Selasa, 19 Mei 2020

The World of The Married; Bikin Takut Nikah (?)

"Marriage is like a walk in the park. Jurassic Park"-  Anonymous

Waktu pertama kali liat posternya gue yakin dramanya bakal keren dan beda. Posternya hot hot mengundang gimana gitulah. Bener aja. Dari penayangan episode pertama, drama ini langsung booming. Cerita tentang perselingkuhan masih menarik buat masyarakat. Di Indonesia sendiri, sinetron atau film televisi tentang perselingkuhan diminati banyak orang. Tentu saja mereka menanti pihak yang berselingkuh dapat karma dan pihak yang tersakiti memiliki kehidupan yang lebih baik kemudian bahagia selamanya. Tapi itu jalan cerita yang sudah bisa ditebak. Drama The World of The Married menyajikan cerita yang lebih kompleks. Dari awal episode drama ini udah ngegas dalam arti yang sebenar-benarnya. Gak kayak beberapa sinetron atau drama yang mengulur waktu untuk menunjukkan bukti-bukti perselingkuhan dan dengan siapa itu dilakukan, drama ini dari episode awal udah ngasih tau penonton. Kebayang kan tuh emosinya dari episode pertama. Penderita darah tinggi gak disarankan nonton drama ini takut tekanannya makin naik.


Drama ini bercerita tentang kehidupan pasangan Ji Sun Woo dan Lee Tae Oh serta anak remaja mereka Lee Joon Young. Ji Sun Woo adalah seorang dokter sedangkan suaminya Lee Tae Oh memimpin sebuah production house yang selalu tampak mesra. Scene-scene awal pun kita udah dikasih tontonan 18+ yang kalo ditayangin di tv Indonesia bakal di-blur atau langsung di-cut. Mapan dan bahagia, sebuah potret keluarga sempurna. Namun, kesempurnaan hanya milik Tuhan dan Andra & The Backbone. Tak ada keluarga yang sempurna. Dari sehelai rambut di syal yang diberikan suaminya, Ji Sun Woo merasakan ada yang tidak beres dan mulai menyelidiki. Kecurigaannya benar bahwa suaminya berselingkuh. Perih jendral! Selingkuhnya sama wanita yang lebih muda, lebih cantik dan tajir melintir. Double kill!

Satu hal penting yang menurut gue kenapa drama ini amat menarik adalah sikap Ji Sun Woo menghadapi kenyataan dan perihnya pengkhianatan. Gak kayak korban perselingkuhan di sinetron atau drama Azab yang bakal nangis terus menerus tanpa perlawanan, Ji Sun Woo berdiri tegak dan mencoba menyelesaikan masalah yang ada dengan cara yang elegan. Ji Sun Woo menunjukkan sekuat-kuatnya perempuan dan setegar-tegarnya seorang ibu untuk anaknya. Kalo ada pemilihan maskot strong woman versi drama Korea, udah jelas pilihannya siapa. Meskipun demikian, drama ini juga menunjukkan momen-momen hati sang korban remuk seremuk-remuknya. Sekuat-kuatnya manusia pastilah punya sisi lemah juga. Aren't we all?

Walaupun fokusnya ke keluarga Ji Sun Woo, kita juga disuguhi kehidupan keluarga lain yang tidak kalah kacaunya. Juga hubungan toxic antara sepasang pemuda pemudi yang berperan penting dalam jalan cerita ini. Selain itu, drama ini juga menunjukkan tekanan-tekanan dari luar yang dapat mempengaruhi mental anggota keluarga yang retak. Sungguh 16 episode yang menguras emosi. Gak jarang gue ngeluarin sumpah serapah selama nonton drama ini. Dari pantauan sosmed hampir semua penonton merasakan hal yang sama. Sampe-sampe intagram Han Soo Hee, pemeran Yeo Da Kyung, sang pelakor diserang netizen. Emosi sih emosi tapi gak sampe norak juga, hey! 

Yang gue liat, The World of The Married pengen nunjukin tentang realita pernikahan. Bahwa pernikahan bukan sebuah cerita di negeri dongeng yang semuanya indah. Pernikahan hanya sebuah fase kehidupan yang dipilih manusia untuk melanjutkan hidup yang diimpikan. Berawal dari cinta, kadang berakhir dengan pengkhianatan atau penderitaan. Ada yang bertahan dalam 'neraka', ada juga yang langsung ini melepaskan diri. Semuanya kembali ke pilihan lagi. Ini gue sotoy sih sebagai orang yang belum pernah menikah. Ya udahlah ya. Ini sepenglihatan dan sepemahaman gue doang. Gak cuma di drama tapi juga di dunia nyata, di sekeliling gue dan terjadi pada orang-orang dekat. Pernikahan adalah sebuah perjalanan penuh tantangan, rintangan, cobaan dan godaan. Hanya mereka yang terpilih yang bisa bertahan sampai maut memisahkan. Ini ke-sotoy-an gue lagi. Gak harus setuju loh ya.

Ngomongin pernikahan berdasarkan drama ini juga gak lepas dari sosok anak. Perjuangan Ji Sun Woo buat ngelindungin anaknya dari segala tekanan juga nguras emosi. Mana anaknya kadang nyebelin banget. Tapi kasian juga. Kita dikasih gambaran gimana mental anak broken home yang terus menerus ngeliat 'peperangan' kedua orang tuanya. Gue aja yang liat capek apalagi anaknya. Gue coba memaklumi kelakuan anaknya yang kadang pengen minta digetok kepalanya *elus dada*

Yang lebih menarik lagi selama nonton drama ini gue selalu terngiang-ngiang kata-kata nyokap gue bertahun-tahun yang lalu. Begini kata beliau, "walaupun kalian perempuan, nanti kalo udah dewasa harus punya pekerjaan dan uang sendiri. Gak terkecuali ketika udah nikah. Jangan bergantung penuh sama suami. Perempuan itu harus mandiri. Jaga-jaga nanti kalo ada kejadian yang gak diinginkan dan mengharuskan pisah sama suami, paling gak masih bisa berdiri di kaki sendiri". Kata-kata yang gak pernah gue lupain. Pas liat Ji Sun Woo, gue langsung mikir, nyokap gue emang bener. Gue curiga Ji Sun Woo pernah ngobrol sama nyokap gue *yakali*.

Habis nonton ini gue yakin sih ada orang yang bakal takut buat menikah. Takut akan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi di depan. Tapi kalo takut, apa artinya kita gak akan ngelakuin?, kata seorang senior panutan gue. Gue pribadi sih nganggap kalo pernikahan adalah suatu step yang penting dalam kehidupan karena banyak alasan. Namun yang paling penting, nikah kalo udah siap mental. Jangan nikah karena ngeliat orang lain udah nikah atau karena ngeliat postingan-postingan pake hashtag #relationshipgoals di media sosial. Yang lebih penting lagi, nikah kalo udah ada pasangannya. Gitu. mblo! *nunjuk muka sendiri*

Continue Reading...

Selasa, 05 Mei 2020

Didi Kempot; Patah Hati? Dijogeti Aeee

"Opo wae sing dadi masalahmu, kuwat ora kuwat kowe kudu kuwat. Tapi misale kowe uwis ora kuwat tenan, yo kudu kuwat" - Didi Kempot

Hari ini seorang musisi yang dicintai banyak orang berpulang. Dialah Dionisius Prasetyo atau yang akrab dikenal dengan Didi Kempot. Beliau meninggal dunia pada umur 53 tahun diduga karena serangan jantung. Didi Kempot terkenal sebagai penyanyi campursari (mostly berbahasa Jawa) yang bertemakan patah hati. Karena inilah beliau mendapatkan sebutan Lord Didi Kempot, The Godfather of Brokenheart. Penggemarnya pun menamakan diri mereka Sobat Ambyar dengan sebutan Sad Boys untuk pria dan Sad Girls untuk wanita. Sebuah sebutan yang cenderung menertawakan keadaan diri sendiri pasca putus cinta. Patah hati? Dijogeti aeee. Begitulah kira-kira prinsipnya.


Bertahun-tahun berkarya di dunia musik, Didi Kempot telah menciptakan ratusan lagu dan berkelana dari panggung ke panggung sampai ke Suriname. Dalam kurun waktu ini pula, beliau memiliki banyak pendengar setia. Bagi generasi 90-an yang sebagian besar tumbuh bersama lagu-lagu pop dan rock, campursari merupakan aliran yang tidak terlalu familiar. Permasalahannya bisa karena bahasa. Setidaknya bagi saya. Tapi bagi mereka yang senang mendengarkan musik, paling tidak pernah mendengarkan lagu 'Stasiun Balapan' yang dibawakan oleh Didi Kempot. Salah satu lagu beliau yang legendaris. 

Tahun 2019 adalah tahunnya Didi Kempot. 
Stasiun tv dan panggung-panggung pertunjukan musik berlomba-lomba menampilkan beliau. Pertunjukan yang tidak akan sepi pengunjung. Beliau tampil dengan setelan khas pria Jawa lengkap dengan blangkonnya. Didi Kempot menahbiskan diri menjadi sebuah fenomena dan seorang legenda. Bagaimana tidak, anak-anak muda dari berbagai kalangan tiba-tiba menggandrungi lagu-lagu Didi Kempot. Tidak hanya itu, mereka menghapalkan lagu dan berjoget dengan asik di setiap acara yang menampilkan sang Godfather. Tak sedikit pula yang meneteskan air mata selagi mengucapkan lirik-lirik yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia mengandung makna yang perih. Sakit tapi tidak berdarah. 

Di tahun yang sama, saya mengalami patah hati berat. 
Mendengarkan lagu adalah salah satu pelarian dan hiburan. Saya mendengarkan banyak lagu Didi Kempot walaupun tak paham arti lirik sepenuhnya. Tiga tahun hidup di Yogyakarta tak banyak membantu saya memahami bahasa Jawa. Yang saya tahu, lagu-lagu tersebut mewakilkan apa yang saya rasakan. Lagu-lagu tersebut memiliki daya magis yang membuat sedih tetapi juga bisa membuat saya tersenyum. Mendengar lagu-lagu ini membuat kita ingin berjoget dan seakan hendak memberi tahu bahwa patah hati tak harus sesedih itu. Patah hati bisa dihadapi dengan santai dan asik. Walaupun hati ambyar tapi masih bisa joget. Menangis pun silahkan saja. Sambil berjoget tentu saja.

Saya yakin Didi Kempot adalah orang baik dan sederhana. Penilaian yang saya simpulkan dari cara beliau bertutur dalam berbagai kesempatan. Seorang seniman yang selalu ingin membesarkan musik daerah dan melakukan banyak kegiatan amal. Bahkan beberapa waktu sebelum berpulang, beliau mengumpulkan donasi sebesar tujuh milyar rupiah untuk  membantu penanganan covid-19. 

Pakde Didi Kempot, terima kasih untuk lagu-lagunya yang ciamik. Terima kasih untuk lagu-lagunya yang menghibur. Terima kasih sudah menemani dan menghibur di kala putus cinta. Terima kasih karena pernah mengingatkan untuk selalu kuat, untuk boleh patah hati tapi tak boleh patah semangat. Semoga pakde beristirahat dengan tenang dan bisa bernyanyi sepuasnya di atas sana dengan Glenn Fredly yang telah mendahului sebulan lalu. Sepertinya surga sedang butuh hiburan. Mungkin penghuni-penghuninya sedang ingin berjoget.

Continue Reading...

About

Blogroll

About