Sabtu pagi teman-teman mengajak
saya untuk menyusuri Bandung Selatan untuk melakukan tugas kantor. Tanpa
ragu-ragu, saya menerima ajakan tersebut. Bandung Selatan tepatnya Ciwidey dan
sekitarnya, mempunyai arti khusus untuk saya. “Kedekatan” saya dengan alam Jawa
Barat bahkan Jawa dimulai dari Ciwidey dan sekitarnya. Saya ingat, sekitar 2008
– 2011 saya hampir setiap tahun datang ke Bumi Perkemahan Ranca Upas dan
meneruskan perjalanan ke Leuweng Tengah yang terletak sekitar 45 menit
perjalanan kaki dari Ranca Upas. Tidak lain dan tidak bukan adalah untuk
kegiatan Palawa Unpad, organisasi pecinta alam kampus yang saya ikuti.
Saya tidak pernah ke sana dengan
pasangan. Pertama kali saya ke sana saya bersama saudara seperjuangan yang
mempunyai tujuan sama dengan saya, yaitu menjadi anggota Palawa Unpad. Saya ingat,
ketika itu akhir Februari tahun 2008. Kami yang memulai perjalanan dari
perkebunan teh Rancabolang sekitar pukul 3 sore, tiba di tempat itu menjelang
jam 5 subuh. Tidak sempat membuat bivoak (tempat peristirahatan), kami tidur di
atas jalan berbatu dengan alas matras dan dibungkus dengan ponco. Karena gelap,
saya tidak tahu kami sedang berada di mana. Barulah pagi hari, kami bangun dan
melihat sebuah danau yang dikelilingi kebun teh terhampar di depan kami. Kami
berada di situ sekitar 3 hari sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat latihan
yang lain. Setiap pagi, kami tidak lupa mandi di danau tersebut. Walaupun sebenarnya
itu tidak bisa dikatakan mandi karena kami hanya menggosok badan dengan topi
dan menggosok gigi dengan rumput. Jika tidak takut dihukum, mungkin kami juga
tidak akan masuk ke dalam air yang dinginnya menggetarkan tulang itu.
Setahun, dua tahun, tiga tahun
setelah itu, saya masih datang ke tempat itu tentunya dengan posisi yang
berbeda. Saya berada di posisi pelatih dan hanya memperhatikan calon anggota
baru yang menggigil kedinginan karena berendam di Situ Patengan kemudian
diterpa kabut. Saya juga ingat ketika kompor untuk memasak rusak sehingga saya
harus menumpang memasak di rumah warga. Kehangatan si pemilik rumah dan
perapian yang sengaja dinyalakan untuk saya, membuat saya selalu ingin kembali
ke sana. Saya suka tempat itu karena memberi ketenangan. Sejauh mata memandang,
semuanya indah kecuali beberapa sampah yang berserakan bekas wisatawan atau
penjual di pinggir danau.
Datang menjadi wisatawan yang
membeli tiket dan jalan di belakang rombongan orang-orang kota yang datang
untuk membuktikan mitos Batu Cinta, sangat berbeda dengan kunjungan saya
sebelumnya. Kali ini saya duduk di atas sebuah tempat duduk dari batu memandang
danau, kebun teh, pohon-pohon yang menjadi saksi terbentuknya saya menjadi
manusia yang “berbeda”. Air danau tampak tenang walaupun di atas ada
berpuluh-puluh perahu yang membawa penumpang. Ketenangan air dan kesunyian
hamparan kebun teh yang sadar tidak sadar telah memberi banyak pelajaran bagi
saya dan mungkin bagi saudara seperjuangan saya. Situ Patengan masih sama,
begitu juga dengan kenangan tentangnya yang masih saya simpan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar