Selasa, 31 Maret 2015

Caving Gombong ; Untold Story

Share it Please
"It is only in adventure that some people succeed in knowing themselves - in finding themselves" - Andre Gide

Perjalanan ini sudah lama. Sekitar beberapa tahun yang lalu. Saya agak lupa detailnya dan tak ada foto dokumentasi satu pun. Tetapi saya akan menceritakan apa yang saya ingat.

Hari itu, hari Jumat seperti biasanya, kami harus melaksanakan masa bimbingan bagi Anggota Muda Palawa Unpad. Salah satu proses yang harus kami lalui untuk menuju jenjang selanjutnya. Tibalah operasional penelusuran gua atau yang dikenal dengan istilah caving. Menelusuri gua bukan sesuatu yang asing untuk saya. Saya sering masuk gua yang dipenuhi peti dan mayat hanya menggunakan lampu petromak atau senter di kampung saya, Toraja. Tetapi caving kali ini tentunya berbeda dengan yang biasa saya lakukan. Kegiatan ini lebih luas cakupannya dengan mengaitkannya dengan ilmu  speleologi. Setelah persiapan selesai, angkutan umum berwarna coklat membawa kami yang berjumlah 9 (sembilan) orang ke stasiun Kiaracondong malam itu. Kami tidak banyak membawa peralatan karena peralatan sudah dibawa oleh Tim Pengembaraan Maros yang sudah berada di Gombong beberapa hari sebelumnya untuk simulasi. Malam semakin gelap dan kereta kelas ekonomi itu membawa kami jauh ke timur. 

Pagi merekah dan saat saya membuka mata, kami sudah berada di daerah Jawa Tengah dan sebentar lagi akan tiba di Stasiun Gombong. Kami turun dan mengikuti langkah Margo, salah satu teman kami yang merupakan orang asli Gombong. Jadi kami tidak akan tersesat. Kami menikmati sarapan di depan stasiun sambil bernegoisasi dengan sopir elf (kendaraan semi bis) untuk mengantar kami ke tempat tujuan. Negoisasi berhasil dan kami melaju menuju Kawasan Karst Gombong Selatan di Kecamatan Ayah. Kegelapan abadi, kami datang.

Turun dari elf ternyata bukan perjalanan terakhir. Kami harus berjalan sekitar 1 kilometer untuk mencapai rumah Pak Saji, tempat kami akan menginap. Pak Saji, seorang pria paruh baya adalah petugas Perhutani yang mengetahui seluk beluk kawasan karst tersebut. Pak Saji bersedia untuk ditumpangi rumahnya oleh kami selama di sana. Hubungan ini terus terjalin sampai sekarang. Jadi kami sudah punya basecamp jika kami datang ke sini. Saya sendiri punya cerita kenangan pada kedatangan saya kali ini dengan Pak Saji dan istrinya sehingga pada tahun 2011 saya kembali ke Gombong, mereka masih mengingat saya. Mereka orang baik. Semoga mereka selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang.

Tidak ada waktu untuk bersantai, setibanya kami langsung berganti pakaian dan akan melakukan eksplorasi mulut gua sebelum kami melakukan penelusuran dan pemetaan gua keesokan harinya. Panas siang itu sangat menyengat. Saya tidak ingat berapa tepatnya mulut gua yang kami temui sebelum kami memutuskan untuk pulang dan beristirahat. 

Hari kedua kami melakukan penelusuran gua - gua yang sudah kami temukan sebelumnya. Wear pack, sepatu boot, helm dan penerangan berupa headlamp sudah kami kenakan. Tak lupa kami membawa peralatan untuk menuruni gua vertikal dan untuk memetakan gua. Kami dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok. Kami memasuki sebuah gua yang dialiri air. Gua tersebut bernama Gua Banyu (banyu berarti air). Airnya mengalir tenang keluar gua. Semakin masuk, kami semakin melawan arus air. Setelah berjalan dan beberapa kali berenang, kami menemukan sebuah kolam dan air terjun. Tidak terlalu besar tetapi sangat bagus. Kami ingin berenang di dalam kolam andai kami tidak melihat ular berwarna hitam yang bergerak cepat di atas permukaan air. 

Gua kedua yang kami masuki adalah Gua Jebulan. Gua tersebut adalah sebuah gua yang cukup panjang dengan ornamen berupa stalagtit, stalagmit dan goursdam yang berkilauan seperti permata. Setelah berjalan sekitar setengah jam, kami bertemu dengan seseorang yang sedang menangkap burung walet. Dia adalah salah satu penduduk desa yang mempunyai pekerjaan sampingan sebagai pencari burung walet. Ternyata gua ini menyambung dengan Gua Petruk yang dijadikan sebagai gua wisata. Tak heran jika mengingat ornamennya yang bagus dan menarik. 

Gua selanjutnya adalah Gua Langsa. Tak ada yang menarik dari gua ini apalagi dengan bau guano yang sangat menyengat. Guano adalah kotoran kelelawar, binatang yang paling sering dijumpai di dalam gua. Selain bau guano, tanahnya yang becek juga mengharuskan kami menggunakan tenaga ekstra untuk berjalan apalagi ketika boot kami terjebak di dalam lumpur.

Hari sudah mulai gelap. Masih ada satu gua lagi yang kami telusuri sebelum menutup hari itu. Sebuah gua vertikal yang tidak terlalu dalam tetapi sangat berguna untuk latihan SRT (Single Rope Technique) kami. Pantang pulang sebelum latihan selesai, begitu slogannya. Entah slogan buatan siapa.

Pukul 2 pagi, kami semua selesai melakukan percobaan untuk turun ke dalam gua. Waktunya untuk kembali ke rumah Pak Saji. Langit malam itu tampak lebih terang daripada di dalam gua. Kami pulang dengan pakaian basah dan berlumuran lumpur. Sambil menunggu giliran mandi, kami membereskan alat dan mulai packing. Kami memang berencana untuk pulang saat matahari terbit. Hal ini bertentangan dengan keinginan para pembimbing yang mengusulkan untuk pulang esok harinya. Kami tetap berkeras kepala.

Pagi berkabut kami tembus dengan berjalan kaki ke jalan raya untuk naik angkutan umum menuju Stasiun Gombong. Kereta menuju Bandung akan berangkat pada pukul 9 pagi. Kami tidak ingin ketinggalan kereta. Sekitar pukul 7 kami sudah tiba di stasiun dan menunggu kereta ekonomi yang akan menuju Bandung. Tanpa sepengetahuan kami, pembimbing juga pulang dengan menggunakan kereta yang sama.

Yang menguntungkan dari kereta ekonomi hanya satu yaitu harganya yang terjangkau. Selebihnya tidak ada. Perjalanan pagi itu adalah perjalanan terburuk saya menggunakan kereta api seumur hidup saya. Kereta penuh sesak, segala bau bercampur jadi satu dengan kapasitas kipas angin yang tidak memadai sama sekali.  Dua pertiga dari perjalanan tersebut kami habiskan dengan berdiri di lorong dan membawa carrier yang tak ringan karena tidak mendapatkan tempat duduk.PT. KAI kala itu masih menjual tiket tanpa tempat duduk. Siapa cepat, dia dapat. Pedagang berlalu lalang dengan teriakannya dan menabrak siapapun yang menghalangi jalannya. Betul - betul seperti tempat pengumpulan tahanan yang siap dieksekusi mati.

Kami tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Begitu kereta tiba di Stasiun Gede Bage dan melambat, kami melompat satu persatu dari kereta dengan memanfaatkan pelampung sebagai bantalan. Hal itu sebenarnya tidak diperbolehkan karena stasiun tersebut bukan untuk penumpang tapi barang. Selain itu, kereta tidak benar - benar berhenti. Son yang sudah melompat dari kereta menyadari bahwa carriernya masih tertinggal di dalam kereta. Dia langsung mengejar kereta yang sudah mulai bergerak cepat. Dengan skill panjat tebing yang cukup mumpuni, hal tersebut tidak terlalu sulit buatnya. Kami berjalan keluar stasiun untuk mencari angkutan umum sedangkan Son melanjutkan perjalanan ke Stasiun Kiaracondong bersama para pembimbing yang berbeda gerbong dengan kami.

Tindakan kami adalah sebuah pelanggaran yang berkaitan dengan keselamatan. Tidak untuk diulangi dan tidak untuk dicontoh (jika tidak terdesak). Masa muda memang masa yang berapi - api. Saya sarankan untuk sekali - kali melanggar aturan untuk belajar dan juga untuk mengisi masa muda agar tidak sekedarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

About

Blogroll

About