Sabtu, 22 Desember 2012

Fragment #8

Langit kelam malam ini. Hujan turun membasahi bumi diiringi gemuruh guntur dan kelabatan kilat. Angin bertiup kencang dan aku dapat merasakan hembusannya. Balkon sebuah gedung tinggi di tengah kota padat yang bertaburan lampu warna warni menjadi teman melayangkan pandang. Mengapa hati begitu kalut dan mengapa pikiran bergemuruh seperti langit? Tak lebih karena masa depan yang tak pasti, kabur bahkan terkadang gelap. Kemana aku mengadu? Kepada Dia yang seakan marah malam ini.

Tak ada bintang, tak ada bulan yang tersenyum. Hanya gelap dan dingin. Kemana sebenarnya tujuan ini? Jalan mana yang harus ditempuh? Tak ada kompas. Tak ada penunjuk jalan. Aku terdiam dalam ketidakberdayaan dan keterasingan. Aku hampir menangis dalam kesendirian. Kerlap kerlip lampu dan hamparan rumah berpenghuni menjadi kawan. Gelap. Entah siapa yang sedang tertawa atau menangis. Aku tidak dapat melihat. Yang kulihat hanyalah hampa, tak ada isi.

Di kejauhan aku melihat orang-orang yang dulu berjalan bersamaku sudah berjalan jauh dengan petunjuk arah di tangannya. Tak menoleh dan tak menyapaku. Ke mana mereka? Menghadiri pesta yang tak ditujukan untuk pecundang sepertiku?

Masih gelap dan aku masih duduk di tempat yang sama. Aku meraung dan mulai meneteskan air mata. Kakiku ingin bergerak tetapi tak ada jalan bahkan tak ada percabangan sama sekali.Yang kulihat hanyalah gelap yang mungkin jalan yang tak berujung. Aku menunggu. Aku berharap. Aku berusaha berdiri tegak. Tak adakah yang hendak menggandeng tanganku? Ahh, seperti tidak ada. 

Kemudian.. Aku terjatuh lagi..
Continue Reading...

Jumat, 07 Desember 2012

Berkawan Dengan Bahaya. Jangan Kapok!

Perahu sudah terlipat rapi. Begitu juga dengan pelampung dan dayung milik Palawa Unpad. Hari itu kami bersiap untuk berarung jeram di Sungai Citarum, Bantar Caringin, Cipatat, Jawa Barat. Seperti biasa, kegiatan alam bebas selalu menimbulkan gairah yang lebih apalagi ini untuk pertama kalinya saya akan melakukan arung jeram. Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat yang melewati banyak daerah. Kebetulan yang sering dipakai untuk berarung jeram adalah bagian Sungai Citarum yang berada di Bantar Caringin, Cipatat. Dari Jatinangor, Bantar Caringin dapat dicapai dengan menggunakan bis yang menuju ke Sukabumi atau Cianjur dengan harga Rp. 8000,- pada waktu itu. Dari jalan raya, masih harus menggunakan kendaraan menuju jembatan yang dekat dengan pembibitan coklat. Untuk yang membawa banyak barang bisa menyewa mobil bak terbuka yang harganya sekitar Rp. 150.000,- dan masih bisa ditawar. Tiba di Bantar Caringin, saya melihat riak air dan suaranya yang bertalu-talu seakan menyambut kedatangan kami sambil berkata “Are you ready for this?”. Karena kami tiba sore menjelang malam, kami memutuskan untuk melakukan pengarungan keesokan harinya.

Matahari menyembur dari ufuk timur dan suara jeram adalah hal pertama yang saya dengar pagi itu. Suara jeram yang memanggil untuk diarungi dan menantang untuk ditaklukkan. Baju kaos, celana tiga perempat, sepatu, pelampung dan helm sudah terpasang dengan dayung masing masing di tangan. Hal yang paling menyebalkan dari kegiatan ini hanya satu yaitu portagging, yaitu kegiatan untuk mengangkut perahu ke titik start yang tidak dekat dan harus melalui jalan berbatu serta semak-semak. Jika tidak ingin tersiksa, sebaiknya memilih orang yang mempunyai tinggi yang hampir sama sehingga kekuatan untuk mengangkat perahu bisa terbagi rata. Tiba di titik start, kami menurunkan perahu dan kemudian memeriksa lagi perlengkapan dan kondisi perahu sebelum memulai pengarungan. Titik start yang kami pakai adalah titik start yang sering dipakai oleh penggiat arung jeram di situ. Tidak masalah jika ingin membuat titik start sendiri. Dengan mengucap doa dan dengan keyakinan, saya menaiki perahu. Saya duduk di sebelah kanan paling depan. Perahu tersebut bermuatan 7 orang sudah termasuk skipper. Skipper merupakan orang yang duduk paling belakang dan bertugas untuk mengendalikan laju perahu dan segala gerakan penumpang ditentukan olehnya apakah itu mendayung ke depan atau ke belakang, berhenti, bahkan jika skipper menyuruh untuk lompat dari perahu maka itu harus dilakukan. Salah satu senior saya menjadi skipper hari itu karena belum ada dari kami yang bisa menjadi skipper. Kami hanya pemula dan kegiatan ini dalam rangka latihan. Perahu melaju and here we go. Perahu meliuk-liuk mengikuti gerakan jeram diiringi teriakan skipper yang menyuruh kami untuk mendayung kuat saat memasuki jeram. Hanya sekitar 5 menit kami sudah tiba di jembatan dan melipir ke eddies di pinggir sungai, menarik nafas, portagging lagi dan mengarungi jeram yang sama beberapa kali. Badan sudah lemas dan rasanya berat badan saya turun beberapa kali karena kegiatan itu. Hari sudah mulai gelap ketika kami memutuskan untuk menyudahi kegiatan hari itu dan akan melanjutkannya besok pagi. Malam ini pasti tidur nyenyak setelah seharian memperbudak otot dan memakan ayam goreng dengan sambal super enak Mak Ude, wanita paruh baya yang rumahnya kami tumpangi.

Setelah sarapan pagi itu, kami memulai lagi dengan mengenakan semua perlengkapan. Hari ini kami akan melakukan pengarungan panjang menuju jembatan baru. Dari jembatan lama, tempat kami latihan menuju jembatan baru akan memakan waktu setidaknya dua jam. Tapi kami melakukan beberapa pengarungan pendek terlebih dahulu dan latihan menaiki perahu yang flip atau terbalik. Keadaan perahu terbalik bisa terjadi kapan saja dan yang perlu diperhatikan adalah bagaimana untuk naik ke perahu lagi dan membalikkannya ke posisi normal. Selain itu, kita juga harus tahu bagaimana untuk menolong orang yang gagal naik perahu kembali. Dari awal perasaan saya sudah tidak nyaman. Takut lebih tepatnya. Bukan hanya karena jeram yang sedikit lebih besar hari itu tetapi juga karena ukuran badan yang membuat saya susah mengangkat badan naik ke atas perahu. Hal ini sudah saya latih berkali-kali dan belum berhasil. Tapi jika kita takut, apakah itu berarti kita tidak akan pernah mencobanya?, kata seorang yang saya kagumi dalam bukunya. Baru beberapa detik di atas perahu, skipper meneriakkan kepada kami untuk membalikkan perahu. Sontak kami semua kaget dan pindah ke boeing kanan sambil menarik tali di pinggir perahu karet tersebut. Sepersekian detik dan perahu dalam keadaan terbalik. Saya panik dan terjebak di bawah perahu terbalik yang terus terbawa arus sungai. Saya minum banyak air sungai dan pikiran saya tidak terkontrol untuk beberapa saat. Bagaimana kalau saya mati di sini? Di sungai saat arung jeram? Saya tidak bisa membayangkan reaksi orang tua saya yang berulang kali menyatakan ketidaksetujuan mereka saya masuk organisasi pecinta alam. Hal yang pertama yang saya lakukan adalah harus keluar dari jebakan perahu. Saya meraba-raba dan memegang tali yang ada di perahu dan menolak kuat-kuat ke arah luar perahu. Saya berhasil keluar tapi permasalahan lain muncul. Karena sempat berpijak dan menendang perahu, perahu malah semakin menjauh dari saya. Sungai yang terlalu lebar dan arus yang kuat tidak memungkinkan saya untuk berenang ke tepian. Saya kemudian mengikuti arus dengan mempraktekkan renang defensive. Renang defensive di mana kita menghadap ke hilir dan menyandarkan kepala pada pelampung. Baru kali itu saya merasakan fungsi pelampung yang sebenarnya. Arus sungai menampar-nampar muka saya dan tak sedikit masuk ke dalam mulut saya. Sakit rasanya. Beberapa lama saya tidak tahu apa yang harus dilakukan sementara teman-teman saya sudah beberapa yang berhasil berenang ke pinggir sungai. Sisanya melihat saya dan berusaha melemparkan tali rescue. Tapi percuma tali rescue yang kurang dari 2 meter itu tidak bisa menjangkau saya. Di depan ada sebuah hole besar yang menurut teori yang saya pelajari, setelah masuk ke dalamnya badan kita akan diputar-putar sedemikian rupa dan bukan tidak mungkin bisa terkurung di situ dalam waktu yang lama jika posisi badan salah. Ada cara untuk lepas dari hole yaitu dengan melakukan cannon ball. Cara ini dengan menekuk lutut dan merapatkannya dengan badan sehingga badan berbentuk bola. Saya panik. Saya tidak bisa berpikir lagi untuk melakukan teori. Saya pasrah dan saat itu menengadah ke langit dan berkata dalam hati “Ya Tuhan, kalau hari ini saya mati, tolong ampuni dosa-dosa saya dan orang tua saya”. Rasanya kematian itu begitu dekat. Saya takut. Hole menyambut saya sebelum saya sempat melakukan cannon ball. Dua kali saya berputar di dalamnya kemudian keluar walaupun air sungai semakin banyak yang masuk ke mulut saya. Saya bahkan lupa kalau air Sungai Citarum mengandung limbah hampir semua masyarakat Jawa Barat. Who cares? Keluar dari sungai dan minum air putih yang sudah direbus lebih penting sekarang. Sementara saya berpikir, saya melihat ada hole besar lagi di depan. Jika tadi saya bisa selamat, yang ini belum tentu. Saya berteriak minta tolong tapi deru jeram dan jarak yang jauh dengan teman-teman saya membuat usaha itu sia-sia. Hole semakin dekat dan saya kemudian membalikkan badan berusaha untuk berenang offensive. Sekilas saya melihat orang di atas jembatan melihat saya dan ada 2 orang yang saya kenali sebagai operator arung jeram sudah menggunakan pelampung dan setengah berlari. Saya berenang melawan arus tetapi badan saya tetap terbawa arus menuju hole.


Saya berenang sekuat tenaga dan berusaha ke pinggir sungai. Kurang dari semeter lagi saya akan masuk ke dalam hole dan dengan menggunakan tenaga terakhir, saya melempar badan saya ke pinggir dengan berpegangan pada sebuah batu yang agak menonjol. Hampir terlepas dan saya melakukannya lagi. Setengah badan saya sudah di daratan dan setengah lagi masih diombang ambingkan arus. Saya merangkak dan ketika yakin seluruh badan sudah di atas daratan, saya menghempaskan badan sambil menengadah ke langit, “Ya Tuhan, itu matahari, terima kasih saya masih hidup”. Lelah tak terkira dan saya memejamkan mata. Apa itu barusan? Saya hampir mati di kali pertama saya arung jeram. Pertanda yang kurang baik. “Teteh gak apa-apa? Teteh baik-baik aja kan? Teh.. Teh..”, suara seorang pria membuat saya membuka mata dan tampak beberapa teman saya dan beberapa warga mengelilingi saya. “Ra, lo gak apa-apa? Rok en rol gitu tadi lo keseret arus.. Hahaha”, Kang Jabir salah seorang senior saya menggoda saya. “Hahaha.. Apanya yang rok en rol. Lemes kang. Gak lagi-lagi deh”, kata saya sambil tertawa. Semua yang disitu tersenyum lega karena ternyata tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Saya selamat. Saya mencoba berdiri menuju jembatan tempat teman-teman saya berkumpul. Rasa nyeri menghampiri lutut saya, darah mengalir dan tampak lebam di beberapa tempat. Selama terbawa arus, kaki saya menabrak batu-batu di sungai. Tetapi selamat dan berada di daratan membuat saya tidak terlalu merasakan sakit. Teman-teman saya tersenyum melihat saya dan masih sempat menggoda saya, “Kumaha ra rasana? Eta aya perahu nanaonan maneh ngojay?”, seru seorang senior saya dalam bahasa Sunda yang artinya kurang lebih “Gimana rasanya ra? Itu ada perahu ngapain lo malah berenang”. Saya dan semua yang di situ tertawa.

Setelah beristirahat dan mengevaluasi kegiatan latihan barusan, kami akan melanjutkan pengarungan panjang menuju jembatan baru. Tim saya mendapat hukuman berupa push up 25 hitungan karena tidak berhasil membalikkan kembali perahu yang juga terbawa arus dan diselamatkan oleh anak-anak yang sedang berenang di sungai. Kemampuan berenang anak-anak ini jangan ditanya lagi. Mereka berenang tidak menggunakan pelampung walaupun arus sungai sedang besar. Selain itu, salah seorang anggota tim kami kehilangan dayungnya ketika perahu terbalik. Selama pengarungan panjang saya tidak mendayung banyak karena masih lemas. Kami melakukan pengarungan kurang lebih 2 jam sudah termasuk istirahat makan siang. Mendekati jembatan baru, sungai lebih lebar dan flat. Tidak ada lagi jeram. Setelah sampai, kami mengangkat perahu dengan portagging dan menuju jalan raya untuk menunggu angkutan yang akan membawa kami kembali ke Bantar Caringin. Dalam perjalanan pulang, seorang senior menanyakan apakah saya baik-baik saja pasca terseret arus dan mengingatkan saya bahwa saya tidak boleh trauma untuk berarung jeram. Ya, masih banyak petualangan yang menunggu di depan sana dan dari awal saya sudah tahu bahwa kegiatan seperti ini berkaitan dengan nyawa karena berbahaya. Tetapi bahaya tersebut bisa dinimalisir dengan persiapan yang matang. Pelajaran yang tidak akan terlupakan bahwa nyawa bisa hilang kapan pun tanpa kita ketahui. Persiapan dan berserah kepada Yang Empunya Hidup. Terima kasih Citarum.

Continue Reading...

About

Blogroll

About