lagi di
depan. Jika tadi saya bisa selamat, yang ini belum tentu. Saya berteriak minta
tolong tapi deru jeram dan jarak yang jauh dengan teman-teman saya membuat
usaha itu sia-sia.
Hole semakin dekat
dan saya kemudian membalikkan badan berusaha untuk berenang
offensive. Sekilas saya melihat orang di
atas jembatan melihat saya dan ada 2 orang yang saya kenali sebagai operator
arung jeram sudah menggunakan pelampung dan setengah berlari. Saya berenang
melawan arus tetapi badan saya tetap terbawa arus menuju
hole.
Saya berenang sekuat tenaga dan berusaha ke pinggir sungai.
Kurang dari semeter lagi saya akan masuk ke dalam
hole dan dengan menggunakan tenaga terakhir, saya melempar badan
saya ke pinggir dengan berpegangan pada sebuah batu yang agak menonjol. Hampir
terlepas dan saya melakukannya lagi. Setengah badan saya sudah di daratan dan
setengah lagi masih diombang ambingkan arus. Saya merangkak dan ketika yakin
seluruh badan sudah di atas daratan, saya menghempaskan badan sambil menengadah
ke langit, “Ya Tuhan, itu matahari, terima kasih saya masih hidup”. Lelah tak
terkira dan saya memejamkan mata. Apa itu barusan? Saya hampir mati di kali
pertama saya arung jeram. Pertanda yang kurang baik. “
Teteh gak apa-apa?
Teteh
baik-baik aja kan?
Teh..
Teh..”, suara seorang pria membuat saya
membuka mata dan tampak beberapa teman saya dan beberapa warga mengelilingi
saya. “Ra,
lo gak apa-apa?
Rok en rol gitu tadi
lo keseret arus.. Hahaha”, Kang Jabir
salah seorang senior saya menggoda saya. “Hahaha.. Apanya yang
rok en rol. Lemes
kang.
Gak lagi-lagi deh”,
kata saya sambil tertawa. Semua yang disitu tersenyum lega karena ternyata
tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya selamat. Saya mencoba berdiri menuju
jembatan tempat teman-teman saya berkumpul. Rasa nyeri menghampiri lutut saya,
darah mengalir dan tampak lebam di beberapa tempat. Selama terbawa arus, kaki
saya menabrak batu-batu di sungai. Tetapi selamat dan berada di daratan membuat
saya tidak terlalu merasakan sakit. Teman-teman saya tersenyum melihat saya dan
masih sempat menggoda saya,
“Kumaha ra
rasana? Eta aya perahu nanaonan maneh ngojay?”, seru seorang senior saya
dalam bahasa Sunda yang artinya kurang lebih “
Gimana rasanya ra? Itu ada perahu ngapain
lo malah berenang”. Saya dan semua yang di situ tertawa.