Jumat, 08 Februari 2013

Keindahan Dieng dari Puncak Prau

Share it Please
Saat itu bulan Agustus 2012, saya baru saja pulang dari kampung halaman dan kembali ke Bandung. Baru tiba 2 hari, saya segera bersiap kembali untuk mengangkat ransel dan melakukan perjalanan. Kali ini perjalanan bersama beberapa teman kuliah dan teman backpacker yang ada di Jogja. Bersama Asti, saya menaiki kereta kelas Ekonomi dari stasiun Kiara Condong. Harga tiket kala itu Rp. 25.000,- untuk tujuan stasiun Lempuyangan. Setelah beberapa lama menunggu, kereta yang kami tunggu tak kunjung datang. Dengan inisiatif dan keyakinan tinggi, Asti mengajak saya naik kereta Kutojaya yang perhentian terakhirnya di Stasiun Kutoarjo, yang berada sekitar 3 jam perjalanan dari Jogjakarta. Dari stasiun Kutoarjo, kami akan menyambung dengan kereta yang lain sampai stasiun Lempuyangan tanpa membayar tiket lagi. Bisa dikatakan ini ilegal karena seharusnya kami membayar lagi untuk tiket dari Kutoarja sampai Lempuyangan. Tetapi semangat backpacker dan berhemat membuat kami mengabaikan keharusan. Kalau beruntung, tiket tidak akan diperiksa lagi.

Kami tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 9 pagi. Asti sendiri melanjutkan perjalanan ke Klaten karena ada urusan keluarga. Saya dijemput oleh Bang Ali dan Obi, teman-teman backpacker kami yang ada di Jogja. Kami baru berkenalan tetapi sudah akrab seperti teman lama. Saya dibawa ke kosan mereka. Di sana sudah ada Lena, Ratu dan Chandra, teman-teman kuliah saya yang sudah lebih dulu berada di Jogjakarta. Kami sore ini akan berangkat ke Wonosobo, tepatnya ke dataran tinggi Dieng. Saya tidur sekitar 2 jam, bangun kemudian bersiap-siap menuju terminal.


The team
Di depan jalan besar kami menyetop bis kecil yang menuju terminal Jombor. Sekitar satu jam kemudian kami tiba dan tak lama kemudian kami naik bis lagi menuju Magelang. Kami menempuh waktu lebih lama dari yang seharusnya karena di Candi Borobudur sedang ada acara agama yang menyebabkan macet sampai berkilo-kilo meter. Setelah duduk di atas bis sekitar 2 jam, kami tiba di di Terminal Magelang dan segera naik bis lagi yang akan mengantar kami ke Wonosobo. Wonosobo merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah yang berbatasan langsung dengan Magelang. Dari Magelang ke Wonosobo dapat ditempuh dalam waktu satu setengah jam. Kami tiba di di terminal Wonosobo sekitar pukul 3 sore dan beristirahat sejenak. Untuk menuju Dieng, penduduk biasanya menggunakan elf atau kendaraan semi bis. Tetapi sore itu kami memutuskan untuk menyewa angkot. Pemandangan sepanjang perjalanan menuju dataran tertinggi di Indonesia ini, merupakan salah satu pemandangan yang mengagumkan selama saya melakukan perjalanan. Jalanan yang meliuk-meliuk dengan pemandangan pegunungan di sebelah kanan dan kiri, perumahan penduduk yang unik, perkebunan sayur di lereng bukit dan puncak Gunung Sindoro dan Sumbing yang berdiri gagah dengan matahari yang sudah mulai beranjak ke peraduannya menemani kami sore itu.

Pemandangan sepanjang jalan menuju Dieng
Kabut yang mulai turun
Menjelang malam, kami tiba di Dieng Plateau dan segera menikmati nasi goreng yang kami beli di gerobak pinggir jalan. Di sana kami bertemu dengan beberapa teman yang tergabung dalam komunitas Backpacker Indonesia yang juga akan ikut ke Puncak Prahu malam itu.

Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam ketika kami bergerak menuju puncak tertinggi di Dataran Tinggi Dieng, Puncak Prau (2565 mdpl). Kami membawa perlengkapan camping dan mengandalkan alat penerangan kami malam itu. Perjalanan kami agak terhambat karena medan yang cukup sulit, gelap dan alat penerangan yang terbatas. Selain itu beberapa di antara kami baru pertama kalinya melakukan pendakian gunung. Setelah beberapa kali berhenti untuk untuk beristirahat dan menunggu beberapa teman yang tertinggal di belakang, kami akhirnya tiba di Puncak Prau pada pukul 1 malam. Angin kencang dan dinginnya udara malam itu terasa sangat menusuk sehingga api unggun yang kami buat rasanya sia-sia. Pakaian berlapis-lapis pun kami pakai sekedar untuk mendapatkan kehangatan untuk melawan dingin yang menyiksa. Dinginnya malam itu juga membuat Ratu, salah satu teman saya “tumbang” diserang hipotermia (kondisi di mana mekanisme tubuh untuk pengaturan suhu kesulitan mengatasi tekanan suhu dingin). Tumpukan sleeping bag dan air panas yang dimasukkan ke dalam botol minuman tidak mempan untuk membuat Ratu berhenti menggigil dan mati rasa sehingga salah satu dari kami membuka baju dan memeluknya. Teknik ini merupakan teknik yang sangat efektif untuk menghadapi seseorang yang hipotermia. Teknik skin to skin ini, seperti “membagikan” panas tubuh ke tubuh yang lainnya. Kejadian malam itu tampaknya masuk ke dalam daftar hal yang tidak akan dilupakan oleh Ratu.

Gapura Dieng Plateau
Tuhan Maha Besar! Hal itu yang terucapkan ketika pagi hari saya keluar dari tenda. Hamparan perbukitan yang ditumbuhi perdu serta puncak Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan Gunung Slamet yang ditutupi segaris awan tampak di kejauhan. Rumah-rumah beratap hitam seragam dan beberapa telaga di sekelilingnya tersusun rapi di pelataran Dataran Tinggi Dieng. Perpaduan yang akan sulit ditemukan di tempat lain. Saya menyusuri perbukitan yang ditumbuhi perdu dan ilalang itu sambil menghirup udara segarnya sebanyak mungkin. Kami mengambil banyak foto dengan latar Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Siang itu kami akan kembali ke bawah untuk mengunjungi telaga dataran tinggi Dieng yang juga terkenal akan keindahannya. Tak banyak yang mendaki Gunung Prau karena kurangnya informasi tentang gunung ini. Kononnya masyarakat Dieng merahasiakannya untuk tetap menjaga kelestariannya.

Perkampungan masyarakat Dieng dari Puncak Prahu
Gunung Slamet tampak gagah di kejauhan
Lewat tengah hari, kami sudah tiba di kaki Prahu dan menikmati makan siang. Kami berpisah dengan teman backpacker yang akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Ke Dieng tidak akan lengkap jika tidak menikmati makanan khas dari sana yaitu Carica. Carica merupakan buah yang dagingnya mirip pepaya tetapi memiliki bentuk dan rasa yang berbeda. Carica ini disajikan di dalam botol karena sudah berbentuk manisan. Sangat enak diminum saat dingin. Kononnya carica ini hanya tumbuh di Dieng dan Chili. 


Kami menyebutnya Bukit Teletubbies
Masih dengan menggendong ransel, kami berjalan menuju telaga yang warnanya ada beberapa macam sehingga disebut Telaga Warna. Telaga warna ini sudah dijadikan objek wisata dan ramai dikunjungi oleh wisatawan pada hari libur. Kami menerobos pintu belakang untuk menghindari pembayaran. Salah satu trik untuk berhemat tapi tidak untuk ditiru. Hehehe..  Telaga tersebut cukup luas dan dikelilingi oleh pohon-pohon besar serta gua-gua yang dipercaya dulunya merupakan tempat bertapa orang-orang sakti.

Setelah puas mengelilingi telaga dan berbincang-bincang di pinggirnya, kami pulang (masih melalui jalan belakang) dan berjalan lagi menuju tempat kami bisa menemukan angkutan yang akan membawa kami ke terminal Wonosobo. Dari Wonosobo, perjalanan kami masih panjang menuju Jogjakarta.

Telaga Warna
Sepanjang perjalanan pulang dari Dieng ke Wonosobo, saya masih memandangi Puncak Prau. Puncak yang tidak mencolok tetapi menyimpan berjuta keindahan. Jalan yang kami lalui masih sama, penuh dengan pemandangan yang tidak akan ada di tempat lain. Apa yang dilihat oleh mata secara langsung dan perasaan saat memandang suatu keindahan merupakan dua hal yang tidak bisa dibeli oleh siapapun, yang sekalipun diceritakan dengan detail, rasanya tidak akan pernah sama. Dieng, dataran tertinggi di Indonesia, indah dan membuat rindu. Suatu saat saya akan ke sana lagi.

I believe I can fly. I believe I can touch the sky


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About