Rabu, 24 Oktober 2012

Air Mata dan Permainan Nasib

21 Oktober 2012, ketika itu hampir tengah malam dan saya siap untuk tidur. Sambil berbaring saya masih membuka handphone Blackberry saya. Perbincangan seru dengan teman kuliah menjauhkan kantuk saya. Kami sedang membicarakan tentang tingkah salah satu teman kelas kami yang mengumumkan pertunangannya di twitter. Perbincangan yang dimulai dari sore hari itu berhasil membuat saya tertawa sepanjang hari. Menunggu komentar teman, saya membuka facebook yang sudah lama tidak saya buka. Melihat foto kemudian pindah ke beranda. Saya kaget melihat status facebook yang juga seorang teman kuliah. Dia mengumumkan bahwa ibunya telah meninggal dunia dan memohon doa untk almarhum ibunya. Beberapa kali saya memastikan bahwa yang menulis status tersebut adalah teman kuliah saya itu. Saya meneteskan air mata dan seluruh tawa hari itu buyar. Tidak bermaksud mendramatisir suasana, tapi itulah kenyataannya. 

Kusnanto Nugroho, pemuda asal Indramayu yang menjadi teman sekelas kami di Ilmu Pemerintahan Unpad 2007. Dia seorang yang cerdas dan mempunyai ide-ide yang bagus. Saya tidak terlalu akrab dengannya tetapi selama berkuliah, kami terlibat beberapa pembicaraan dan pernah juga sekelompok dalam tugas kuliah. Dia bukan tipikal orang yang ikut dalam organisasi-organisasi kampus atau menjadi panitia acara ini acara itu. Saya melihatnya seperti anak yang datang kuliah kemudian pulang atau menghabiskan waktu di kampus di mushola. Sangat pas dengan setelan yang sering dia pakai, kemeja kotak-kotak dan celana panjang kain serta sepatu tanpa kaos kaki. Dia tidak seperti kami yang seharian duduk di kantin kampus, tertawa, meledek orang yang lewat kemudian tertawa lagi sambil menghisap rokok dan minum kopi.

Sekitar tahun 2009, ayah Kusnanto meninggal dunia. Beberapa teman angkatan kami melayat ke rumahnya di Indramayu dengan mengendarai motor. Setelah pelayatan itu, kami mulai mengenal Kusnanto sedikit demi sedikit. Dia merupakan anak sulung yang mempunyai beberapa adik (jumlah tepatnya saya lupa). Bisa dikatakan dia berasal dari keluarga yang kurang mampu dan hebatnya bisa kuliah di kampus kami karena beasiswa dari pemerintah daerah Indramayu. Sejak itu juga kami mulai tahu mengapa Kusnanto sering bermain bola tanpa alas kaki dan menyimpan sepatunya di bawah pohon. Mungkin tidak ingin sepatunya rusak karena tidak ada uang lebih untuk membeli sepatu lagi. Waktu berlalu, sebagian besar dari kami lulus dan kemudian jarang bertemu sehingga tibalah kami mendengar berita bahwa ibunda Kusnanto meninggal dunia dan berarti sekarang Kusnanto menjadi yatim piatu.

Saya menangis karena saya membayangkan bagaimana jika saya berada di posisi Kusnanto, kehilangan kedua orang tua kemudian menjadi tulang punggung keluarga. Saya menangis karena saya mengingat diri saya yang terkadang mengeluh atas apa yang terjadi di dalam kehidupan saya padahal ada orang bahkan teman yang lebih tidak beruntung daripada saya. Saya menangis karena beberapa jam sebelum mendengar berita ini  saya masih sempat menertawakan orang dan menyadari bahwa tawa yang keluar dari mulut kita bisa berganti dengan tangis dalam sepersekian detik.

"Aku berdiri berpegangan pada dua tiang, lalu Allah robohkan tiang sebelah kiri tanganku, aku berpegangan dengan satu tangan kananku pada tiang, tak berapa lama kemudian Allah robohkan lagi tiang sebelah kananku, aku goyah hampir tak dapat berdiri lagi. Kini hanya dua pijakan kakiku yang kuteguhkan dengan cengkraman jari-jari kakiku. Padahal dua tiang itu adalah sandaran hidupku. Makasih ABAH dan EMA yang telah menjadi perantara Allah untuk menghidupkanku hingga sedemikian kuatnya. Semoga Allah membalas dengan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah kalian lakukan" (Kusnanto, 21 Oktober 2012)

Duka mendalam turut kami rasakan Kus. Semoga Tuhan mendengar semua doa-doamu dan tetap memberikan kekuatan untuk berdiri tegak dan menjadi sandaran hidup bagi orang lain. Tuhan besertamu kawan!

Continue Reading...

About

Blogroll

About