Senin, 24 September 2018

Menemui Tuhan di Gunung Lawu

Share it Please
"Mountains are the cathedrals where I practice my religion" - Anatoli Boukreev

Sekitar tiga tahun sejak terakhir saya mendaki gunung. Ada beberapa kali rencana untuk mendaki gunung tapi dibatalkan karena kalah oleh kemalasan dan berbagai alasan. Dari dulu saya memang lebih memilih naik gunung bersama orang-orang yang sudah saya percaya. Tempat saya bisa mempercayakan kenyamanan dan nyawa saya selama perjalanan selain tentunya kepada Yang Kuasa. Di lain pihak, saya juga sudah tidak membeli perlengkapan kegiatan outdoor. Yang tersisa hanya perlengkapan-perlengkapan pribadi yang dibeli beberapa tahun lalu dengan harga yang terhitung mahal namun masih awet sampai sekarang. Hal ini tentu saja karena pertimbangan di masa lalu bahwa mungkin saja saya masih akan naik gunung sewaktu-waktu jadi harus beli perlengkapan yang tahan lama.

Tim pengkor. Pengkor karena turunan edan
 Ajakan naik gunung kemudian datang di awal bulan April dari seorang senior saya di Palawa Unpad (organisasi pecinta alam mahasiswa Unpad) ke Gunung Lawu, gunung yang katanya paling angker se-Indonesia. Tanpa pikir panjang saya langsung mengiyakan. Alasan utamanya tentu saja karena saya butuh piknik dan sudah lama saya tidak mendaki gunung. Masalah kuat atau tidak kuat masalah nantilah, kata saya meyakinkan diri sendiri. Selidik punya selidik ternyata ajakan senior saya ini juga karena penasaran setelah membaca buku karangan Dewi Lestari yang terbaru berjudul "Aroma Karsa". Buku yang memang saya rencanakan untuk dibaca jauh sebelum ajakan ini. Ajakan ini mempercepat saya menyelesaikan buku ini. Tidak butuh waktu lama untuk membaca buku-buku Dewi Lestari. Cara bercerita dan diksi-diksinya membuat saya membaca bukunya tidak lebih dari dua hari. Dewi Lestari memang jenius. Review bukunya bisa dilihat di banyak tulisan. Tapi yang paling penting, Gunung Lawu menjadi salah satu pusat cerita dalam buku ini dan memang mengundang rasa penasaran. Kami bergurau bahwa perjalanan ini akan menjadi sebuah perjalanan spiritual. Candaan itu tidak sepenuhnya salah.

Jika banyak orang naik melalui jalur Cemoro Sewu, kami (berjumlah enam orang) naik melalui jalur Cemoro Kandang yang lebih santai meskipun memakan waktu yang lebih lama. Perjalanan ini bukan untuk berlomba mencapai puncak. Perjalanan ini adalah piknik jadi kudu dinikmatin. Ye gaaa?

Cemoro Kandang. Pehape. Kirain jalannya gini semua

Puncaknya terlihat dekat tapi nyatanya jauh. Semangat tuan!
Pada teman-teman yang budiman saya ingatkan bahwa olahraga memang sangat penting jika masih ingin berkegiatan di alam bebas. Baru sekitar dua jam perjalanan, saya rasanya sudah ingin balik badan dan pulang. Capek gila! Walalupun saya akui bahwa berat badan yang terus-terusan bertambah ditambah beban di carrier juga berpengaruh pada kelelahan ini. Belum lagi kedua kaki saya bergantian keram selama perjalanan naik ke tempat kami akan membangun tenda hari itu. Untunglah saya pernah ikut pelatihan dasar pecinta alam yang selalu mengingatkan saya bahwa segala sesuatu pasti ada akhirnya oleh karena itu saya harus tabah dan terus melangkahkan kaki. Terlalu dramatis? Iya sih. Tapi bener deh, jarang olahraga bisa separah ini efeknya. Saya sepanjang jalan berjanji dalam hati akan sering olahraga begitu saya pulang. Kenyataannya? Kalian bisa tebak sendiri hahahaha.

Butuh sekitar delapan jam untuk tiba di tempat peristirahatan kami yang pertama. Agak meleset sedikit dari target tapi tidak jadi masalah besar. Kami bisa melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Jalur yang kami pilih ini memang tidak salah digunakan sebagai jalur santai. Selain tidak terlalu terjal, pemandangan sepanjang jalannya luar biasa bagus. Kami sangat beruntung diberikan cuaca bagus sore itu. Mulut saya juga sempat menganga ketika melihat pemandangan spektakuler saat matahari terbenam. Bagaimana ya menggambarkannya. Cakrawala tampak sangat jelas menjadi pemisah antara langit dan yang di bawahnya. Matahari juga tidak malu-malu untuk memperlihatkan perpaduan warna oranye, kuning dan coklat yang terang sebelum digantikan malam. Sementara angin tidak malu-malu bertiup seakan bersorak mengiringi tenggelamnya surya. Sore itu serasa magic dan saya merasa beruntung.

Tuhan Maha Besar
Sepanjang jalan kami juga diikuti oleh dua ekor burung jalak Lawu yang katanya hanya hidup di gunung itu. Kembali ke Aroma Karsa, menurut cerita Dewi Lestari burung tersebut adalah penjelmaan Banaspati, yaitu mereka yang menjadi pengawal penjaga sebuah desa tersembunyi bernama Dwarapala. Masyarakat sekitar percaya bahwa burung tersebut adalah penunjuk jalan sehingga tidak boleh diganggu. Sepanjang jalan saya tersenyum membayangkan mereka berbicara dan mengawasi tindak tanduk kami serta bereaksi jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Terik matahari yang mengiringi langkah ke puncak tidak menyurutkan tekad kami untuk tiba di atas dan berfoto. Sebuah keharusan tidak tertulis dalam dunia petualangan jaman now sebagai bukti eksistensi. Puas berfoto kami kembali untuk mengambil barang dan mulai turun menggunakan jalur yang lain yaitu jalur Candi Cetho. Perjalanan pulang terasa lebih lama. Menuruni gunung tidak lebih mudah daripada naik karena semuanya tergantung pada kekuatan lutut. Didominasi oleh hutan, jalan menuju kaki gunung terasa sangat panjang dan suasana terasa mistis. Dekat dari pos terakhir di jalur ini, ada sebuah dataran yang dipenuhi batu-batu tersusun rapi ke atas. Bau kemenyan sangat menyengat dan beberapa dari antaranya masih baru. Pemeluk Hindu banyak melaksanakan kegiatan spiritual di puncak Gunung Lawu dan Candi Cetho sendiri merupakan salah satu jejak peninggalan umat Hindu di masa lalu.

Foto pembuktian kepada netijen kalo udah tiba di puncak
Di salah satu tempat kami beristirahat menjelang maghrib, kabut tiba-tiba muncul di antara  pohon-pohon dan sempat membuat kami merinding sesaat. Saya sempat berpikir jika saya melewati kabut itu, mungkin saja saya sudah tiba di dunia 'lain'. Pikiran yang saya dapat karena membaca beberapa tulisan dan mendengar cerita-cerita tentang Lawu. But don't try this. It's dangerous. Dalam pendakian gunung, akal sehat adalah hal yang paling penting agar bisa pulang dengan selamat.  Berdoa dan menyebut nama Sang Pencipta juga ampuh untuk menenangkan hati.

Jalur Candi Cetho. Awal dari segala ke-pengkor-an
It's a long road beibeh
Saya mengalami cedera kaki saat melakukan perjalanan turun sehingga perjalanan tersebut terasa semakin lama. Perjalanan yang dimulai sore hari itu berakhir tengah malam. Tanpa mempedulikan dingin yang menusuk tulang, saya mengguyur badan dan membersihkannya malam itu. Kami beristirahat malam itu di pos pendaftaran yang memang kebetulan menyiapkan tempat peristirahatan untuk para pendaki yang baru tiba ataupun yang sudah turun melalui jalur Cetho. Pagi hari saat hendak kembali ke Solo, kami melewati beberapa candi yang dipenuhi oleh wisatawan maupun umat Hindu yang sedang berdoa. Rasanya seperti sedang berada di Bali. Siapa sangka ternyata Lawu menyimpan banyak cerita menarik.

Apakah saya menyesal? Tentu saja tidak. Perjalanan tersebut adalah salah satu perjalanan yang menakjubkan. Perjalanan yang membawa saya kembali pada memori masa lalu, perjalanan yang dipenuhi prasangka dan perasaan yang tidak biasa. Perasaan yang tidak bisa saya ungkapkan melalui kata-kata. Satu hal yang pasti, saya tahu Tuhan ada di Gunung Lawu hari itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About