Kampung Naga, bahasa kerennya Dragon Village, tapi itu hanya sebutan
iseng dari kami yang hidup pada masa “sok inggris”. Hari itu saya, Cahaya dan
Gufi, teman saya di organisasi pecinta alam, berencana jalan-jalan ke Kampung
Naga yang ada di Tasikmalaya. Kami sudah sering mendengar Kampung Naga dan
penasaran ingin melihat langsung kehidupan masyarakat di kampung adat ini. Ditemani oleh Jabir dan Jaya, 2
orang senior di Palawa Unpad, organisasi pecinta alam yang kami masuki awal tahun 2008, kami berangkat ke
Tasikmalaya dengan menggunakan elf (kendaraan semi bis). Perjalanan yang
memakan waktu sekitar 3 jam itu, cukup menyenangkan karena cuaca yang cerah dan
sepanjang jalan, kita dapat menikmati pemandangan alam yang indah. Kampung Naga
terletak di perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, tetepi
wilayahnya sudah masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Pemukiman penduduk Kampung Naga,
terletak di bawah lembahan yang dapat dicapai dengan menuruni anak tangga yang
berjumlah ratusan. Bentuk tangga yang berkelok-kelok dan panjang ini konon
katanya berbentuk naga. Kami ternyata datang pada waktu yang tidak tepat karena
saat itu bulan puasa. Penduduk Kampung Naga tidak akan melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan adat di Hari Sabtu pada bulan puasa karena larangan dari
para leluhur. Setelah berbincang-bincang dengan masyarakat sekitar
perkampungan, kami dibolehkan masuk ke dalam perkampungan tetapi harus kembali sebelum
adzan maghrib.
Sebenarnya kami ingin menemui
kepala adat, tetapi beliau tidak ada di tempat, sehingga kami disuruh untuk
bertemu dengan Ketua RT, yang menurut mereka hanya kedudukan formalitas karena
kepala adat lebih berfungsi daripada jabatan dari pemerintah tersebut. Kami
diajak berkeliling. Perkampungan sore itu tampak lengang, hanya ada beberapa
ibu yang sedang mengutui anaknya dan
beberapa anak gadis yang pulang mengambil air untuk dimasak. Perumahan kayu unik
yang semuanya dibangun seragam dengan atap nipa dan lantai kayu yang dibuat
sekitar satu meter dari tanah, memungkinkan penduduk menyimpan berbagai macam
perkakas di bawah kolong rumah. Di sekeliling perkampungan terdapat balong, yaitu empang untuk memelihara
ikan. Ikan yang banyak dipelihara adalah lele jumbo yang berukuran sebesar kaki
orang dewasa. Tidak heran ikan-ikan itu besar karena mendapat “asupan” gizi
yang baik dari kamar mandi dan jamban yang dibangun di atas balong tersebut. Di belakang perkampungan terdapat sungai yang airnya masih sangat jernih dengan hamparan sawah di pinggirnya serta hutan yang masih sangat dijaga "keperawanannya". Hutan tersebut tidak boleh ditebang sembarangan dan hasilnya diambil seperlunya.
Selain itu, masyarakat Kampung
Naga juga mencari nafkah dengan membuat kerajinan dari kayu dan rotan.
Kerajinan tersebut dijual di depan rumah mereka dan beberapa didistribusikan
keluar kampung. Menurut ketua RT, Kampung Naga pada hari-hari libur banyak dikunjungi
oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan para peneliti. Salah satu bentuk
konservasi yang dilakukan oleh warga Kampung Naga adalah dengan tidak memakai
listrik. Listrik merupakan salah satu hal yang dilarang dalam tatanan adat
karena diniliai dapat mengubah nilai-nilai kesederhanaan dan alami mereka. Inilah
bedanya masyarakat adat dengan masyarakat modern yang mengabaikan nilai untuk
mengejar prestise. Masyarakat adalah orang bersuku Sunda yang setiap hari
menggunakan bahasa Sunda halus, sehingga kami tidak terlalu sulit untuk
berkomunikasi dengan mereka. Saya sempat diajarkan untuk membuat salah satu
kerajinan dari rotan yang ternyata membutuhkan ketelitian dan keuletan walaupun
kelihatannya mudah.
Adzan maghrib mulai berkumandang, kami siap meninggalkan kampung dengan menaiki tangga "naga" yang cukup membuat kami berkeringat. Setelah buka puasa di sebuah warung, kami mencari penginapan dan seorang penduduk desa (di luar Kampung Naga) menawari kami untuk menginap di rumahnya. Saat asik berbincang dengan pemilik rumah, ketua RT yang tadi menjadi guide kami datang dan menanyakan apakah kami ingin menginap di dalam kampung. Menyinggung masalah larangan, beliau berkata tidak apa-apa asal bisa menjaga sikap. Kami menerima tawaran itu dengan senang hati dan segera berkemas. Kami memasuki kampung dengan menuruni tangga lagi dengan menggunakan bantuan penerangan dari headlamp. Kami dibawa ke sebuah rumah kayu milik ketua RT ketika dia belum berkeluarga dan hanya sekali-kali ditinggali. Kami berbincang sampai tengah malam dan akhirnya tertidur. Tertidur dalam kesederhanaan dan kesunyian Kampung Naga. Hangat dan tentram. Ingin rasanya kembali ke sana, berbaur dengan masyarakatnya, mempelajari nilai yang sudah mulai pudar, dan kembali kepada kesederhanaan yang sesungguhnya.
A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots
- Marcus Garvey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar