Sabtu, 24 November 2018

Menjawab Pertanyaan 'Kapan Nikah?'

Share it Please
"Marriage is not some fairytale. Selflessness, patience, tolerance, and enduring the hard times together" - Anonymous

Indah ya kata-katanya. Bikin pengen segera dilamar rasanya. Kenapa tiba-tiba bahas nikah sih? Jadi sebenernya udah lama gue pengen bahas ini tapi baru kepikiran. Bukan karena gue udah nikah tapi justru karena gue belum nikah di umur dua puluh sembilan tahun ini. Iya, dua puluh sembilan. Tua ya. Padahal gue masih berasa remaja loh.


Pernikahan jadi salah satu trending topic abad ini barengan sama drama settingan Vicky Prasetyo - Angel Lelga dan Ayu Tingting jadi orang ketiga dalam pernikahan Raffi Ahmad - Nagita Slavina. Ngebahas pernikahan gak pernah serame ini. Saudara dan tante-tante gue dulu ditanyain 'kapan nikah' kayaknya biasa aja deh. Obrolannya sebatas dalam lingkungan keluarga aja. Sekarang beda seiring berkurangnya ranah privasi dan hal-hal yang bersifat privasi ini jadi konsumsi publik. Semuanya salah hape cina murah!

Sejak republik ini berdiri selalu ada standar-standar paten dalam masyarakat mengenai alur hidup seseorang sehingga layak disebut normal. Standar paten ini ngikutin perkembangan zaman walaupun ada sebagian kecil yang ngikutin standar zaman sebelumnya. Standar paten yang gue maksud ini adalah urutan yang harus dilalui oleh seorang manusia yaitu lahir - sekolah - kuliah - kerja - nikah - punya anak - punya cucu - mati. Kalo kelewat satu aja, udah dianggap gak normal terutama bagi tetangga-tetangga yang suka nyinyir. Iya di abad ini, hidup kita ditentuin oleh omongan tetangga dan netizen. Mowgli gak bakal ngalamin hal kayak gini karena gak pake sosial media dan tinggal di hutan. Yang ngomongin paling ibu-ibu monyet yang lagi gelantungan nyari buah. Itu juga kalo bisa ngerti omongannya apa.

Omongan orang lain ini yang kemudian membentuk stigma dan menjadi tekanan tersendiri dalam menjalani hidup yang fana ini. Contohnya gue pada umur segini belum nikah akan dianggap gak normal karena menurut standar (yang dipasang orang-orang) gue harusnya udah nikah. Padahal hukum aja cuma ngatur batas umur minimal orang boleh nikah gak ada batas maksimalnya. Tapi apa mau dikata, omongan citizen dan netizen sekarang lebih tinggi kedudukannya daripada Undang-Undang Dasar 1945. Belum lagi liat foto-foto pernikahan impian di media sosial dan kehidupan orang-orang setelah menikah lengkap dengan hashtag #relationshipgoals. Menurut pengamatan awam gue, tekanan sosial ini yang kemudian mendorong banyak anak-anak muda yang belum melihat kejamnya dunia untuk buru-buru naik ke pelaminan. Kalo kasusnya hamidun gak termasuk di sini ya.

Pengalaman orang-orang dekat gue bikin gue sedikit paham bahwa pernikahan tak seindah yang digambarkan secara visual di media sosial. Pernikahan jauh lebih kompleks daripada itu. Banyak orang di sekitar gue mengalami kegagalan dalam pernikahan karena berbagai alasan. Beberapa juga masih bertahan dalam pernikahan yang tidak bahagia karena berbagai tekanan internal maupun eksternal. Walaupun banyak juga yang tampak bahagia-bahagia aja. Cerita kehidupan orang kan emang beda-beda. Yang gue pengen tekanin adalah membuat keputusan untuk menikah itu sulit bagi beberapa orang. Kesulitan ini dilatarbelakangi oleh berbagai alasan pula. Bisa jadi itu keluarga, keuangan, lingkungan atau bahkan faktor dalam diri sendiri. Sebagian besar orang tentu ingin menikah dan merasakan kehidupan 'normal'. Belum lagi keinginan untuk mempunyai keturunan dari jalur yang halal karena dipanggil 'ayah' atau 'ibu' adalah suatu kenikmatan luar biasa, katanya. Walaupun di sisi lain kepala lagi pusing mikirin harga susu, popok dan pendidikan yang makin menggila. Yang terakhir gak berlaku buat Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie.

Ada juga beberapa orang yang memutuskan untuk tidak menikah dan memilih untuk menjalani hidup sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Orang-orang kayak gini kemudian di-judge 'tidak normal'. Sesungguhnya pengatur hidup ini hanyalah diri sendiri dan Tuhan semata wahai saudara-saudaraku sekalian. Berhentilah mengurusi hidup gadis dan pemuda lajang seperti kami karena timeline tiap orang beda-beda, latar belakang dan keadaan tiap orang pun beda-beda. Kecuali para citizen dan netizen yang budiman mau ngasih duit semilyar dua milyar buat resepsi nikahan dan milyar-milyaran selanjutnya buat menjalani kehidupan setelah pernikahan. Paling gak bisa ngejamin hidup kami minimal kayak Syahrini-lah. Mungkin omongannya bisa dipertimbangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About