Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian Ekspedisi Laos. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian Ekspedisi Laos. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Juli 2013

Kami, Para Turis Gasruk

Catatan yang tertinggal...
Thaekek, 4 Desember 2011 

"If you don't know where are you going, Any road will get you there" - George Harrison

Pagi hari ini Thaekek cerah seperti pertama kali kamu datang ke sini. Setelah sarapan dan pindah ke hotel yang lebih luas dan mempersiapkan segala sesuatu untuk tim yang baru akan datang, kami menyewa motor untuk jalan-jalan hari itu. Kami berencana mengunjungi gua-gua wisata yang ada di sekitar Thaekek. Gua di dalam bahasa Laos disebut “Tham”. Ada yang menyebutnya “Than”. Kami menyusuri jalan raya yang cukup besar ke arah Maahaxay. Pemandangan yang sangat luar biasa kami lihat di sepanjang jalan. Kanan kiri jalan dipenuhi tebing karst yang menjulang tinggi dengan gagahnya. Saya hanya bisa ternganga melihat gunung batu yang tampak tak tersentuh sehingga kemegahannya masih sangat terasa. Akan sangat jauh berbeda jika menyusuri jalan Padalarang, Jawa Barat yang gunung-gunungnya sudah tidak berbentuk bahkan habis dikarenakan eksploitasi besar-besaran perusahaan meubel.


Perhentian pertama kami jatuh pada sebuah gua yang merupakan tempat ibadah umat Budha di sekitar daerah tersebut. Gua itu juga dibuka untuk para wisatawan. Gua tersebut berada di bawah sebuah tebing yang jika dilihat sekilas akan tampak seperti tebing yang tersusun dari batuan andesit. Namun, kata Anto, sang Geologist, itu merupakan batuan karst. Kami menanyai penjaga berapa yang harus kami bayar untuk masuk ke dalam gua tersebut. Tetapi lagi-lagi kendala bahasa. Bahasa isyarat pun tak mempan. Jadi kami terus berjalan mengikuti tangga tanpa diinterupsi oleh sang penjaga. Sepanjang tangga dipenuhi kain warna warni sehingga saya menebak, sebelum kami ke sana ada perayaan keagamaan. Mulut gua tersebut besar dan di dalamnya terdapat patung Budha yang sangat besar. Untuk mendekati patung tersebut, kami harus melepaskan alas kaki. Setelah berfoto dan melihat-lihat, kami meneruskan perjalanan ke gua selanjutnya.




Gua ini kami temukan berkat penunjuk jalan bertuliskan “Phan Ya In Cave”. Guanya tampak sudah lama tak dikunjungi karena jalan menuju ke sana ditutupi semak belukar. Di depan mulut gua terdapat sebuah patung Budha yang warnanya masih cerah namun sudah berdebu. Seperti biasa, rasa penasaran membawa kamu untuk melangkah ke dalam gua tanpa penerangan. Tapi tak perlu khawatir karena chamber di dekat mulut gua masih sedikit diterangi matahari. Jika berjalan sedikit ke bawah, kita akan melihat sebuah aliran sungai. Wah, nanti Tham Khoun Xe juga begini bentuknya, pikir kami. Fariz yang berjalan paling depan langsung memperlihatkan muka iseng dan memberikan ide untuk kembali mengambil pelampung. Tapi usulan itu kami tolak dengan alasan jarak tempuh dan memutuskan untuk datang lagi esok harinya dengan membawa pelampung.


Perjalanan kami lanjutkan jauh ke arah Mahaxay. Jalan ini merupakan jalan yang bisa dilalui jika ingin ke Vietnam. Di kiri kanan jalan masih didominasi oleh tebing-tebing dan rumah penduduk. Rumah-rumah penduduk ini terbuat dari kayu dan sangat sederhana. Semakin jauh, pemandangan masih sama sehingga kami memutar balik dan kembali ke arah menuju Thaekek. Di tengah perjalanan, kami tertarik (lagi-lagi) pada sebuah penunjuk kalan besar tentang keberadaan sebuah gua wisata. Namanya pernah saya dengar dari Mr. Mee, orang asli Laos yang akan menjadi guide kami nantinya. 8 km? Tidak terlalu jauh, pikir kami. Kami berempat, saya, Fariz, Anto, Fia, mempercepat laju motor di atas jalan berdebu tebal. Karena saat itu musim kemarau, maka tak ayal seluruh debu beterbangan menyambut deru mesin motor sewaan kami sore itu. Setelah bergulat dengan debu sekitar 20 menit, tibalah kami di sebuah tempat yang dikelilingi gunung-gunung batu, tempat yang rasanya pernah saya lihat di sebuah adegan film mandarin. Kami memarkir motor dan berjalan di sepan sebuah toko souvenir kemudian berjalan menuju gua. Jalan menuju gua tersebut adalah jembatan kayu yang dibuat di atas sebuah rawa yang ditumbuhi banyak tumbuhan liar. Makin mirip dengan tempat syuting film, pikirku. Ternyata rawa tersebut tersambung dengan genangan sungai yang melintasi gua tersebut. Melihat sebuah perahu kayu usang diparkir di pinggir rawa, dapat disimpulkan bahwa dulu bada service melalui aliran sungai menaiki perahu.



Gua ini juga ternyata merupakan tempat ibadah umat Budha. Untuk masuk ke dalam gua, para wanita harus menggunakan sarung yang disewakan seharga 5000 kip. Sudah ada tangga permanen yang dibuat menuju mulut gua tempat orang beribadah. Mulut guanya agak sempit. Tetapi begitu terkejutnya kami ketika melihat pemandangan dalam gua. Gua tersebut seperti disulap menjadi kuil mini dengan lilin dan instrumen-instrumen ibadah di sekelilingnya. Di tengah-tengah gua yang cukup luas itu juga digelar karpet dan di atasnya ada sekitar 7 orang yang sedang berkeliling untuk makan dan sebagian lagi menghitung uang. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan karena mereka tampak biasa-biasa saja dengan kedatangan kami. Salah seorang hanya berseru memberikan isyarat tidak boleh ketika kami mengeluarkan kamera. Di dalam gua itu tidak boleh memotret. Singkat dan kami memutuskan untuk keluar meninggalkan tempat itu. Pemandangan di luar gua jauh lebih menakjubkan dan bukan main indahnya. Kami akan berlama-lama di situ andai saja tidak memikirkan jalan kembali yang agak jauh sedangkan hari semakin sore.



Debu kembali mengepul. Beberapa kali yang dibonceng harus keluar turun di motor karena kondisi jalan yang buruk dan hari sudah mulai gelap ketika kami tiba di jalan raya menuju Thaekek. Petualangan kami akan dilanjutkan besok. Hari ini cukup karena saudara-saudara kami yang lain akan segera tiba di Thaekek setelah menempuh perjalanan panjang dari Vientiane.


Continue Reading...

Jumat, 17 Mei 2013

Perjalanan ke Selatan dan Elvi Sukaesih

Catatan yang tertinggal..
Thaekek, 1 Desember 2011 

"Aku memuja mereka para pencipta nada indah yang membawaku terlelap tidur di atas kursi robek yang tidak empuk sama sekali.."

Kami bangun agak pagi hari ini karena kami berencana untuk mendatangi Kedutaan Besar Indonesia di Laos. Masih menggunakan sepeda yang kami sewa semalam, kami menyusuri pusat kota Vientiane dengan berboncengan. Sebelumnya, kami menuju morning market untuk mencari sarapan. Lagi-lagi sulit untuk menemukan makanan yang tidak mengandung babi sehingga kami hanya membeli peganan-peganan kecil (yang kami yakini tidak ada babinya) untuk mengganjal perut. Saya adalah seorang Kristen yang tidak ada masalah dengan babi, hanya saja rasanya tidak toleran jika saya makan daging babi dengan lahap di hadapan ketiga teman yang beragama Muslim.

Morning market

Dengan bermodalkan peta dan bertanya pada orang yang kami temui, akhirnya kami menemukan KBRI di Laos. Senang rasanya bertemu orang sebangsa di negara orang lain. Kami tidak perlu capek-capek untuk berbahasa Inggris atau menggunakan bahasa isyarat seperti yang kami lakukan kemarin. Salah satu petugasnya bernama Heni, merupakan salah satu alumni Universitas Padjadjaran Jurusan Hubungan Internasional FISIP sehingga dia langsung tahu ketika kami menyebutkan Palawa Unpad. Setelah berbincang dan mengutarakan maksud kedatangan kami, kami menyerahkan fotocopy paspor yang (katanya) akan sangat berguna jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Salah satu petugas KBRI menyayangkan tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu akan kedatangan kami sehingga mereka bisa bersiap-siap. Kami juga dipesankan untuk berhati-hati karena wilayah tempat gua yang akan kami telusuri masih terisolasi dan sulit bagi penduduknya untuk menerima kedatangan orang baru. Kami berfoto dengan para petugas KBRI dan kembali ke penginapan untuk mengambil barang-barang karena kami akan segera bertolak ke Thaekek, ibukota Propinsi Khammuoane yang akan menjadi titik temu kami dengan anggota tim lain yang akan datang dari Indonesia beberapa hari ke depan. Dengan diantarkan oleh sopir taksi yang sama saat pertama kali kami menginjakkan di Laos, kami tiba di South Terminal dan menuju Thaekek pukul 1 siang menggunakan bis VIP bertingkat 2 seharga 80.000 kip.

KBRI di Laos
South Terminal dan Bus VIP menuju Thaekek
Perjalanan dari Vientiane menuju Thaekek memakan waktu sekitar 7 sampai 8 jam. Sama dengan jarak tempuh dari Makassar menuju ke kampung saya, Toraja. Pemandangan sepanjang jalan cukup menarik. Perumahan penduduk yang banyak menjual makanan berupa daging babi, daging ayam serta ikan yang ditusuk dengan kayu tebal sekitar 15 cm. Makanan tersebut akan dipanaskan dengan dipanggang jika ada yang membeli dan akan dijual bersama nasi ketan atau sticky rice. Orang-orang Laos tidak suka makan nasi yang dikukus (steamed rice) seperti orang Indonesia . Perjalanan berkelok-kelok dan jauh itu tidak bisa mengalahkan rasa kantuk saya. Saya tertidur sepanjang sisa perjalanan.

Barang-barang diturunkan dari tuk-tuk
Kami tiba pada pukul 8.30 malam di terminal Thaekek dan langsung mencari penginapan dengan menggunakn tuk-tuk, kendaraan umum khas yang bentuknya seperti delman, hanya saja kudanya diganti dengan motor. Makan malam kami ramai dengan adanya Mr. Mee, lelaki berumur 32 tahun bertubuh kecil dan pendek, guide yang akan mengantarkan kami menuju Gua Khoun Xe, gua besar yang hendak kami telusuri dalam kegiatan World Gigantic Cave Expedition. Dengan bahasa inggris yang terbilang lancar, Mr. Mee menjelaskan tentang akses, perijinan dan dana untuk menuju ke gua tersebut sambil bercanda sesekali.

Setelah makan malam, saya dan Fariz bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Phakse di sebelah selatan Kota Thaekek. Phakse merupakan ibukota Propinsi Champasak. Menggunakan tuk-tuk ke terminal Thaekek dan kami pun berangkat menuju Phakse pada pukul 11 malam dengan menggunakan bis ekonomi yang sesak oleh penumpang dan barang-barang bawaan mereka. Kami beristirahat panjang sambil mendengarkan lagu dangdut versi Thailand yang sengaja diputar keras-keras oleh sopir bis agar tidak mengantuk. Saat itulah saya benar-benar menyadari bahwa dangdut Indonesia jauh lebih bagus Berbanggalah kita memiliki Elvi Sukaesih, Ikke Nurjana, Iis Dahlia dan penyanyi dangdut Indonesia lainnya. Paling tidak cengkokan dan suara mendayu-dayu mereka lebih enak didengar. Hail dangdut!

Continue Reading...

Rabu, 15 Mei 2013

Hello Lao PDR! Hello Mekong River!

Catatan yang tertinggal
Vientiane, 30 Desember 2011 


"Gue ke luar negeri coy..."

Hari yang saya tunggu-tunggu akhirnya datang. Yup, sebentar lagi saya akan menginjak negara lain untuk pertama kalinya. Yang saya rasakan lebih dari rasa antusias. Dipercaya sebagai tim advance bersama 5 rekan Palawa Unpad lainnya yaitu, Anto, Alfia, Fikri, Fariz, Dayat, kami akan menuju Laos untuk mempersiapkan hal-hal demi kelancaran ekspedisi yang akan kami lakukan di sana. Berangkat sekitar pukul 05.30 dari Bandara Soekarno Hatta dan transit sekitar 3 jam di TCC Terminal, Kuala Lumpur, tibalah kami di Vientiane, ibukota Laos sekitar pukul 5 sore. Bandara yang terbilang sangat sepi. Bisa dibilang bandara di Vientiane ini lebih sepi daripada Bandara Husein Sastranegara di Bandung. Yang tampak turun dari pesawat dan mengantri di depan loket petugas administrasi sebagian besar adalah wisatawan asing. Membeli nomor baru dengan provider lokal adalah hal pertama yang kami lakukan begitu keluar dari terminal kedatangan karena provider Indonesia tidak akan berguna sama sekali di sini. Menggunakan taksi yang bentuknya lebih seperti mobil pribadi, kami menuju ke North Terminal untuk mengantar Dayat dan Fikri yang akan menuju ke Van Vieng dan Udom Xai untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Saya menebak, adanya North Terminal dan South Terminal dikarenakan bentuk wilayah Laos yang memanjang dari utara ke selatan sehingga tidak akan sulit bagi mereka yang akan bepergian untuk memilih jalur yang dikehendaki. Tebakan saya tampaknya hampir benar setelah mendengar penjelasan dari sopir taksi yang cukup fasih berbahasa Inggris.

Bandara Internasional Wattay, Vientiane

Kami diantar menuju Central City, pusat kota Vientiane, tempat yang paling ramai di Laos untuk mencari penginapan. Suasana malam di Central City bagus dengan adanya pasar malam di tepian Sungai Mekong, sungai yang melewati hampir seluruh wilayah barat Laos dan merupakan perbatasan antara Laos dan Thailand. Central City dipenuhi oleh wisatawan-wisatawan asing yang berlalu lalang. Jika Indonesia mungkin seperti Legian di Bali atau Malioboro. Laos merupakan salah satu destinasi wisata di Asia Tenggara yang diminati oleh wisatawan asing karena pemandangan alamnya yang istimewa. Di Laos ada banyak gua dan tebing bagi mereka yang suka kegiatan alam bebas. Ada juga kuil-kuil bagi mereka yang suka berwisata budaya dan spiritual. Laos merupakan negara Komunis. Tidak perlu menanyai om Google atau membaca buku, hal itu sudah bisa dilihat di hampir semua bangunan yang memasang bendera negara berdampingan dengan bendera bergambar palu dan arit. Sulit untuk mencari makanan halal bagi teman yang beragama Muslim karena sebagian besar restoran menjual daging babi sebagai menu utama. Bahasa juga merupakan kendala besar karena warga asli Laos yang bisa berbahasa Inggris sangat sedikit sehingga kami lebih banyak menggunakan bahasa isyarat.

North Terminal

Sebuah patung di tengah-tengah Kota Vientiane
Menyusuri kota dengan menggunakan sepeda sewaan membantu saya dan rekan lainnya menikmati malam yang panjang di Vientiane. Di sepanjang jalan banyak kumpulan pemuda mengitari meja, minum bir Lao sambil asyik mengobrol. Pada pukul 10 malam, jalanan sudah mulai sepi tetapi masih ada beberapa bar yang buka dan hanya dipenuhi oleh bule-bule.


Central City di malam hari
Kami kembali ke kamar hotel seharga 150 ribu kip/per malam (1 USD = 8000 kip). Kami tertidur lelap setelah seharian melakukan perjalanan panjang. Ah, kemarin saya masih tidur di kamar kosan saya di Jatinangor dan sekarang saya tidur di atas kasur hotel di negara tetangga di Utara. 
Continue Reading...

Jumat, 30 Desember 2011

Phakse, Kota Persinggahan Nafas Champasak

Catatan Yang Tertinggal
Phakse, 2 Desember 2011

"Kesempatan tidak datang dua kali.. Explor terusss sampe mampuusss.. "

Hari masih gelap ketika kami dibangunkan oleh kondektur local bus jurusan Thakek-Pakse. Dia memberitahu kami bahwa kami telah sampai di Kota Pakse. Bis tersebut seharga 60.000 kip/orang dan dipesan langsung di terminal Thaekek. Hari itu sekitar pukul 05.30, kami turun dan melihat sekeliling. Ini adalah pertama kalinya kami menginjak kota ini. Hari itu tanggal 2 Desember 2011, hari ketiga kami berada di Laos untuk mengurus segala hal yang akan kami butuhkan untuk ekpedisi ini. Sebelumnya ada 2 (dua) orang yang menuju ke utara tepatnya ke Kota Udom Xai dan 2 (dua) orang lagi stay di Thaekek untuk mengurus hal-hal yang belum beres. Kami ditugaskan menuju ke selatan. Hal yang pertama kami pikirkan adalah penginapan. Tanpa ragu-ragu kami memanggil tuktuk (angkutan umum khas Laos) dan menyuruh sopirnya untuk mengantarkan kami ke penginapan yang sesuai dengan kantong kami. Setelah kami tiba di salah satu penginapan yang tidak terlalu mahal tetapi nyaman, kami segera merebahkan badan dan tertidur sampai tengah hari karena perjalanan panjang yang kami lalui dari Vientiane ke Thaekek dan dari Thaekek ke Pakse.  

Setelah cukup beristirahat, kami mencari makan siang dan pilihan kami jatuh kepada rumah makan di depan penginapan. Karena teman saya seorang Muslim maka, kami makan makanan yang mengandung ayam. Aman. Kemudian, kami memulai berkeliling kota dengan berjalan kaki dan diteruskan dengan menyewa motor. Kota Pakse merupakan ibu kota dari Propinsi Champasak. Kota ini tidak terlalu besar tetapi juga tidak terlalu kecil. Banyak terdapat guest house dan hotel di pusat kota serta banyak wisatawan yang berkeliaran. Pakse merupakan kota persinggahan bagi wisatawan-wisatawan yang ingin melakukan perjalanan wisata di kawasan selatan negara Laos. Dari Pakse ada beberapa kawasan pariwisata andalan yang dapat diakses dengan mudah seperti Bolaven Plateau, 4000 island, Wat Phou dan lain-lain. Beberapa di antaranya menyediakan perjalanan wisata menyusuri Sungai Mekong dengan menggunakan perahu. Kawasan-kawasan pariwisata tersebut tidak menyediakan penginapan dan dapat dinikmati dalam 1 (satu) hari jadi mau tidak mau, wisatawan harus menginap di Pakse. Di Pakse hampir setiap guest house atau hotel berhubungan langsung dengan travel agent yang menyediakan trip-trip wisata sehingga sangat mudah untuk mengunjungi kawasan pariwisata yang diinginkan. Wisatawan hanya tinggal bilang mau ke mana dan kapan, maka resepsionis akan segera menelpon travel agent dan kita akan dijemput pada waktu yang telah ditentukan. Pembayaran dapat dilakukan langsung di guest house atau hotel. Selain itu, jika kita datang ke warung internet atau tempat penyewaan motor maka petugas akan memberikan kita peta kota kepada wisatawan agar mudah untuk berkeliling kota. Keren!

Sepanjang barat Kota Pakse dilalui oleh Sungai Mekong. Sore itu kami menyebrangi sungai Mekong melalui sebuah jembatan yang disebut Lao-Japan Bridge. Disebut demikian karena jembatan tersebut merupakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Jepang sebagai tanda persahabatan dengan pemerintah Laos. Selain jembatan tersebut, ada beberapa bangunan di Laos yang dibangun oleh pemerintah Jepang. Jika dari Kota Thaekek setelah menyebrangi Friendship Bridge maka di seberangnya adalah wilayah Thailand, berbeda dengan menyeberang Lao-Japan Bridge. Setelah menyeberang, maka daerah seberang Sungai Mekong tersebut masih merupakan wilayah negara Laos. Daerah perbatasan Laos dan Thailand masih sekitar 68 km lagi dari jembatan. 
Champasak Shangha College. A college for monks

A bridge over Mekong river, a present from Japan's government for Laos
Pada malam hari, suasana Kota Pakse hampir mirip dengan Kota Vientiane karena banyak wisatawan asing yang memenuhi jalan, rumah makan dan kafe-kafe. Tetapi hal tersebut hanya sampai sekitar pukul 23.00 karena pada tengah malam, jalanan mulai sepi dan hanya terlihat beberapa pemuda yang duduk di depan rumah mengitari meja untuk mengobrol sambil meneguk bir. Hal ini bisa dibilang sebuah tradisi di Laos.

Masih Phakse, 3 Desember 2011 

Pagi tepat pada pukul 8.00 kami dijemput oleh mobil travel yang akan membawa kami ke Bolaven Plateau. Cukup membayar 160.000 kip/orang, kami akan dibawa berkeliling dari pukul 8 pagi sampai pukul 6 sore menyusuri dataran tinggi Bolaven yang merupakan salah satu tujuan wisata yang cukup terkenal di Laos. Perjalanan kami dimulai dari sebuah perkebunan teh yang disebut Ongya Tea Plantation. Perkebunan teh tersebut adalah milik sepasang suami istri yang sudah terbilang tua. Setiap hari perkebunan mereka dikunjungi oleh wisatawan-wisatawan yang akan menikmati dataran tinggi Bolaven. Walaupun tidak terlalu luas, perkebunan tersebut menyajikan pemandangan yang bagus dan udara yang sangat segar. Selain itu, di perkebunan tersebut juga memperlihatkan proses pembuatan teh. Setiap wisatawan juga dipersilahkan untuk menikmati segelas teh yang diproses langsung di tempat tersebut. Segelas teh hangat dan baunya wangi sangat pas untuk udara yang cukup dingin khas perkebunan teh. Dari Ongya Tea Plantation, kami dibawa menuju Tad Fane Waterfall. Air terjun yang disebut air terjun kembar ini setinggi hampir 120 meter. Disebut air terjun kembar karena terdiri dari dua air terjun yang terbentuk dari dua aliran air yang berbeda dan membentuk satu aliran yang kemudian menuju ke Sungai Mekong. Air terjun Tad Fane hanya bisa dinikmati dari jauh karena untuk mencapainya, kita harus menuruni tebing dan memakan waktu yang agak lama sedangkan travel agent sendiri telah menetapkan harus berapa lama kita berada di situ. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju air terjun yang lainnya. Gnenuang Waterfall merupakan tujuan selanjutnya. Berbeda dengan Tad Fane, Gnenuang Waterfall dapat dinikmati dari dekat. Disediakan tangga untuk turun ke tempat aliran air tersebut jatuh. Di sekelilingnya terdapat taman dan hutan yang dapat digunakan bersantai. Tidak hanya wisatawan asing, saat kunjungan kami, banyak wisatawan lokal yang datang untuk menikmati keindahan air terjun ini. Setelah cukup lama menikmati Gnenuang Waterfall, kami menyusuri jalan terus ke timur melewati daerah bernama Pa Xong. Tibalah kami di Pa Xong coffee plantation, sebuah perkebunan kopi yang cukup besar. Di sana kami melihat puluhan orang membagi tugas untuk mengolah kopi yang baru dipetik. Kopi yang baru dipetik ditumpuk kemudian dilepas kulitnya dengan menggunakan mesin sederhana, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah bak dan di sana ada beberapa orang yang bertugas untuk membersihkan kopi tersebut sampai benar-benar bersih. Setelah bersih dari kulitnya, maka kopi tersebut kemudian dijemur di bawah terik matahari lalu disangrai (digoreng tanpa minyak) dan digiling menghasilkan kopi bubuk yang rasanya sangat enak. Kami dipersilahkan mencicipi kopi yang langsung diolah di Pa Xong Coffee Plantation. Kopinya enak dan wangi. Tidak heran jika kopi tersebut juga diekspor ke negara-negara lain. 
Ongya Tea Plantation
Gnenuang Waterfall
Tujuan terakhir kami sebelum makan siang adalah Khok Pung Thai Ethnic Village. Desa ini terletak sekitar 103 km dari Kota Pakse. Desa yang ditinggali oleh suku Katou ini terletak di pinggir jalan tetapi yang unik, masyarakatnya tidak bisa menggunakan bahasa Laos yang sehari-hari dipakai oleh masyarakat Laos pada umumnya. Mereka menggunakan bahasa daerah mereka sendiri. Ada satu orang yang lancar berbahasa Inggris sehingga ia ditunjuk untuk menjadi local guide bagi wisatawan yang datang. Di Desa Khok Pung Thai ini, terdapat satu sekolah alternatif di mana guru-gurunya didatangkan dari Thailand, Singapura, Prancis dan beberapa negara yang bekerja sama dengan pemerintah Laos. Desa ini merupakan salah satu desa yang sedang dalam proses pengembangan yang ditinjau langsung oleh pemerintah Laos. Masyarakat Katou masih sangat menjaga adat istiadat mereka. Mereka hampir semuanya menganut kepercayaan kepada roh-roh. Pada umur 30-40 masyarakat di desa ini sudah harus membuat peti mati untuk persiapan. Jika seseorang meninggal karena kecelakaan, maka orang tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam peti karena dianggap mendatangkan sial. Jenazahnya akan diletakkan di dalam hutan sampai waktu di mana sial yang dibawa sudah hilang. Yang unik lagi, di desa ini perempuanlah yang bekerja di ladang dan menjadi petani sedangkan kaum laki-laki tinggal di rumah untuk merebus air untuk istri-istri mereka. Menurut local guide yang menemani kami, inilah salah satu alasan mengapa di desa tersebut perempuan lebih berumur panjang daripada laki-laki. Perempuan juga dari umur sekitar 14 tahun sudah merokok. Rokok yang mereka gunakan adalah tembakau yang dibakar pada sebuah bambu yang berdiameter sekitar 2 cm. Setiap laki-laki dari masyarakat Katou boleh mempunyai maksimal 4 orang istri. Bahkan ada sebuah rumah yang dihuni oleh 68 orang. Wow! Rumah mereka adalah rumah panggung yang dibuat untuk mencegah binatang masuk ke dalam rumah. Makanan mereka ada nasi ketan yang diolah masih dengan cara tradisional yaitu ditumbuk. Sisa-sisa dari padi yang ditumbuk akan diberikan kepada peliharaan mereka seperti babi dan ayam yang bebas berkeliaran di sekitar rumah. Lauk mereka adalah daging babi dan daging anjing. Mereka sangat jarang makan daging ayam karena ayam menurut mereka lebih baik untuk dipelihara. Untuk mengambil air mereka mempunyai satu sumur terbuka yang digunakan untuk masyarakat desa untuk mencuci pakaian dan mandi. Ketika saya menanyakan di mana toilet, dengan senyum local guide tersebut “In the forest”. Seperti anak Palawa Unpad juga ternyata. Hahahaha.. 
Salah satu wanita dari Desa Khok Pung Thai
Binatang peliharaan
Perut kami sudah lapar ketika kami meninggalkan desa Khok Pung Thai. Betapa tidak, dari awal perjalanan sampai tengah hari kami belum makan. Kami hanya diberi air putih oleh sang sopir yang juga sekaligus guide kami hari itu karena guide yang sering menemani wisatawan tidak bisa pada hari itu. Itulah sebabnya biaya yang sebelumnya 170rb kip dikurangi menjadi 160rb kip. Ada salah pengertian antara kami dengan travel. Kami mengira uang yang kami bayarkan sudah termasuk makan siang, ternyata tidak. Kami dibawa semakin ke timur ke kawasan wisata bernama Ban Xean Fang. Di kawasan ini ada sungai yang mengalir yang merupakan anak Sungai Mekong. Di tengah-tengahnya ada air terjun yang lebarnya sekitar 10 meter tetapi tingginya mungkin hanya sekitar 5 meter. Air terjun ini bernama Tad Hang Waterfall dan merupakan pemandangan yang sangat indah saat kami menikmati makan siang dari restaurant yang berada persis di pinggir sungai. Sungai tersebut cukup lebar dan terdapat banyak jeram. Sungai ini mengingatkan saya kepada Sungai Citarum karena anak-anak kecil yang menikmati sore itu dengan berenang dan ada jembatan kayu yang sudah “ditambal” sana sini. Selain itu, kita juga melihat beberapa gajah yang bisa ditunggangi mengelilingi padang rumput dengan membayar 25rb kip.
Restoran dengan pemandangan sungai

Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 ketika kami dipanggil oleh sopir karena sudah waktunya kami kembali ke Pakse. Saya dan Fariz diantarkan sampai ke terminal untuk naik bis menuju kembali ke Thaekek dan bergabung dengan tim advance yang lain serta menunggu tim United yang akan tiba keesokan harinya. Kembali duduk di atas bis seharga 60rb kip ditemani lagu pop bernuansa dangdut yang tidak satupun bahasanya bisa saya mengerti.
Continue Reading...

About

Blogroll

About