Sore itu 5 (lima) carrier
berukuran besar sudah tersusun rapi di depan sekretariat Palawa Unpad,
organisasi pecinta alam yang sudah lama saya ikuti. Hari itu kami berencana
akan mendaki Gunung Guntur. Gunung Guntur merupakan gunung yang terletak di
Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan tinggi 2.249 mdpl dan merupakan gunung api
teraktif pada dekade 1800-an serta beberapa kali mengalami erupsi. Tidak
terlalu tinggi untuk ukuran gunung di Pulau Jawa. Tetapi misi kali ini berbeda
karena ini merupakan latihan untuk mendaki gunung yang vegetasinya tidak
terlalu banyak dan ada beberapa bagian yang berpasir. Menggunakan angkutan
sewaan dari Kampus Unpad Jatinangor ke Rancaekek, kami berangkat berlima., 3
orang wanita dan 2 orang pria. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju
Garut dengan elf, mobil semi bus dengan membayar Rp. 10.000,-. Menjelang malam,
kami tiba di Garut dan langsung menuju sekretariat Gerhana, salah satu
perhimpunan pecinta alam di kota penghasil dodol itu.
Karena sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk menginap di sekre Gerhana malam itu. Pendakian ke Gunung Guntur akan kami lakukan besok pagi. Bisa dibilang ini adalah sebuah traidisi yang sudah lama dilakukan. Ke kota manapun seorang anggota pecinta alam pergi, selama di tempat tujuannya ada organisasi pecinta alam, maka dia tidak akan pernah tidur di jalan apalagi membayar penginapan. Salah satu bentuk solidaritas yang sudah lama terjadi. Ditemani beberapa gelas kopi dan beberapa bungkus rokok, kami melewati malam itu dengan berbincang-bincang.
Karena sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk menginap di sekre Gerhana malam itu. Pendakian ke Gunung Guntur akan kami lakukan besok pagi. Bisa dibilang ini adalah sebuah traidisi yang sudah lama dilakukan. Ke kota manapun seorang anggota pecinta alam pergi, selama di tempat tujuannya ada organisasi pecinta alam, maka dia tidak akan pernah tidur di jalan apalagi membayar penginapan. Salah satu bentuk solidaritas yang sudah lama terjadi. Ditemani beberapa gelas kopi dan beberapa bungkus rokok, kami melewati malam itu dengan berbincang-bincang.
“Nanaonan mawa carrier
gede-gede teuing. Guntur mah mawa
daypack ge bisa. Urang jeung barudak basa eta naik ngan 2 setengah jam”,
cetus salah seorang anggota Gerhana dalam bahasa Sunda sambil tertawa. (Ngapain
bawa carrier gede-gede. Naik Guntur juga bisa bawa daypack aja. Saya sama
anak-anak waktu itu naik cuma 2 setengah jam)
“Lagi latihan buat pengembaraan
makanya bawa carrier gede biar terbiasa ama beban berat”, jawab Margo, salah
satu anggota tim.
Malam semakin larut dan kami juga
semakin larut dalam pembicaraan mengenai pengalaman perjalanan, keadaan
organisasi masing-masing dan rencana perjalanan selanjutnya. Jarum jam
menunjukkan angka 2 ketika kami satu persatu masuk ke dalam ruangan yang di
dalamnya ada beberapa kasur untuk kami tempati tidur. Istirahat yang cukup
sangat penting dalam sebuah kegiatan alam bebas.
Adzan subuh yang berkumandang
membangunkan kami pagi itu. Anggota tim yang beragama muslim segera mengambil
wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Saya dan Gufi pagi itu bertugas untuk
membeli sarapan. Kami sudah selesai sarapan ketika anak-anak Gerhana bangun.
Setelah minum segelas kopi, kami mengecek kembali peralatan dan bersiap-siap
untuk berangkat. Pukul 7 kami dengan menyewa sebuah angkutan umum, berangkat
menuju kaki Gunung Guntur. Gunung Guntur terletak di Cipanas, pusat permandian
air panas yang terkenal di Jawa Barat. Setelah mengisi kompan (jirigen) dengan
air, kami mulai menyusuri jalan berbatu. Berbeda dengan gunung lainnya, Gunung
Guntur tidak ditumbuhi pohon-pohon besar, hanya ditumbuhi ilalang yang
tingginya melebihi tinggi badan kami.
Matahari sudah mulai terik dan
beban yang lumayan berat menjadi teman perjalanan kami siang itu. Sepanjang
perjalanan, kami juga melihat banyak truk-truk besar pengangkut pasir yang
berlalu lalang. Di kaki Gunung Guntur, ternyata merupakan sebuah tempat
penambangan pasir. Ada sebuah sungai kering yang tidak dialiri air sama sekali.
Di dalam sungai itu, tampak beberapa penambang sedang melakukan aktifitasnya
sambil beberapa kali menyapa kami dalam Bahasa Sunda. Pukul 11, kami sudah berada di
ketinggian 900 mdpl dan memutuskan untuk beristirahat makan siang sambil
merebahkan badan. “Istirahat aja dulu ya. Panas
pisan euy. Tapi bentar lagi ini mah. Puncaknya gak terlalu jauh”, kata
Anto sang ketua tim.
Semakin siang, panas semakin
terik dan rasanya enggan untuk berbenah. Tetapi target kami hari itu harus
tercapai. Naik ke puncak dan kembali lagi ke kota sebelum gelap. Kami mulai
menyusuri lagi jalanan berpasir. Setelah jalan berpasir, kami melewati vegetasi
ilalang yang tingginya menutupi badan kami. Jika tidak menggunakan baju lengan
panjang, maka siap-siap tergores sana sini karena terkena daunnya. Sekitar jam
2, kami menemukan pepohonan yang cukup rindang dan memutuskan untuk
beristirahat di situ sambil memasak air. Puncak sudah mulai kelihatan, sekitar
beberapa meter ketinggian lagi. Kami larut dalam istirahat yang nyaman di bawah
pohon sambil bercanda dan sesekali tertidur di atas carrier. Dua jam kemudian,
kami meninggalkan carrier di bawah pohon dan menutupinya dengan daun. Kami akan
melakukan summit attack tanpa membawa carrier. Kami hanya membawa daypack yang
berisi alat dokumentasi, alat navigasi dan beberapa makanan ringan.
Jalan menuju puncak cukup terjal
dengan perpaduan antara batu-batuan besar dan ilalang. Walaupun tidak terlalu
sulit, tetapi konsentrasi tinggi diperlukan agar tidak salah mendaki dan
berpengangan. Setelah berjalan sekitar setengah jam, kami tiba di atas puncak
dan merebahkan badan. Puncaknya hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon yang
sudah mulai keropos. Kami merebahkan badan dan menikmati pemandangan Kota Garut
dari atas. Tidak buruk. Rasanya seperti piknik. Sembari kami tertawa dan
menikmati hembusan angin, tiba-tiba langit menjadi gelap. Awan hitam berkumpul
seperti dikomando. Hujan deras sepertinya sedang mengambil ancang-ancang untuk
turun. Kami pun mulai bergerak lagi ke bawah ke tempat kami meninggalkan
perlengkapan. Kilat menyambar diikuti gemuruh guntur yang suaranya lebih besar
daripada letusan kembang api di malam tahun baru. Sesuai dengan namanya, Gunung
Guntur.
Berada di ketinggian yang yang terbuka
cukup berbahaya jika dalam kondisi seperti ini. Bisa-bisa disambar petir.
Berita tentang orang-orang yang tersambar petir di tempat terbuka bukan sesuatu
yang baru lagi. Beberapa saat, kami diliputi kepanikan dan buru-buru untuk
turun ke kaki gunung. Karena jalur yang tadi kami lewati juga terbuka dan hanya
ditumbuhi ilalang, kami mengambil jalur lain. Kami mengikuti sebuah sungai
kering berpasir yang tertutup pohon-pohon yang lumayan tinggi. Tetapi
perjalanan turun tidak semudah yang kami bayangkan. Sungai yang kami lewati
kadang-kadang terjal sehingga kami harus naik ke pinggir dan berjalan di antara
tumbuhan perdu. Hujan semakin deras dan petir seakan-akan mengejar kami. “Dewa
petir lagi ngamuk euy”, kata Anto
sambil berlari.
Sekitar sejam diguyur hujan deras
dan “dikerjai” dewa petir yang tampak sedang marah, kami hampir tiba di kaki
gunung. Kami basah kuyup meskipun sudah menggunakan raincoat. Sebelum kembali ke
jalur normal, kami harus menaiki sebuah tanjakan berpasir yang cukup terjal
dengan menggunakan webbing. Hari mulai gelap, kami mulai menyalakan alat
penerangan. Kami berjalan setengah berlari, tidak sabar untuk menceburkan diri
ke dalam kolam air panas di Cipanas yang telah kami rencanakan sebelum
berangkat. Basah kuyup, sedikit berlumpur, dan membawa carrier berukuran cukup
besar membuat kami pusat perhatian pengunjung di salah satu permandian air
panas yang kami masuki. Tapi tidak peduli dengan pandangan aneh orang di
sekitar, kami berganti baju dan menceburkan diri ke dalam kolam. Itulah air
panas ternikmat yang pernah kami temui. Langit malam sudah cerah. Dewa petir
mungkin sedang sibuk berendam di kolam air panasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar