Senin, 07 Januari 2013

Guntur dan Dewa Petir yang Marah

Share it Please
Sore itu 5 (lima) carrier berukuran besar sudah tersusun rapi di depan sekretariat Palawa Unpad, organisasi pecinta alam yang sudah lama saya ikuti. Hari itu kami berencana akan mendaki Gunung Guntur. Gunung Guntur merupakan gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan tinggi 2.249 mdpl dan merupakan gunung api teraktif pada dekade 1800-an serta beberapa kali mengalami erupsi. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran gunung di Pulau Jawa. Tetapi misi kali ini berbeda karena ini merupakan latihan untuk mendaki gunung yang vegetasinya tidak terlalu banyak dan ada beberapa bagian yang berpasir. Menggunakan angkutan sewaan dari Kampus Unpad Jatinangor ke Rancaekek, kami berangkat berlima., 3 orang wanita dan 2 orang pria. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Garut dengan elf, mobil semi bus dengan membayar Rp. 10.000,-. Menjelang malam, kami tiba di Garut dan langsung menuju sekretariat Gerhana, salah satu perhimpunan pecinta alam di kota penghasil dodol itu.

Karena sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk menginap di sekre Gerhana malam itu. Pendakian ke Gunung Guntur akan kami  lakukan besok pagi. Bisa dibilang ini adalah sebuah traidisi yang sudah lama dilakukan. Ke kota manapun seorang anggota pecinta alam pergi, selama di tempat tujuannya ada organisasi pecinta alam, maka dia tidak akan pernah tidur di jalan apalagi membayar penginapan. Salah satu bentuk solidaritas yang sudah lama terjadi. Ditemani beberapa gelas kopi dan beberapa bungkus rokok, kami melewati malam itu dengan berbincang-bincang.

Nanaonan mawa carrier gede-gede teuing. Guntur mah mawa daypack ge bisa. Urang jeung barudak basa eta naik ngan 2 setengah jam”, cetus salah seorang anggota Gerhana dalam bahasa Sunda sambil tertawa. (Ngapain bawa carrier gede-gede. Naik Guntur juga bisa bawa daypack aja. Saya sama anak-anak waktu itu naik cuma 2 setengah jam)

“Lagi latihan buat pengembaraan makanya bawa carrier gede biar terbiasa ama beban berat”, jawab Margo, salah satu anggota tim.

Malam semakin larut dan kami juga semakin larut dalam pembicaraan mengenai pengalaman perjalanan, keadaan organisasi masing-masing dan rencana perjalanan selanjutnya. Jarum jam menunjukkan angka 2 ketika kami satu persatu masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya ada beberapa kasur untuk kami tempati tidur. Istirahat yang cukup sangat penting dalam sebuah kegiatan alam bebas. 

Adzan subuh yang berkumandang membangunkan kami pagi itu. Anggota tim yang beragama muslim segera mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Saya dan Gufi pagi itu bertugas untuk membeli sarapan. Kami sudah selesai sarapan ketika anak-anak Gerhana bangun. Setelah minum segelas kopi, kami mengecek kembali peralatan dan bersiap-siap untuk berangkat. Pukul 7 kami dengan menyewa sebuah angkutan umum, berangkat menuju kaki Gunung Guntur. Gunung Guntur terletak di Cipanas, pusat permandian air panas yang terkenal di Jawa Barat. Setelah mengisi kompan (jirigen) dengan air, kami mulai menyusuri jalan berbatu. Berbeda dengan gunung lainnya, Gunung Guntur tidak ditumbuhi pohon-pohon besar, hanya ditumbuhi ilalang yang tingginya melebihi tinggi badan kami.


Matahari sudah mulai terik dan beban yang lumayan berat menjadi teman perjalanan kami siang itu. Sepanjang perjalanan, kami juga melihat banyak truk-truk besar pengangkut pasir yang berlalu lalang. Di kaki Gunung Guntur, ternyata merupakan sebuah tempat penambangan pasir. Ada sebuah sungai kering yang tidak dialiri air sama sekali. Di dalam sungai itu, tampak beberapa penambang sedang melakukan aktifitasnya sambil beberapa kali menyapa kami dalam Bahasa Sunda. Pukul 11, kami sudah berada di ketinggian 900 mdpl dan memutuskan untuk beristirahat makan siang sambil merebahkan badan. “Istirahat aja dulu ya. Panas pisan euy. Tapi bentar lagi ini mah. Puncaknya gak terlalu jauh”, kata Anto sang ketua tim.

Semakin siang, panas semakin terik dan rasanya enggan untuk berbenah. Tetapi target kami hari itu harus tercapai. Naik ke puncak dan kembali lagi ke kota sebelum gelap. Kami mulai menyusuri lagi jalanan berpasir. Setelah jalan berpasir, kami melewati vegetasi ilalang yang tingginya menutupi badan kami. Jika tidak menggunakan baju lengan panjang, maka siap-siap tergores sana sini karena terkena daunnya. Sekitar jam 2, kami menemukan pepohonan yang cukup rindang dan memutuskan untuk beristirahat di situ sambil memasak air. Puncak sudah mulai kelihatan, sekitar beberapa meter ketinggian lagi. Kami larut dalam istirahat yang nyaman di bawah pohon sambil bercanda dan sesekali tertidur di atas carrier. Dua jam kemudian, kami meninggalkan carrier di bawah pohon dan menutupinya dengan daun. Kami akan melakukan summit attack tanpa membawa carrier. Kami hanya membawa daypack yang berisi alat dokumentasi, alat navigasi dan beberapa makanan ringan. 


Jalan menuju puncak cukup terjal dengan perpaduan antara batu-batuan besar dan ilalang. Walaupun tidak terlalu sulit, tetapi konsentrasi tinggi diperlukan agar tidak salah mendaki dan berpengangan. Setelah berjalan sekitar setengah jam, kami tiba di atas puncak dan merebahkan badan. Puncaknya hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon yang sudah mulai keropos. Kami merebahkan badan dan menikmati pemandangan Kota Garut dari atas. Tidak buruk. Rasanya seperti piknik. Sembari kami tertawa dan menikmati hembusan angin, tiba-tiba langit menjadi gelap. Awan hitam berkumpul seperti dikomando. Hujan deras sepertinya sedang mengambil ancang-ancang untuk turun. Kami pun mulai bergerak lagi ke bawah ke tempat kami meninggalkan perlengkapan. Kilat menyambar diikuti gemuruh guntur yang suaranya lebih besar daripada letusan kembang api di malam tahun baru. Sesuai dengan namanya, Gunung Guntur.

Berada di ketinggian yang yang terbuka cukup berbahaya jika dalam kondisi seperti ini. Bisa-bisa disambar petir. Berita tentang orang-orang yang tersambar petir di tempat terbuka bukan sesuatu yang baru lagi. Beberapa saat, kami diliputi kepanikan dan buru-buru untuk turun ke kaki gunung. Karena jalur yang tadi kami lewati juga terbuka dan hanya ditumbuhi ilalang, kami mengambil jalur lain. Kami mengikuti sebuah sungai kering berpasir yang tertutup pohon-pohon yang lumayan tinggi. Tetapi perjalanan turun tidak semudah yang kami bayangkan. Sungai yang kami lewati kadang-kadang terjal sehingga kami harus naik ke pinggir dan berjalan di antara tumbuhan perdu. Hujan semakin deras dan petir seakan-akan mengejar kami. “Dewa petir lagi ngamuk euy”, kata Anto sambil berlari. 


 Sekitar sejam diguyur hujan deras dan “dikerjai” dewa petir yang tampak sedang marah, kami hampir tiba di kaki gunung. Kami basah kuyup meskipun sudah menggunakan raincoat. Sebelum  kembali ke jalur normal, kami harus menaiki sebuah tanjakan berpasir yang cukup terjal dengan menggunakan webbing. Hari mulai gelap, kami mulai menyalakan alat penerangan. Kami berjalan setengah berlari, tidak sabar untuk menceburkan diri ke dalam kolam air panas di Cipanas yang telah kami rencanakan sebelum berangkat. Basah kuyup, sedikit berlumpur, dan membawa carrier berukuran cukup besar membuat kami pusat perhatian pengunjung di salah satu permandian air panas yang kami masuki. Tapi tidak peduli dengan pandangan aneh orang di sekitar, kami berganti baju dan menceburkan diri ke dalam kolam. Itulah air panas ternikmat yang pernah kami temui. Langit malam sudah cerah. Dewa petir mungkin sedang sibuk berendam di kolam air panasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About