Senin, 01 Juli 2019

Segala Sesuatu Pasti Ada Akhirnya

Share it Please
"Tetap berjalan, tuan!"
"Tetap tabah. Segala sesuatu pasti ada akhirnya"

Masih teringat dengan jelas teriakan pelatih-pelatih yang merupakan seniorku di perhimpunan pecinta alam sekitar sebelas tahun yang lalu. Kata-kata ini pun keluar dari mulutku ketika menjadi pelatih bagi anggota-anggota baru organisasi kami. Bagiku, kata-kata ini sangat istimewa. Mempunyai makna dalam walaupun tidak selalu kuingat dan kuterapkan.


Masih teringat 'penderitaan' itu. Berjalan jauh tanpa tahu tujuan akhir dengan sepatu lars tentara yang bikin kaki lecet. Tentu saja dengan beban yang berat di carrier. Belum lagi selama perjalanan kami diguyur hujan. Kami harus menahan dingin karena baju yang basah dan angin yang bertiup kencang. Aku ingin menyerah pada hari pertama dan minta dipulangkan. Aku tidak kuat. Belum apa-apa pergelangan kakiku sudah luka karena tergesek sepatu. Fisikku lemah. Mentalku jatuh. Namun, ketakutanku untuk mengakui kelemahan itu pada senior membuatku tak pulang hari itu. "Kalo ngadu dan minta dipulangin ntar malah gue disiksa", pikirku waktu itu. Sehingga saat seorang senior berjalan di sebelahku selama melintasi sebuah kebun teh dan bertanya apakah aku ingin pulang, aku menjawab dengan keras, "tidak!". Sebanyak apapun dia bertanya, sebanyak itu pula aku memberi jawaban 'tidak'. Jawaban itu kemudian terbawa sampai pendidikan usai.

Semakin hari rasanya semakin berat. Malam sebelum tidur, aku berkontemplasi bertanya pada diriku mengapa aku ikut kegiatan seperti ini. Mengapa harus tidur di atas matras dan merasakan dingin padahal ada kasur empuk dan selimut hangat di kosan. Mengapa harus makan makanan seadanya sementara di Jatinangor banyak makanan enak yang tersedia. Mengapa harus berlelah-lelah berjalan jauh padahal nongkrong di kafe lebih nyaman. Kemudian di sinilah aku diperkenalkan dengan sesuatu yang bernama 'zona nyaman'. Kami berkali-kali diingatkan bahwa kami sedang berada di luar zona nyaman kami. Bahwa kami tidak akan selamanya merasa nyaman karena begitulah hidup. 

Selagi melewati masa-masa sulit saat ini, aku membaca sebuah postingan senior yang sedang mengenang masa-masa pendidikan dasar. Aku kemudian teringat dan sadar. 

Pendidikan dasar yang kulewati, yang penuh dengan kesakitan dan penderitaan adalah gambaran hidup menjadi manusia di dunia. Hidup tak akan selamanya nyaman. Hidup kadang tak memberimu kemudahan, malah memberi penderitaan dan kesakitan terus menerus. Terluka, kedinginan, kelaparan, kehausan, merasa terhina, mungkin terlalu ekstrim jika dirasakan dalam satu waktu sekaligus tetapi aku pernah mengalaminya dalam suatu waktu walaupun hanya berbentuk pelatihan. Yang jelas dalam keadaan ini kami belajar untuk bertahan. Kami harus kuat. Kami harus tabah. Karena katanya segala sesuatu pasti ada akhirnya. Apapun itu. Kebahagiaan. Kesusahan. Semuanya akan berakhir walaupun kita tidak tahu kapan dan bagaimana. Selain itu, fisik boleh lemah tetapi itu tak berarti apa-apa karena segala sesuatu dikendalikan oleh pikiran. Jika mental kuat dan yakin bahwa bisa melewati semua ini maka itulah yang akan terjadi. Pikiran inilah yang membuatku bertahan dalam kesakitan selama hampir dua minggu. 

Pertanyaan pentingnya, jika saat itu aku bisa bertahan dan melewati semuanya, mengapa saat ini aku tidak bisa bertahan? Jika aku pernah mengalami berada di titik nol dan bisa menyelesaikannya, mengapa sekarang tidak? Aku kembali berkontemplasi sembari mengingat suatu malam di masa pendidikan. Malam itu kami menginap di sebuah kebun teh setelah seharian berjalan naik turun bukit dan diguyur hujan. Tak hanya hujan, malam itu angin bertiup sangat kencang membawa hawa dingin yang tak biasa. Kabut tebal muncul dan bertahan hingga pagi. Kami di dalam 'tenda' yang terbuat dari ponco, tanpa sleeping bag, hanya bermodal kaus kaki tebal dan baju serta celana setengah kering tidur berdekatan berharap bisa saling menghangatkan. Aku masih bisa mengingat dinginnya malam itu... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About