Sabtu, 29 Januari 2011

Negeri Sinetron

Share it Please
Indonesia, negara tempat saya bernaung sebagai warganya. Negara yang punya sejuta keunikan mulai dari alamnya, budayanya, adat istiadatnya, sampai kepada pemerintahannya. Negara ini bukan negara maju bukan pula negara miskin. Negara ini malah bisa dikategorikan sebagai negara yang kaya raya. Tetapi, pengelolaan kekayaan selalu menjadi masalah. Masalah klasik.

Indonesia itu negeri para pelawak. Setiap hari media cetak maupun elektronik menampilkan berita-berita yang bisa mengundang tawa. Tawa sinis tepatnya. Indonesia juga panggung sandiwara. Seperti lagu yang dinyanyikan oleh Nike Ardilla, salah satu penyanyi terkenal pada jamannya yang sudah wafat. Di Indonesia, kita tidak akan tahu siapa yang sebenarnya baik dan siapa yang sebenarnya jahat. Setiap orang, terutama di panggung politik, dapat memainkan perannya dengan baik dan sempurna. Dari sandiwara menjadi sinetron. Sinetron yang tidak putus-putus dan selalu menampilkan episode-episode baru yang tak kunjung selesai. Sinetron yang mempunyai banyak sutradara, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.

Bagaimana tidak, Gayus Tambunan, seorang pria buntet, botak dan seorang pegawai direktorat pajak bergolongan 3A mempunyai harta milyaran rupiah. Selain itu, selama menjalani masa tahanan, dia dapat keluar masuk sel dengan bebas sampai ke luar negeri. Setelah diperkarakan dengan segala tuduhan, dia hanya mendapat hukuman selama 7 tahun dan denda 300 juta rupiah. Dipandang dari segi non hukum dan orang awam seperti saya, hukuman dan denda tersebut saya rasa tidak sesuai jika dibandingkan dengan uang milyaran rupiah yang dihasilkan sebagai seorang mafia pajak. Itu kan uang negara. Didenda hanya 300jt, itu tidak seberapa. Uangnya akan masih nyisa banyak dan Gayus tidak akan jadi miskin walaupun sudah dipenjara. Entah hukum apa yang diterapkan di Indonesia. Rasanya hukum rimba atau hukum adat lebih adil daripada hukum yang disusun oleh orang-orang pintar dan dijalankan oleh orang-orang busuk.

Aktor yang kedua adalah Nurdin Halid. Sang ketua PSSI kita ini, menjadi bahan perbincangan serta bahan cemoohan beberapa bulan terakhir (sebenarnya dari dulu). Pria bermuka tebal yang tidak tahu diri, menganggap bahwa sepakbola Indonesia adalah ladang uang dan punya kakeknya. Liga Super Indonesia, liga resmi di bawah naungan PSSI dan FIFA yang sudah lama diselenggarakan di Indonesia sejauh ini tidak ada perkembangan sama sekali, Justru makin lama makin kacau. Jarang ada pertandingan yang diakhiri dengan damai dan konon katanya masih ada pengaturan skor dan pengaturan wasit. Hey, hey, jangan ikut2an Italia dong masalah calciopoli. Terus, apa yang bisa dibanggakan dari seorang Nurdin? Membawa Indonesia ke final Piala AFF? Bullshit! Itu bukan karena Nurdin. Itu murni karena pemilihan pemain dan racikan strategi yang pas dari seorang Alfred Riedl. Dan sekarang skenarionya adalah Nurdin tidak mau mundur dari kursi ketua PSSI karena merasa masih pantas untuk mendudukinya. Dasar muka badak!

Aktor selanjutnya, Aburizal Bakrie. Orang ini pernah tercatat sebagai orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Ical (panggilannya) adalah seorang konglomerat yang mempunyai perusahaan di mana-mana, juga sempat menjadi pejabat negara dalam waktu yang lama dan sekarang menjadi ketua umum Partai Golkar. Yang paling menarik perhatian dari seorang Ical adalah tentang PT. Lapindo miliknya yang beberapa tahun lalu menyemburkan gas dan lumpur yang menenggelamkan Porong dan Sidoarjo. Ribuan orang terpaksa harus pindah dan mencari tempat tinggal baru. Kabarnya juga, sampai sekarang, kerugian tersebut belum lunas dibayarkan. Selain hal itu, ada juga kasus pajak perusahaan tambang miliknya yang tidak dibayar. WTF! Memangnya, Ical udah bangkrut ya sampai menumpuk "utang"? Kalau memang sudah bangkrut, lalu dari mana uang untuk bikin pesta pernikahan besar-besaran anaknya, Ardi Bakrie?? Atau memang orang kaya sudah mati rasa terhadap penderitaan orang lain? Kalau begitu, sungguh berani dia memang spanduk bertuliskan "Ical for President 2014'. Mendingan beresin urusan dulu pak, baru nyalonin diri jadi presiden. Itu saran saya, tapi Bapak kan lebih pintar.

Masih banyak aktor-aktor yang lain, yang sekarang sedang naik daun dan menjadi buah bibir. Dan aktor dari segala aktor tentunya media di Indonesia yang terkadang terlalu berlebihan dalam memberitakan sesuatu. Membuat berita pengalihan di atas berita yang harusnya diberitakan. Begitu seterusnya. Pers yang harusnya bebas, sekarang ditunggangi kepentingan politik. Ah, muak rasanya jika segala hal dipolitisasi. Entah sampai kapan sinetron di negeri ini akan berakhir. Penonton sudah bosan. Entah apa juga yang diucapkan oleh para pejuang berdirinya negara ini dari alam sana. Perjuangan mereka dikotori oleh orang-orang yang haus kekuasaan. Tapi mereka beruntung tidak hidup di jaman sekarang karena mungkin mereka bisa menangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About