Kamis, 31 Januari 2013

Something About Choice and Regret

Damn, damn, damn !!!
Kejam sekali keadaan ini mempermainkan saya. Kenapa sesuatu yang diharapkan selalu berbeda dengan apa yang didapatkan? Kenapa pilihan itu selalu datang di saat yang tidak tepat? Kenapa pilihan yang bagus datang setelah kita sudah menetapkan suatu pilihan yang sudah pasti?

Ah, saya benci permainan takdir. Tapi yang pasti, pilihan kita hari ini akan selalu menentukan bagaimana masa depan kita nantinya. Pilihan kita bisa merubah nasib. Tapi seorang teman pernah berkata bahwa masa muda adalah masa untuk membuat kesalahan sehingga jika kita semakin menjadi manusia dewasa, kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.

Kemarin malam, ketika saya mencoba memejamkan mata, saya secara tidak langsung menentukan hidup saya untuk 2 tahun ke depan atau bahkan beberapa tahun setelahnya. Saya tidak suka menjadi peragu dan saya benci ketika saya menjadi seorang peragu yang gampang terombang-ambing oleh pikiran sendiri.

Di sinilah saya berdiri, di jalan yang sudah saya pilih dan mungkin sudah dibuatkan oleh Sang Pencipta sebelumnya. Di sini saya berdiri di jalan yang akan menentukan akan menjadi apa saya nantinya. Saya menatap jauh salah satu impian yang perlahan menjauh diganti dengan kenyataan yang saya hadapi. Bukankah masih ada waktu untuk membentuk atau meraih mimpi yang lain? 

Ini pilihan. Ini pilihan. Tak boleh ada penyesalan. Jalani yang ada di depan mata dan hadapi semua konsekuensinya dengan jantan. 

Has this world been so kind to you that you should leave with regret? There are better things ahead than any we leave behind
- C.S Lewis



Continue Reading...

Kamis, 24 Januari 2013

Fragment #10

Jangan terlalu takut dan pilih-pilih terhadap tindakan yang Anda ambil. Keseluruhan dari hidup ini adalah sebuah percobaan.

- Ralph Waldo Emerson
Continue Reading...

Sabtu, 19 Januari 2013

Ekspedisi

Ekspedisi adalah kisah-kisah penjelajahan menuju relung kepenasaran yang terjauh dari sebuah hati manusia. Yang sulit dibatasi adalah sedalam apa relung itu, agar kita tidak sedang menuju kepongahan. Selama penjelajahan merupakan perjalanan mencari "kisah" baru, maka batasan itu akan sulit diraba, sekalipun bagi seorang yang paling rendah hati. Itulah hal tersulit dalam menentukan tingkat kesulitan medan dan tingkat kerumitan penjelajahan. Kecuali penjelajahan itu sudah menjadi "hidup" keseharian seperti orang porter Himalaya, orang Dayak Punan atau orang Bajau. Bila bukan perjalanan kehidupan (profesi), maka penjelajahan itu akan bersifat suatu perjalanan "mimpi" menembus batas-batas diri. 

Pindi Setiawan, Wanadri
Continue Reading...

Selasa, 08 Januari 2013

Fragment #9

There is a pleasure in the pathless woods
There is a rapture on the lonely shore
There is society, where none intrudes
By the deep sea and music its roar
I love not the man the less, but nature more

- Lord Byron, Into The Wild
Continue Reading...

Puasa di Kampung Naga

Kampung Naga, bahasa kerennya Dragon Village, tapi itu hanya sebutan iseng dari kami yang hidup pada masa “sok inggris”. Hari itu saya, Cahaya dan Gufi, teman saya di organisasi pecinta alam, berencana jalan-jalan ke Kampung Naga yang ada di Tasikmalaya. Kami sudah sering mendengar Kampung Naga dan penasaran ingin melihat langsung kehidupan masyarakat di kampung adat ini. Ditemani oleh Jabir dan Jaya, 2 orang senior di Palawa Unpad, organisasi pecinta alam yang kami masuki  awal tahun 2008, kami berangkat ke Tasikmalaya dengan menggunakan elf (kendaraan semi bis). Perjalanan yang memakan waktu sekitar 3 jam itu, cukup menyenangkan karena cuaca yang cerah dan sepanjang jalan, kita dapat menikmati pemandangan alam yang indah. Kampung Naga terletak di perbatasan Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya, tetepi wilayahnya sudah masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Pemukiman penduduk Kampung Naga, terletak di bawah lembahan yang dapat dicapai dengan menuruni anak tangga yang berjumlah ratusan. Bentuk tangga yang berkelok-kelok dan panjang ini konon katanya berbentuk naga. Kami ternyata datang pada waktu yang tidak tepat karena saat itu bulan puasa. Penduduk Kampung Naga tidak akan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan adat di Hari Sabtu pada bulan puasa karena larangan dari para leluhur. Setelah berbincang-bincang dengan masyarakat sekitar perkampungan, kami dibolehkan masuk ke dalam perkampungan tetapi harus kembali sebelum adzan maghrib.

Sebenarnya kami ingin menemui kepala adat, tetapi beliau tidak ada di tempat, sehingga kami disuruh untuk bertemu dengan Ketua RT, yang menurut mereka hanya kedudukan formalitas karena kepala adat lebih berfungsi daripada jabatan dari pemerintah tersebut. Kami diajak berkeliling. Perkampungan sore itu tampak lengang, hanya ada beberapa ibu  yang sedang mengutui anaknya dan beberapa anak gadis yang pulang mengambil air untuk dimasak. Perumahan kayu unik yang semuanya dibangun seragam dengan atap nipa dan lantai kayu yang dibuat sekitar satu meter dari tanah, memungkinkan penduduk menyimpan berbagai macam perkakas di bawah kolong rumah. Di sekeliling perkampungan terdapat balong, yaitu empang untuk memelihara ikan. Ikan yang banyak dipelihara adalah lele jumbo yang berukuran sebesar kaki orang dewasa. Tidak heran ikan-ikan itu besar karena mendapat “asupan” gizi yang baik dari kamar mandi dan jamban yang dibangun di atas balong tersebut. Di belakang perkampungan terdapat sungai yang airnya masih sangat jernih dengan hamparan sawah di pinggirnya serta hutan yang masih sangat dijaga "keperawanannya". Hutan tersebut tidak boleh ditebang sembarangan dan hasilnya diambil seperlunya.

Selain itu, masyarakat Kampung Naga juga mencari nafkah dengan membuat kerajinan dari kayu dan rotan. Kerajinan tersebut dijual di depan rumah mereka dan beberapa didistribusikan keluar kampung. Menurut ketua RT, Kampung Naga pada hari-hari libur banyak dikunjungi oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan para peneliti. Salah satu bentuk konservasi yang dilakukan oleh warga Kampung Naga adalah dengan tidak memakai listrik. Listrik merupakan salah satu hal yang dilarang dalam tatanan adat karena diniliai dapat mengubah nilai-nilai kesederhanaan dan alami mereka. Inilah bedanya masyarakat adat dengan masyarakat modern yang mengabaikan nilai untuk mengejar prestise. Masyarakat adalah orang bersuku Sunda yang setiap hari menggunakan bahasa Sunda halus, sehingga kami tidak terlalu sulit untuk berkomunikasi dengan mereka. Saya sempat diajarkan untuk membuat salah satu kerajinan dari rotan yang ternyata membutuhkan ketelitian dan keuletan walaupun kelihatannya mudah.  

Adzan maghrib mulai berkumandang, kami siap meninggalkan kampung dengan menaiki tangga "naga" yang cukup membuat kami berkeringat. Setelah buka puasa di sebuah warung, kami mencari penginapan dan seorang penduduk desa (di luar Kampung Naga) menawari kami untuk menginap di rumahnya. Saat asik berbincang dengan pemilik rumah, ketua RT yang tadi menjadi guide kami datang dan menanyakan apakah kami ingin menginap di dalam kampung. Menyinggung masalah larangan, beliau berkata tidak apa-apa asal bisa menjaga sikap. Kami menerima tawaran itu dengan senang hati dan segera berkemas. Kami memasuki kampung dengan menuruni tangga lagi dengan menggunakan bantuan penerangan dari headlamp. Kami dibawa ke sebuah rumah kayu milik ketua RT ketika dia belum berkeluarga dan hanya sekali-kali ditinggali. Kami berbincang sampai tengah malam dan akhirnya tertidur. Tertidur dalam kesederhanaan dan kesunyian Kampung Naga. Hangat dan tentram. Ingin rasanya kembali ke sana, berbaur dengan masyarakatnya, mempelajari nilai yang sudah mulai pudar, dan kembali kepada kesederhanaan yang sesungguhnya.



A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots
- Marcus Garvey   
Continue Reading...

Senin, 07 Januari 2013

Guntur dan Dewa Petir yang Marah

Sore itu 5 (lima) carrier berukuran besar sudah tersusun rapi di depan sekretariat Palawa Unpad, organisasi pecinta alam yang sudah lama saya ikuti. Hari itu kami berencana akan mendaki Gunung Guntur. Gunung Guntur merupakan gunung yang terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat dengan tinggi 2.249 mdpl dan merupakan gunung api teraktif pada dekade 1800-an serta beberapa kali mengalami erupsi. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran gunung di Pulau Jawa. Tetapi misi kali ini berbeda karena ini merupakan latihan untuk mendaki gunung yang vegetasinya tidak terlalu banyak dan ada beberapa bagian yang berpasir. Menggunakan angkutan sewaan dari Kampus Unpad Jatinangor ke Rancaekek, kami berangkat berlima., 3 orang wanita dan 2 orang pria. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju Garut dengan elf, mobil semi bus dengan membayar Rp. 10.000,-. Menjelang malam, kami tiba di Garut dan langsung menuju sekretariat Gerhana, salah satu perhimpunan pecinta alam di kota penghasil dodol itu.

Karena sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk menginap di sekre Gerhana malam itu. Pendakian ke Gunung Guntur akan kami  lakukan besok pagi. Bisa dibilang ini adalah sebuah traidisi yang sudah lama dilakukan. Ke kota manapun seorang anggota pecinta alam pergi, selama di tempat tujuannya ada organisasi pecinta alam, maka dia tidak akan pernah tidur di jalan apalagi membayar penginapan. Salah satu bentuk solidaritas yang sudah lama terjadi. Ditemani beberapa gelas kopi dan beberapa bungkus rokok, kami melewati malam itu dengan berbincang-bincang.

Nanaonan mawa carrier gede-gede teuing. Guntur mah mawa daypack ge bisa. Urang jeung barudak basa eta naik ngan 2 setengah jam”, cetus salah seorang anggota Gerhana dalam bahasa Sunda sambil tertawa. (Ngapain bawa carrier gede-gede. Naik Guntur juga bisa bawa daypack aja. Saya sama anak-anak waktu itu naik cuma 2 setengah jam)

“Lagi latihan buat pengembaraan makanya bawa carrier gede biar terbiasa ama beban berat”, jawab Margo, salah satu anggota tim.

Malam semakin larut dan kami juga semakin larut dalam pembicaraan mengenai pengalaman perjalanan, keadaan organisasi masing-masing dan rencana perjalanan selanjutnya. Jarum jam menunjukkan angka 2 ketika kami satu persatu masuk ke dalam ruangan yang di dalamnya ada beberapa kasur untuk kami tempati tidur. Istirahat yang cukup sangat penting dalam sebuah kegiatan alam bebas. 

Adzan subuh yang berkumandang membangunkan kami pagi itu. Anggota tim yang beragama muslim segera mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya. Saya dan Gufi pagi itu bertugas untuk membeli sarapan. Kami sudah selesai sarapan ketika anak-anak Gerhana bangun. Setelah minum segelas kopi, kami mengecek kembali peralatan dan bersiap-siap untuk berangkat. Pukul 7 kami dengan menyewa sebuah angkutan umum, berangkat menuju kaki Gunung Guntur. Gunung Guntur terletak di Cipanas, pusat permandian air panas yang terkenal di Jawa Barat. Setelah mengisi kompan (jirigen) dengan air, kami mulai menyusuri jalan berbatu. Berbeda dengan gunung lainnya, Gunung Guntur tidak ditumbuhi pohon-pohon besar, hanya ditumbuhi ilalang yang tingginya melebihi tinggi badan kami.


Matahari sudah mulai terik dan beban yang lumayan berat menjadi teman perjalanan kami siang itu. Sepanjang perjalanan, kami juga melihat banyak truk-truk besar pengangkut pasir yang berlalu lalang. Di kaki Gunung Guntur, ternyata merupakan sebuah tempat penambangan pasir. Ada sebuah sungai kering yang tidak dialiri air sama sekali. Di dalam sungai itu, tampak beberapa penambang sedang melakukan aktifitasnya sambil beberapa kali menyapa kami dalam Bahasa Sunda. Pukul 11, kami sudah berada di ketinggian 900 mdpl dan memutuskan untuk beristirahat makan siang sambil merebahkan badan. “Istirahat aja dulu ya. Panas pisan euy. Tapi bentar lagi ini mah. Puncaknya gak terlalu jauh”, kata Anto sang ketua tim.

Semakin siang, panas semakin terik dan rasanya enggan untuk berbenah. Tetapi target kami hari itu harus tercapai. Naik ke puncak dan kembali lagi ke kota sebelum gelap. Kami mulai menyusuri lagi jalanan berpasir. Setelah jalan berpasir, kami melewati vegetasi ilalang yang tingginya menutupi badan kami. Jika tidak menggunakan baju lengan panjang, maka siap-siap tergores sana sini karena terkena daunnya. Sekitar jam 2, kami menemukan pepohonan yang cukup rindang dan memutuskan untuk beristirahat di situ sambil memasak air. Puncak sudah mulai kelihatan, sekitar beberapa meter ketinggian lagi. Kami larut dalam istirahat yang nyaman di bawah pohon sambil bercanda dan sesekali tertidur di atas carrier. Dua jam kemudian, kami meninggalkan carrier di bawah pohon dan menutupinya dengan daun. Kami akan melakukan summit attack tanpa membawa carrier. Kami hanya membawa daypack yang berisi alat dokumentasi, alat navigasi dan beberapa makanan ringan. 


Jalan menuju puncak cukup terjal dengan perpaduan antara batu-batuan besar dan ilalang. Walaupun tidak terlalu sulit, tetapi konsentrasi tinggi diperlukan agar tidak salah mendaki dan berpengangan. Setelah berjalan sekitar setengah jam, kami tiba di atas puncak dan merebahkan badan. Puncaknya hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon yang sudah mulai keropos. Kami merebahkan badan dan menikmati pemandangan Kota Garut dari atas. Tidak buruk. Rasanya seperti piknik. Sembari kami tertawa dan menikmati hembusan angin, tiba-tiba langit menjadi gelap. Awan hitam berkumpul seperti dikomando. Hujan deras sepertinya sedang mengambil ancang-ancang untuk turun. Kami pun mulai bergerak lagi ke bawah ke tempat kami meninggalkan perlengkapan. Kilat menyambar diikuti gemuruh guntur yang suaranya lebih besar daripada letusan kembang api di malam tahun baru. Sesuai dengan namanya, Gunung Guntur.

Berada di ketinggian yang yang terbuka cukup berbahaya jika dalam kondisi seperti ini. Bisa-bisa disambar petir. Berita tentang orang-orang yang tersambar petir di tempat terbuka bukan sesuatu yang baru lagi. Beberapa saat, kami diliputi kepanikan dan buru-buru untuk turun ke kaki gunung. Karena jalur yang tadi kami lewati juga terbuka dan hanya ditumbuhi ilalang, kami mengambil jalur lain. Kami mengikuti sebuah sungai kering berpasir yang tertutup pohon-pohon yang lumayan tinggi. Tetapi perjalanan turun tidak semudah yang kami bayangkan. Sungai yang kami lewati kadang-kadang terjal sehingga kami harus naik ke pinggir dan berjalan di antara tumbuhan perdu. Hujan semakin deras dan petir seakan-akan mengejar kami. “Dewa petir lagi ngamuk euy”, kata Anto sambil berlari. 


 Sekitar sejam diguyur hujan deras dan “dikerjai” dewa petir yang tampak sedang marah, kami hampir tiba di kaki gunung. Kami basah kuyup meskipun sudah menggunakan raincoat. Sebelum  kembali ke jalur normal, kami harus menaiki sebuah tanjakan berpasir yang cukup terjal dengan menggunakan webbing. Hari mulai gelap, kami mulai menyalakan alat penerangan. Kami berjalan setengah berlari, tidak sabar untuk menceburkan diri ke dalam kolam air panas di Cipanas yang telah kami rencanakan sebelum berangkat. Basah kuyup, sedikit berlumpur, dan membawa carrier berukuran cukup besar membuat kami pusat perhatian pengunjung di salah satu permandian air panas yang kami masuki. Tapi tidak peduli dengan pandangan aneh orang di sekitar, kami berganti baju dan menceburkan diri ke dalam kolam. Itulah air panas ternikmat yang pernah kami temui. Langit malam sudah cerah. Dewa petir mungkin sedang sibuk berendam di kolam air panasnya.

Continue Reading...

Minggu, 06 Januari 2013

Wanita dan Sepakbola

Sepakbola dahulu selalu diidentikkan dengan kaum Adam dan dianggap sebagai cabang olahraga yang maskulin. Beda dulu beda sekarang. Sepakbola sudah menjadi olahraga yang paling populer di dunia bahkan di alam semesta. Bagaimana tidak, setiap 4 tahun sekali masyarakat dunia dimanjakan dengan kehadiran Piala Dunia yang menampilkan persaingan tim-tim negara dari seluruh benua. Setiap 4 tahun sekali juga diadakan Piala Eropa atau dikenal dengan Euro di mana negara-negara Eropa sebagai “penguasa” sepakbola dunia bertanding memperebutkan gengsi. Yang paling mengasyikkan adalah hampir sepanjang tahun para penggemar sepakbola di seluruh dunia dapat menikmati pertandingan sepakbola di liga-liga beberapa belahan dunia termasuk Indonesia. Tidak ada yang tidak tahu sepakbola. Stasiun tv, koran, majalah, perbincangan di sosial media semuanya membahas sepakbola. Dengan keadaan seperti ini jangan heran jika sepakbola yang dulu didominasi oleh kaum pria sekarang sudah “komoditi” perbincangan bagi kaum wanita. Tidak hanya sebagai bahan perbincangan, banyak wanita juga sudah mengambil bagian besar di dalam sepakbola itu sendiri.



Ketertarikan wanita kepada sepakbola terlihat pada banyaknya turnamen-turnamen  sepakbola saat ini. Turnamen besar seperti cabang olahraga sepakbola wanita pada olimpiade dan piala dunia berdasarkan kategori umur.  Sepakbola wanita sendiri ternyata sudah lama ada di Cina. Kemudian meredup dan pada awal abad ke-20 mulai marak kembali ditandai dengan diadakannya Piala Dunia sepakbola wanita pertama kalinya pada tahun 1991. Bagi para wanita yang tidak tahu bermain bola, mereka ambil bagian dalam sepakbola sebagai fans atau supporter. Jika dulu stadion bola hanya didatangi oleh kaum pria, sekarang tidak jarang terlihat wanita menggunakan baju atau jersey tim kesayangannya di stadion dan ikut berteriak mengelu-elukan timnya. Di Indonesia, khususnya bentuk dukungan juga dilakukan kaum wanita dengan ikut fans club yang sudah mulai menjamur di era sepakbola modern.  Fans club yang sudah mulai diminati ini mempunyai banyak kegiatan yang memungkinkan kaum wanita ikut di dalamnya mulai dari nonton bareng, fun futsal atau semacam gathering


Munculnya twitter, facebook dan sosial media lainnya juga berpengaruh besar dalam “keterlibatan” kaum wanita sebagai supporter sepakbola. Misalnya saja di twitter, pada saat ada pertandingan dan di hampir seluruh timeline memperbincangkan permainan, pemain, gol, pelanggaran dan sebagainya,mau tidak mau mendorong kaum wanita yang tidak tahu-menahu untuk mencari tahu apa yang sedang ramai diperbincangkan. Wajah pemain yang ganteng tidak boleh dilupakan. Hal itu merupakan salah satu faktor seorang wanita untuk menyukai sepabola. Layaknya mengagumi seorang aktor atau penyanyi pria maka seperti itu jugalah seorang pemain sepakbola yang berperawakan bagus dan bermain apik akan dipuja.


Tidak peduli apapun motif dari seorang wanita menyukai sepakbola, yang jelas sepakbola pada saat ini bukan hanya milik pria. Bahkan ada yang mengatakan bahwa wanita yang menyukai dan mengerti tentang permainan "sejuta umat" ini tingkat keseksiannya bertambah apalagi jika sedang mengenakan jersey dari tim kesayangannya. Ya inilah sepakbola yang universal itu. Permainan yang berkembang menjadi industri yang bisa dinikmati setiap orang dari segala kalangan. Jadi bagi para pria, jangan segan-segan memperbincangkan sepakbola dengan wanita karena mereka tahu walaupun hanya sebatas pemain bertampang oke.

Continue Reading...

About

Blogroll

About