Saat itu bulan Agustus 2012, saya
baru saja pulang dari kampung halaman dan kembali ke Bandung. Baru tiba 2 hari,
saya segera bersiap kembali untuk mengangkat ransel dan melakukan perjalanan.
Kali ini perjalanan bersama beberapa teman kuliah dan teman backpacker yang ada
di Jogja. Bersama Asti, saya menaiki kereta kelas Ekonomi dari stasiun Kiara
Condong. Harga tiket kala itu Rp. 25.000,- untuk tujuan stasiun Lempuyangan.
Setelah beberapa lama menunggu, kereta yang kami tunggu tak kunjung datang.
Dengan inisiatif dan keyakinan tinggi, Asti mengajak saya naik kereta Kutojaya
yang perhentian terakhirnya di Stasiun Kutoarjo, yang berada sekitar 3 jam
perjalanan dari Jogjakarta. Dari stasiun Kutoarjo, kami akan menyambung dengan
kereta yang lain sampai stasiun Lempuyangan tanpa membayar tiket lagi. Bisa dikatakan
ini ilegal karena seharusnya kami membayar lagi untuk tiket dari Kutoarja
sampai Lempuyangan. Tetapi semangat backpacker dan berhemat membuat kami
mengabaikan keharusan. Kalau beruntung, tiket tidak akan diperiksa lagi.
Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 9 pagi. Asti sendiri melanjutkan perjalanan ke Klaten karena ada urusan keluarga. Saya dijemput oleh Bang Ali dan Obi, teman-teman backpacker kami yang ada di Jogja. Kami baru berkenalan tetapi sudah akrab seperti teman lama. Saya dibawa ke kosan mereka. Di sana sudah ada Lena, Ratu dan Chandra, teman-teman kuliah saya yang sudah lebih dulu berada di Jogjakarta. Kami sore ini akan berangkat ke Wonosobo, tepatnya ke dataran tinggi Dieng. Saya tidur sekitar 2 jam, bangun kemudian bersiap-siap menuju terminal.
![]() | |
The team |
Di depan jalan besar kami
menyetop bis kecil yang menuju terminal Jombor. Sekitar satu jam kemudian kami
tiba dan tak lama kemudian kami naik bis lagi menuju Magelang. Kami menempuh
waktu lebih lama dari yang seharusnya karena di Candi Borobudur sedang ada
acara agama yang menyebabkan macet sampai berkilo-kilo meter. Setelah duduk di
atas bis sekitar 2 jam, kami tiba di di Terminal Magelang dan segera naik bis
lagi yang akan mengantar kami ke Wonosobo. Wonosobo merupakan salah satu
kabupaten yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan
Magelang. Dari Magelang ke Wonosobo dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Kami tiba di di terminal
Wonosobo sekitar pukul 3 sore dan beristirahat sejenak. Untuk menuju Dieng,
penduduk biasanya menggunakan elf
atau kendaraan semi bis. Tetapi sore itu kami memutuskan untuk menyewa angkot. Pemandangan
sepanjang perjalanan menuju dataran tertinggi di Indonesia ini, merupakan salah
satu pemandangan yang mengagumkan selama saya melakukan perjalanan. Jalanan
yang meliuk-meliuk dengan pemandangan pegunungan di sebelah kanan dan kiri,
perumahan penduduk yang unik, perkebunan sayur di lereng bukit dan puncak
Gunung Sindoro dan Sumbing yang berdiri gagah dengan matahari yang sudah mulai
beranjak ke peraduannya menemani kami sore itu.
Pemandangan sepanjang jalan menuju Dieng |
Kabut yang mulai turun |
Menjelang malam, kami tiba di
Dieng Plateau dan segera menikmati nasi goreng yang kami beli di gerobak
pinggir jalan. Di sana kami bertemu dengan beberapa teman yang tergabung dalam
komunitas Backpacker Indonesia yang
juga akan ikut ke Puncak Prahu malam itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 7
malam ketika kami bergerak menuju puncak tertinggi di Dataran Tinggi Dieng,
Puncak Prau (2565 mdpl). Kami membawa perlengkapan camping dan mengandalkan
alat penerangan kami malam itu. Perjalanan kami agak terhambat karena medan
yang cukup sulit, gelap dan alat penerangan yang terbatas. Selain itu beberapa
di antara kami baru pertama kalinya melakukan pendakian gunung. Setelah
beberapa kali berhenti untuk untuk beristirahat dan menunggu beberapa teman
yang tertinggal di belakang, kami akhirnya tiba di Puncak Prau pada pukul 1
malam. Angin kencang dan dinginnya udara malam itu terasa sangat menusuk
sehingga api unggun yang kami buat rasanya sia-sia. Pakaian berlapis-lapis pun
kami pakai sekedar untuk mendapatkan kehangatan untuk melawan dingin yang
menyiksa. Dinginnya malam itu juga membuat Ratu, salah satu teman saya “tumbang”
diserang hipotermia (kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu
kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin). Tumpukan sleeping bag dan air panas
yang dimasukkan ke dalam botol minuman tidak mempan untuk membuat Ratu berhenti
menggigil dan mati rasa sehingga salah satu dari kami membuka baju dan
memeluknya. Teknik ini merupakan teknik yang sangat efektif untuk menghadapi
seseorang yang hipotermia. Teknik skin to
skin ini, seperti “membagikan” panas tubuh ke tubuh yang lainnya. Kejadian
malam itu tampaknya masuk ke dalam daftar hal yang tidak akan dilupakan oleh
Ratu.
Gapura Dieng Plateau |
Tuhan Maha Besar! Hal itu yang
terucapkan ketika pagi hari saya keluar dari tenda. Hamparan perbukitan yang
ditumbuhi perdu serta puncak Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan
Gunung Slamet yang ditutupi segaris awan tampak di kejauhan. Rumah-rumah
beratap hitam seragam dan beberapa telaga di sekelilingnya tersusun rapi di
pelataran Dataran Tinggi Dieng. Perpaduan yang akan sulit ditemukan di tempat
lain. Saya menyusuri perbukitan yang ditumbuhi perdu dan ilalang itu sambil
menghirup udara segarnya sebanyak mungkin. Kami mengambil banyak foto dengan
latar Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Siang itu kami akan kembali ke bawah
untuk mengunjungi telaga dataran tinggi Dieng yang juga terkenal akan
keindahannya. Tak banyak yang mendaki Gunung Prau karena kurangnya informasi tentang
gunung ini. Kononnya masyarakat Dieng merahasiakannya untuk tetap menjaga
kelestariannya.
Perkampungan masyarakat Dieng dari Puncak Prahu |
Gunung Slamet tampak gagah di kejauhan |
Lewat tengah hari, kami sudah
tiba di kaki Prahu dan menikmati makan siang. Kami berpisah dengan teman
backpacker yang akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Ke Dieng tidak akan
lengkap jika tidak menikmati makanan khas dari sana yaitu Carica. Carica
merupakan buah yang dagingnya mirip pepaya tetapi memiliki bentuk dan rasa yang berbeda.
Carica ini disajikan di dalam botol karena sudah berbentuk manisan. Sangat enak
diminum saat dingin. Kononnya carica ini hanya tumbuh di Dieng dan Chili.
Kami menyebutnya Bukit Teletubbies |
Masih dengan menggendong ransel,
kami berjalan menuju telaga yang warnanya ada beberapa macam sehingga disebut
Telaga Warna. Telaga warna ini sudah dijadikan objek wisata dan ramai
dikunjungi oleh wisatawan pada hari libur. Kami menerobos pintu belakang untuk
menghindari pembayaran. Salah satu trik untuk berhemat tapi tidak untuk ditiru.
Hehehe.. Telaga tersebut cukup luas dan
dikelilingi oleh pohon-pohon besar serta gua-gua yang dipercaya dulunya
merupakan tempat bertapa orang-orang sakti.
Setelah puas mengelilingi telaga dan
berbincang-bincang di pinggirnya, kami pulang (masih melalui jalan belakang)
dan berjalan lagi menuju tempat kami bisa menemukan angkutan yang akan membawa
kami ke terminal Wonosobo. Dari Wonosobo, perjalanan kami masih panjang menuju
Jogjakarta.
Telaga Warna |
Sepanjang perjalanan pulang dari
Dieng ke Wonosobo, saya masih memandangi Puncak Prau. Puncak yang tidak
mencolok tetapi menyimpan berjuta keindahan. Jalan yang kami lalui masih sama,
penuh dengan pemandangan yang tidak akan ada di tempat lain. Apa yang dilihat oleh
mata secara langsung dan perasaan saat memandang suatu keindahan merupakan dua
hal yang tidak bisa dibeli oleh siapapun, yang sekalipun diceritakan dengan
detail, rasanya tidak akan pernah sama. Dieng, dataran tertinggi di Indonesia,
indah dan membuat rindu. Suatu saat saya akan ke sana lagi.
I believe I can fly. I believe I can touch the sky |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar